Tuesday, November 8, 2016

Rahsia Zikir Untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah



Ibn ‘Abbas r.a. menuturkan, “Ketika Allah Swt. menciptakan ‘Arasy, maka Allah memerintahkan para malaikat pemikul ‘Arasy agar memikul ‘Arasy tersebut. Lalu mereka merasa berat memikulnya, maka Allah Swt. berfirman, ‘Bacalah, ‘subhân allâh.’ Para malaikat itu pun membaca, ‘subhân allâh,’ hingga mereka merasa ringan memiku l ‘Arasy.

Malaikat-malaikat itu terus membaca subhân allâh sepanjang masa, sampai Allah SWT menciptakan Nabi Adam. Ketika Nabi Adam bersin, maka Allah SWT. mengilhamkan kepadanya agar membaca al-hamdu li-allâh. Maka, Allah Swt. berfirman, ‘Yarhamuka Rabbuka (semoga Tuhanmu merahmatimu). Karena itulah, Aku mciptakanmu, wahai Adam.’ Para malaikat berkata, ‘Ini adalah kalimat ke dua yang agung, kami tidak boleh melupakan kalimat ini.

Mereka menyambungkan kalimat tersebut dengan kalimat pertama. Sehingga sepanjang masa malaikat mengucapkan, ‘Subhân allâh wal hamdu li-allâh.’ Malaikat-malaikat terus membaca kalimat tersebut sampai Allah mengutus Nabi Nuh a.s.

Dalam sejarah disebutkan bahwa kaum Nabi Nuh adalah orang pertama yang menjadikan berhala sebagai sesembahan. Lalu Allah Swt. mewahyukan kepada Nabi Nuh agar ia menyuruh kaumnya untuk mengatakan, ‘lâ ilaha illa allâh,’ hingga Allah meridai mereka. Malaikat berkata, ‘Ini adalah kalimat ketiga yang akan kami gabungkan dengan dua kalimat sebelumnya.’

Mereka pun mulai mengatakan Subhân allâh wal hamdu li-allâh wala ilaha illa allâh. Kalimat ini terus diucapkan oleh para malaikat sepanjang masa, sampai Allah SWT mengutus Nabi Ibrahim a.s. Allah Swt. memerintahkan agar Nabi Ibrahim mengurbankan anak kesayangannya, Isma‘il. Kemudian Allah menggantinya dengan seekor domba. Ketika Ibrahim melihat domba itu, maka ia berkata, ‘Allâhu Akbar,’ sebagai luapan kegembiraannya.

Malaikat berkata, ‘Ini adalah kalimat keempat yang agung. Kami akan menggabungkannya dengan tiga kalimat sebelumnya.’ Akhirnya, para malaikat itu mulai mengucapkan, ‘Subhân allâh wal hamdu li-allâh wala ilaha illa allâh wa Allâhu Akbar.’ Waktu malaikat Jibril menceritakan hal ini kepada Rasulullah saw., maka karena kekagumannya, beliau berkata, ‘Lâ hawla wala quwwata illa billah al-‘alî al-‘azhîm.’ Maka, Jibril berkata, ‘Ini adalah kalimat penutup dari empat kalimat sebelumnya.’”

Abu Hurairah r.a. juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Siapa bertasbih kepada Allah 33 kali setiap kali selesai salat; bertahmid kepada Allah sebanyak 33 kali; dan bertakbir kepada Allah 33 kali; maka, totalnya 99 kali. Kemudian ia menggenapkannya menjadi 100 dengan bacaaan ‘Lâ ilaha illâ Allâh wahdahu lâ syarîka lah lahu al-mulku wa lahu al-hamdu wa huwa ‘ala kulli syay’in qadîr. Maka, Allah akan mengampuni semua kesalahan-kesalahannya, meskipun sebanyak buih lautan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan pula bahwa Nabi Musa a.s. mengatakan, “Wahai Tuhanku, bagaimana saya dapat membedakan antara orang yang Engkau cintai dengan orang yang Engkau benci?’ Allah SWT menjawab, ‘Hai Musa, sesungguhnya jika Aku mencintai seorang hamba, maka Aku akan menjadikan dua tanda kepadanya.’

Musa bertanya, ‘Wahai Tuhanku, apa kedua tanda itu?’ Allah SWT menjawab, ‘Aku akan mengilhamkan kepadanya agar ia berzikir kepada-Ku agar Aku dapat menyebutnya di kerajaan langit dan Aku akan menahannya dari lautan murka-Ku agar ia tidak terjerumus ke dalam azab dan siksa–Ku. Hai Musa, jika Aku membenci seorang hamba, maka Aku akan menjadikan dua tanda kepadanya.’

Musa bertanya, ‘Wahai Tuhanku, apa kedua tanda itu?’ Allah SWT menjawab, ‘Aku akan melupakannya berzikir kepada-Ku dan Aku akan melepaskan ikatan antara dirinya dan jiwanya, agar ia terjerumus ke dalam lautan murka-Ku sehingga ia merasakan siksa-Ku.’”

------Syekh 'Abd al-Hamid Anquri dalam Munyah al-Wâ‘ìzhîn wa Ghunyah al-Muta‘azhzhîn

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1130326020350664:0

Sunday, November 6, 2016

Hakikat Jalan Sufi Dari Syaikh Abu Hasan Asy Syadzili



Menurut Imam Asy-Syadzili, jalan tasawuf itu bukanlah jalan kerahiban, menyendiri di goa, meninggalkan tanggung jawab sosial, tampak miskin menderita, memakan makanan sisa, pakaian compang-camping dan sebagainya. Tetapi, jalan sufi adalah jalan kesabaran dan keyakinan dalam petunjuk Ilahi.

Allah SWT berfirman, “Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran) dan mereka meyakini ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya.” (QS As-Sajadah [32]: 24-25)

Imam Asy-Syadzili mengatakan, “Pelabuhan (tasawuf) ini sungguh mulia, padanya lima perkara, yakni: sabar, takwa, wara’, yakin dan makrifat. Sabar jika ia disakiti, takwa dengan tidak menyakiti, bersikap wara’ terhadap yang keluar masuk dari sini—beliau menunjuk ke mulutnya—dan pada hatinya, bahwa tidak menerbos masuk ke dalamnya selain apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta keyakinan terhadap rezeki (yang diberikan Allah) dan bermakrifat terhadap Al-Haqq, yang tidak akan hina seseorang bersamanya, kepada siapa pun dari makhluk.

Allah SWT berfirman, “Bersabarlah (Hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah engkau bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS An-Nahl [16]: 127-128)

Imam Asy-Syadzili juga mengatakan, “Orang yang berakal adalah orang yang mengenal Allah, apa-apa yang Dia kehendaki atasnya dan apa yang berasal darinya secara syariat. Dan, hal yang Allah inginkan dari seorang hamba adalah empat perkara: adakalanya berupa nikmat atau cobaan, ketaatan ataupun kemaksiatan.

Jika engkau berada dalam kenikmatan, maka Allah menuntutmu untuk bersyukur secara syariat. Jika Allah menghendaki cobaan bagimu, maka Dia menuntutmu untuk bersabar secara syariat. Jika Allah menghendaki ketaatan darimu, maka Allah menuntutmu untuk bersaksi atas anugerah dan taufik-Nya secara syariat. Dan, jika Dia menghendaki kemaksiatan dirimu, maka Allah menuntut dirimu untuk bertobat dan kembali kepada-Nya dengan penyesalan mendalam secara syariat.

Siapa yang mengerti empat perkara ini datang dari Allah dan melakukan apa yang Allah cintai darinya secara syariat, maka dia adalah hamba yang sebenar-benarnya. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang ketika diberi lalu ia bersyukur, jika ditimpa cobaan dia bersabar, jika dia menzalimi lalu meminta ampun dan jika dia dizalimi lalu memaafkan.” Kamudian Rasul terdiam...Para sahabat pun heran dan bertanya, “Ada hal apa, wahai Rasulullah?”
Kemudian Rasul pun menjawab, “Merekalah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dalam ungkapan sebahagian dari mereka menyebutkan, “Tidak akan dianggap mudah melakukan itu, kecuali bagi seorang hamba yang memiliki cinta. Dia tidak mencintai kecuali karena Allah semata atau mencintai apa yang Allah perintahkan sebagai syariat agamanya.”

--Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili dalam kitab Durrat Al-Asrar wa Tuhfat Al-Abrar karya Muhammad Ibn Abi Qasim Al-Humairi.

Moga bermanfaat!

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1127869610596305:0

Tuesday, November 1, 2016

Meniti Tangga-tangga Kenikmatan Ilahiah



Menurut Imam Al-Ghazali, pada perkembangan spiritual tertentu, sebenarnya manusia melalui jenjang kenikmatan. Jenjang kenikmatan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Di awal pertumbuhannya, naluri yang menguasai anak-anak adalah kenikmatan bermain. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada bermain. Lalu, pada perkembangan selanjutnya, ia mulai dikuasai oleh kenikmatan berhias, mengenakan pakaian dan atau menaiki kendaraan. Sejak itu, ia mulai melupakan kenikmatan bermain.

Selanjutnya, manusia mulai dikuasai oleh kenikmatan seksual. Dalam dirinya tumbuh nafsu terhadap lawan jenis. Kenikmatan-kenikmatan sebelumnya perlahan-lahan ditinggal. Sesudah itu, tampaklah baginya bahwa tak ada yang lebih menyenangkan selain mencapai kedudukan tertinggi, menjadi seorang pemimpin atau penguasa dan menumpuk kekayaan. Inilah akhir dari semua kenikmatan.

Kenikmatan paling puncak dan paling kuat ini sesuai dengan firman Allah SWT, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak.” (QS al-Hadid [57]: 20).

Naluri selanjutnya adalah makrifat, yakni mengetahui dan mengenal Allah SWT dengan segala perbuatan-Nya. Pada tingkat ini, manusia akan menganggap bahwa kenikmatan-kenikmatan sebelumnya tidak punya artiapa-apa. Makin akhir kemunculannya, makin kuatlah ia.

Jadi, inilah kenikmatan terakhir yang muncul dalam diri manusia. Sebab,--sebagaimana dijelaskan di atas—kesenangan bermain muncul pada usia anak-anak, kesenangan terhadap hiasan dan lawan jenis muncul pada usia remaja, kesenangan untuk berkuasa muncul pada usia 20 tahun ke atas, kesenangan terhadap ilmu sebagai puncak tertinggi muncul pada usia sekitar 40 tahun.

Anak-anak akan tertawa jika melihat orang yang tak mau bermain dan malah sibuk dengan perempuan dan kekuasaan. Demikian pula seorang penguasa atau orang yang berkuasa, pasti menganggap lucu terhadap orang yang sibuk mendalami makrifat.

Lalu, orang yang bijak akan berkata, “Jika kalian mengejek kami, maka sesungguhnya kami pun mengejek kalian sebagaimana kalian mengejek (kami). Dan, kelak kalian akan mengetahui.” (QS Hud [11]: 38-39)

---Imam Al-Ghazali dalam Al-Mahabbah

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1122689141114352:0