Thursday, December 31, 2015

Mari Melepas Belenggu Dunia

Orang yang zuhud sangat memahami kehinaan dan kefanaan duniawi. Baginya, dunia adalah penjara, sebagaimana hadis Nabi: “Dunia adalah penjara bagi orang Mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim). Jadi, ketika dia mampu melepaskan diri dari belenggu dunia yang hina, melalaikan dan menyesatkan, maka sebenarnya dia sedang membebaskan dan memerdekakan dirinya sendiri.

Seorang yang zuhud sangat menyadari bahwa harta benda, kedudukan, dan keluarga hanyalah hiasan dunia. Ini adalah belenggu-belenggu yang hanya membuatnya menjadi budak. Semua itu tak dapat menyertainya saat menghadap Allah. Karena itu Rasulullah SAW bersabda, “Mayit diantar (ke kuburan) oleh tiga hal, yang dua akan kembali sedang yang satu terus menyertainya. Dia diiringi oleh keluarganya, hartanya dan amalnya. Harta dan keluarganya akan kembali, sedang amalnya akan terus tetap bersamanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Karena itu, Rasulullah SAW sangat khawatir dengan apa yang akan terjadi pada kaumnya nanti sepeninggalnya. Beliau sangatt tahu bahwa kelak umatnya akan terjerumus pada kehidupan dunia dan materialisme hingga melupakan tujuan hidupnya sebagai hamba. Rasulullah SAW juga bersabda: “Bergembiralah dan berharaplah apa yang menggembirakan kalian, demi Allah bukan kemiskinan yang aku takutkan pada kalian, tapi aku takut dunia dibentangkan untuk kalian seperti halnya dibentangkan pada orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba mengejarnya sebagaimana mereka berlomba mengejarnya, lalu dunia membinasakan kalian seperti dia telah membinasakan mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Orang yang mengaku berzuhud adalah yang selalu ingin bebas dari belenggu dunia dan berharap serta menyiapkan diri untuk pertemuan dengan Allah. Mereka sangat merindukan pertemuan dengan-Nya, karena cintanya kepada Allah di atas cinta-cinta yang lain. Rasulullah SAW bersabda,“Barangsiapa mencintai perjumpaan dengan Allah, Allah juga mencintai perjumpaan dengannya, sebaliknya barangsiapa membenci perjumpaan dengan Allah, Allah juga membenci perjumpaan dengannya.” Kontan ‘Aisyah atau sebagian isteri beliau berkomentar ‘kami juga cemas terhadap kematian! ‘ Nabi lantas bersabda: “Bukan begitu maksudnya, namun maksud yang benar, seorang mukmin jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar gembira dengan keridhaan Allah dan karamah-Nya, sehingga tak ada sesuatu apapun yang lebih ia cintai daripada apa yang dihadapannya, sehingga ia mencintai berjumpa Allah, dan Allah pun mencintai berjumpa kepadanya. Sebaliknya orang kafir jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar buruk dengan siksa Allah dan hukuman-Nya, sehingga tidak ada yang lebih ia cemaskan daripada apa yang di hadapannya, ia membenci berjumpa Allah, sehingga Allah pun membenci berjumpa dengannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Nafsu dan syahwat tak akan mampu mempengaruhi tujuan hidup seorang zuhud yang menginginkan perjumpaannya dengan Allah di surga. Orang zuhud selalu menjaga panca inderanya dari segala yang menghalangi kesaksiannya kepada Allah. Syahwatnya terarah dan terkendali dengan baik. Sahl bin Sa’ad r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa dapat menjamin bagiku sesuatu yang berada di antara jenggotnya (mulut) dan di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Al-Bukhari)

Surga bagi orang zuhud begitu dekat, sangat dekat. Bahkan, di dunia ini, seorang zuhud mampu merasakan surga. Abdullah bin Mas’ud r.a. menuturkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Surga lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali sandalnya, neraka juga seperti itu.” (HR. Al-Bukhari). Orang yang zuhud pun menyadari bahwa neraka sangat dekat dengan mereka yang selalu mengumbar hawa nafsu dan syahwatnya. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Neraka dikelilingi dengan syahwat (hal-hal yang menyenangkan nafsu), sedang surga dikelilingi hal-hal yang tidak disenangi (nafsu).” (HR. Al-Bukhari)

Cinta seorang zuhud kepada Allah begitu besar dan dahsyat. Tak ada cinta dunia yang tersisa di kalbunya. Nafsunya telah tunduk kepada dirinya. Dia telah berhasil melumpuhkannya. Dia telah bebas dari belenggu apa pun, demi cinta kepada Allah, Al-Haqq. Dan, tobatnya benar-benar telah sempurna dan dikabulkan oleh Allah SWT.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul Asrar mengatakan, “Mahabbah (cinta) kepada Allah tidak akan tercapai, kecuali setelah engkau melumpuhkan musuh-musuh-Nya yang ada di dalam wujudmu sendiri.. Seperti halnya, nafsu amarah, lawamah, dan mulhamah, setelah terlumpuhkan maka lantas membersihkan diri dari sifat-sifat bahimiyah (binatang jinak) yang tercela, seperti makan, minum, tidur dan bercanda yang berlebihan. Juga membersihkan hati dari sifat-sifat sabu’iyyah (binatang buas), seperti marah, mencaci, memukul, memaksa. Juga membersihkan diri dari dari sifat syaitaniyah (sifat-sifat setan), seperti sombong, ujub, hasad, dengki, dendam, dan dari sifat-sifat badan dan hati yang tercela lainnya.Jika engkau sudah bersih dari sifat-sifat tercela tadi, berarti engkau sudah bersih dari sumber dosa. Maka engkau termasuk orang-orang suci dan ahli tobat. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Semoga bermanfaat!

Thursday, December 17, 2015

Mengenal Bisikan Dalam Jiwa (Al Khatir)

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani pernah ditanya muridnya tentang al-khathir (bisikan jiwa), lalu beliau menjawab:
“Memang apa yang engkau ketahui tentang al-khathir? Al-khathir itu bisa berasal dari setan, bisa berasal dari tabiat buruk, bisa pula berasal dari hawa nafsu dan dunia. Perhatianmu akan dicurahkan kepada apa yang dianggap penting. Dan, ingatlah bahwa sebenarnya bisikan jiwa yang datang kepadamu juga selalu berhubungan dengan perhatianmu.

Sedangkan bisikan jiwa (al-khathir) yang berasal dari Allah SWT tidak akan datang, kecuali kepada kalbu yang kosong dari selain Allah SWT. Contohnya seperti firman-Nya saat menjelaskan tentang sikap Nabi Yusuf a.s. Allah SWT berfirman, “Aku memohon perlindungan dari Allah daripada mengambil (menahan) seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya,” (QS Yusuf: 79)

Jika engkau banyak menyebut nama Allah, tentu saja kalbumu akan penuh dengan al-khathir yang berasal dari Allah karena engkau dekat dengan-Nya. Sedangkan al-khathir yang berasal dari setan, hawa nafsu, dan dunia akan menjauh darimu.

Sekali lagi ditegaskan bahwa ada khathir yang berasal dari dunia, ada khathir yang berasal dari akhirat, ada khathir yang bersumber dari al-mulk (kerajaan Allah), ada yang berasal dari hawa nafsu, ada yang berasal dari kalbu dan ada yang berasal dari Allah Yang Mahabenar (Al-Haqq).

Wahai orang yang berada di jalan kebenaran, yang engkau perlukan adalah membuang dan mengusir semua al-khathir tersebut dan merasa tentram dengan hanya satu kehadiran khathir saja, yakni khathir yang berasal dari Allah Yang Mahabenar (Al-Haqq).

Jika engkau berpaling dan mengabaikan khathir yang berasal dari nafsu, setan dan dunia, maka engkau akan dihampiri oleh khathir yang berasal dari akhirat, kemudian disusul pula dengan kehadiran khathir yang berasal dari al-mulk (kerajaan Allah), akhirnya pada puncaknya, engkau akan merasakah kehadiran khathir dari Allah Yang Mahabenar (Al-Haqq).

Jika kalbumu bening dan jernih, maka ia akan berdiri menghadang dan mengintrogasi setiap khathir yang datang kepadanya. “Kamu khathir yang mana? Berasal darimana?” maka khathir itu akan menjawab, “Aku adalah khathir begini dan begitu. Aku khathir yang berasal dari Allah yang Mahabenar (Al-Haqq). Aku adalah pemberi nasihat dan pecinta. Allah Al-Haqq mencintaimu. Aku adalah utusan. Aku adalah jatah (bahagian) dari hal nubuwwah (sebagian kecil dari karunia Allah yang dianugerahkan kepada nabi).”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Mawa’izh Asy-Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Tuesday, December 8, 2015

Mana ISTAC?

https://www.facebook.com/rock3tmn/posts/918752251543884

Jika ada orang bertanya di mana model IPT Islam moden, apa rakyat Malaysia hendak jawab?

Oleh Dr. Mohd. Sani Badron
MASSA, 26 Jun 1999

.

Menjelang sinar pertama alaf baru dan abad ke-21, umat Islam wajar menyemak kembali persiapan diri dalam perspektif global. Kita harus faham bagaimana Barat berjaya menguasai ekonomi dan sosiopolitik dunia. Sebenarnya, keadaan ini berlaku disebabkan penguasaan benua Amerika Utara dan Eropah dalam semua bidang ilmu dan kebudayaan melalui universiti-universitinya.

Melalui kajian dan penyelidikan pengajian tingginya, Barat mendidik kaum terpelajar dunia Islam dan Timur sama ada dari segi ekonomi, sains dan teknologi, pentadbiran awam, sosiologi, falsafah, mahupun agama. Secara yang cukup licik, Barat secara senyap-senyap menyusup di semua kedudukan dan jawatan strategis dunia melalui saluran pemikiran, ilmu dan pendidikan.

Justeru, idea dan pengaruh Barat menjadi satu cabaran amat besar terhadap bangsa-bangsa yang lain. Cabaran ilmu dan pengetahuan ini hanya mampu dipecahkan sekiranya kita memiliki universiti-universiti sendiri yang sekaligus bercirikan Islam dan moden.

Institusi pengajian tinggi kita mesti mandiri dan bercirikan Islam kerana kita tidak mungkin maju dengan sekadar meniru-niru atau menokok model universiti Barat. Pusat pengajian seperti itu akan sekadar menjadi bayang-bayang yang sentiasa mundur di belakang, bayang-bayang yang sentiasa menghadap kearah Barat sebgai kiblat, sentiasa ketinggalan seperti hamba yang mengekori tuannya universiti Barat sekular.

Oleh sebab itu institusi-institusi pengajian tinggi mestilah benar-benar memahami ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam, baik dalam bidang akidah, perundangan, akhlak, falsafah, sejarah, kesusateraan, sosiologi, mahupun sains dan teknologi. Ini hanya dapat terlaksana jika kita kembali secara “profound” kepada sumber asal agama Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah) melalui huraian autoritatif para ilmuwan yang berkewibawaan di sepanjang sejarah gemilang Islam, oleh mereka yang berkeahlian dari aliran kalam, falsafah (hikmah) mahupun metafizik (tasawuf).

Konsep-konsep utama Islam seperti Tuhan, tanzil dan wahyu (al-Qur’an), Rasulullah, alam semesta, manusia dan jiwanya, ilmu pengetahuan dan ilmu pengenalan (al-Makrifah), agama, kebebasan, akhlak, adab dan kebahagiaan dan sebagainya lagi hendaklah direlevankan dengan pelbagai bidang pembangunan dan kemajuan umat Islam dalam zaman moden ini, sama ada dari segi birokrasi mahupun dari segi profesionalisme. Serentak dengan itu unsur-unsur pandangan hidup Barat seperti dualisme, humanisme, tragedi dan ideologi-ideologi sekular selainnya harus disaring dan dihindarkan dari sistem ilmu pengetahuan dan pendidikan semasa.

Inilah peri pentingnya Islamisasi ilmu pada zaman kita ini untuk menyediakan jawapan Islam yang sepenuhnya terhadap cabaran-cabaran pemikiran dan kebudayaan dunia moden dan pascamoden. Ini juga memerlukan falsafah pendidikan, sains, seni dan arkitektur Islam yang berlainan dengan falsafah Barat. Hasil dari rumusan penyelidikan dan kajian tersebut kemudiannya hendaklah disebarkan dengan cekap dan berkesan kepada kaum terpelajar umat Islam antarabangsa untuk menjadi pedoman dalam menyongsong sejarah dunia dan hari muka.

Jika semua ini tidak kita laksanakan, kita akan menjadi apa yang diistilahkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai "marginal society" atau masyarakat pinggiran iaitu, masyarakat yang terpelajar sedikit cara Barat tetapi tiada benar-benar menyerapi kebudayaan Barat itu, mahupun kebudayaan sendiri, lalu berpegang kepada nilai-nilai kebudayaan yang keliru yang gagal dibezakan antara yang benar dengan yang palsu.

Sekali lagi kita ulangi, bahawa usaha untuk memastikan kewibawaan sesebuah institusi pengajian tinggi merupakan satu tugas yang bukan alang kepalang sukarnya. Ia memerlukan seorang yang benar-benar berkebolehan, mahir lagi berkaliber tentang selok belok pelbagai disiplin ilmu, dan amalan berdasarkan kepada pengalaman peribadi yang luas dan bertahun-tahun di medan keintelektualan dan kemasyarakatan.

Mungkin ada orang lain yang mempunyai kemahiran birokratik dan pengaruh dari segi politik. Walau bagaimanapun, tanpa sebarang asas konseptual – sama ada metafizik mahupun falsafah – orang itu tidak akan dapat menjamin kewibawaan institusi berkenaan.

Seorang birokrat atau politikus tidak akan mampu merumuskan falsafah institusi pengajian tinggi Islam moden. Sedangkan, sesebuah universiti tidak tertubuh dengan cara tiba-tiba. Apatah lagi, bagi institusi yang berwibawa, ia tidak terbina secara sembarangan. Tanpa sebarang falsafah tidak ada mana-mana institusi yang boleh mencapai sebarang matlamat dan tujuan yang tertib.

Haluan universiti akan sentiasa berubah-ubah dengan polisi yang bertentangan dan dasar yang bercanggah antara satu sama lain. Program-program institusi tersebut pula akan diuruskan dengan sewenang-wenangnya sahaj. Tidak akan ada kesatuan dalam perancangan akademik, perpustakaan, penyelidikan, penerbitan dan program pentadbiran.

Perkembangan pendidikan dan institusi pengajian Islam moden di peringkat antarabangsa telah ditelusuri oleh sarjana Malaysia, Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud menerusi dua buku penting beliau “The Beacon on the Crest of a Hill” dan “Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas”.

Pada pertengahan tahun 1973, Syed Muhammad Naquib mencadangkan kepada urus setia Islam yang berpusat di Jeddah, Arab Saudi agar menganjurkan persidangan sedunia mengenai pendidikan Islam sebagai langkah awal untuk merungkai masalah ilmu, pendidikan dan IPT Islam moden. Hasil perakuan persidangan tersebut yang dianjurkan di Mekah dalam tahun 1977, Malaysia telah merasmikan Universiti Islam Antarabangsa (UIAM) dalam tahun 1983.

Untuk peringkat sarjana (MA) dan kedoktoran falsafah (Ph.D) pula, pada awal tahun 1987, Institut Antarabangsa Pemikiran dan Tamadun Islam (ISTAC) ditubuhkan yang merupakan salah satu autoriti UIA.

Eksperimen ISTAC banyak bergantung kepada pengalaman luas pengasas dan pengarahnya Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Selama lebih tiga puluh tahun beliau terlibat secara aktif lagi kreatif dalam pemikiran dan tamadun Islam. Bahkan sudah tiga dekad lamanya Malaysia dan dunia Islam mengenali beliau sebagai seorang ilmuwan yang berkebolehan dalam berbagai-bagai bidang agama dan kebuayaan.

Beliau satu-satunya serjana Malaysia yang pernah mendapat penghormatan antarabangsa “Kerusi Ilmiah Pelbagai Disiplin Ilmu” – dari “Kerusi Bahasa dan Kesusateraan Melayu” di Universiti Kebangsaan Malaysia (1972-1984) kepada pemegang pertama “Kerusi Tun Abdul Razak” untuk Pengajian Asia Tenggara di Universiti Ohio Amerika Syarikat (1980-1982) sehinggalah kepada pemegang pertama “Kerusi Abu Hamid al-Ghazali” untuk pemikiran Islam di ISTAC (1993).

Beliau juga pernah ditawarkan dalam tahun-tahun 1980-an untuk menjawat “Kerusi Ibn Khaldun” oleh American University di Washington D.C., Amerika Syarikat. Penguasaan beliau merangkumi sejumlah cabangan ilmu dan budaya. Dari agama dan metafizik hinggalah kepada teologi, falsafah dan sejarah, dari pendidikan, bahasa dan sastera hinggalah kepada seni, seni bina bangunan dan ilmu ketenteraan.

Syed Muhammad Naquib melalui ISTAC, mengimpikan sebuah pusat pengajian tinggi Islam moden dalam struktur akademik, hubungan sosial dan bangunan fizikal.

Beliaulah yang mereka bentuk lanskap dan lakaran pelan bangunan ISTAC. Dari tingkap dan lengkungan gerbang hingga kepada pintu dan jerejak kekisinya, dari lantai dan siling hingga kepada junjung dan altar yang dilengkapi dengan birai hiasnya, dari sesangga dan tangga membawa kepada pagar dan halaman dalam kompleksnya, dari air pancut dan perabot hinggalah kepada hiasan dalaman bangunannya, beliau adalah pereka bentuk dan perancang utama kompleks bangunan ISTAC. Beliau memeriksa, mengawasi dan mengurus pembinaan hampir setiap hari, termasuklah hari cuti umum.

Oleh kerana beliau berkehendakkan agar ciri-ciri bangunan ISTAC menggambarkan dimensi akliah dan rohaniah tradisi Islam (disertai kesan tradisi Barat yang positif), beliau juga sentiasa berunding dengan para arkitek dan jurutera demi memastikan tiap-tiap pemerincian bangunan tersebut dilaksanakan dengan setepat-tepatnya. Beliau turut terlibat untuk menawarkan harga barang-barang supaya ISTAC memperoleh bahan-bahan binaan yang terbaik dengan harga paling murah. Semua khidmat ini diberikan tanpa mengambil sesen pun yuran profesional.

Dari segi akademik dan sosial, beliau memimpin ISTAC untuk menghasilkan “manusia yang cemerlang”. Di sepanjang sejarah falsafah pendidikan dunia, insan yang cemerlang ini pernah dipanggil dengan beberapa istilah. Para filsuf Yunani seperti Aristotle menggelarnya “Manusia Universal” (Universal Man) sementara ahli-ahli falsafah Barat seperti Leon Battista Alberti menamakannya “Manusia Renaisans” (Renaissance Man). Sementara istilah Islamnya adalah “Manusia Sempurna” (al-Insan al-Kamil) yang kemuncaknya terjelma dalam diri Rasulullah s.a.w. – hamba, abdi dan khalifah Allah yang hakiki. Maksud firman-Nya di dalam al-Qur’an:

Sesungguhnya telah adalah bagi kamu pada Rasulullah itu ikutan yang baik (uswah hasanah) – (al-Ahzab, 33: 21)

Bahawa sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ta’ala itu yang paling bertakwa kepada Allah – (al-Hujurat, 49: 13).

Justeru, menurut beliau, semua institusi pendidikan Islam termasuk ISTAC itu sendiri haruslah menayangkan keilmuan dan perilaku Rasulullah s.a.w. dalam keseluruhan strukturnya: akademik, sosial dan bangunan fizikal. Pertama-tamanya, institusi pengajian tinggi Islam perlu dipimpin oleh seorang ilmuwan yang memiliki pengetahuan yang universal, disiplin akliah dan ciri-ciri kerohanian.

Pemilihan mata pelajaran turut diselaraskan dengan bakat akliah, minat dan kesempurnaan akhlak seseorang penuntut. Tidak lupa untuk diperhitungkan adalah keperluan umat, nusa, bangsa dan negara. Medan pendidikan institusi pengajian tinggi Islam mestilah lengkap dan bersifat pelbagai bidang (multi-disciplinary) sehingga keunikan dan kepelbagaian setiap warga umat dan dunia Islam dapat digembleng sepenuhnya dalam rangka saling bantu-membantu dan hormat-menghormati sesama manusia. Sememangnya sifat saling mengasihi lagi menghormati sesama manusia itu harus sejajar dengan kecintaan dan sumbangan seseorang terhadap ilmu dan akhlak.

Alhamdulillah hari ini, dalam waktu yang amat singkat, dengan program ilmiah yang begitu mencabar dan tenaga akademik yang cukup terbatas, ISTAC telah mula melahirkan hasil yang cukup bermakna buat umat dan hari muka.

Menjelang sinar mula suria alaf baru, jika ada orang bertanya di mana model IPT Islam moden, rakyat Malaysia boleh menjawab dengan penuh rasa syukur. Menerusi Universiti Islam Antarabangsa (UIA) dan Institut Antarabangsa Pemikiran dan Tamadun Islam (ISTAC). Malaysia dan Kuala Lumpur telah menempah nama dalam peta pengajian tinggi antarabangsa. Bersama-samalah kita memelihara nama baik ini.

Friday, December 4, 2015

Benarkah Imam al-Ash’ari melalui tiga peringkat pemikiran sebagaimana dakwaan Wahabi?

Dakwaan Wahabi terhadap Imam al-Ash'ari:
Peringkat pertama: Imam al-Ash’ari berada dalam Mu’tazilah sehingga beliau berusia 40 tahun.
Peringkat kedua: Imam al-Ash’ari keluar daripada Mu’tazilah untuk mengikut pegangan Ibn Kullab.
Peringkat ketiga: Imam al-Ash’ari keluar daripada mengikut pegangan Ibn Kullab untuk kembali kepada ASWJ (Salaf) sebagaimana pegangan Wahabi sekarang.

Penjelasan Ringkas:

1. Kisah Imam al-Ash’ari melalui tiga peringkat pemikiran tidak pernah disebutkan oleh mana-mana tokoh ulama silam selepas Imam al-Ash’ari. Tokoh-tokoh tersebut mustahil bersepakat atau sengaja melupakan kisah ini jika benar Imam al-Ash’ari telah melalui tiga peringkat pemikiran memandangkan beliau merupakan seorang ulama ASWJ yang sangat masyhur untuk dijadikan tempat rujukan.

2. Adapun riwayat yang sampai kepada umat Islam hari ini adalah seperti tulisan Ibn ‘Ashakir yang dinukilkan daripada Abu Bakar Ibn Furak bahawa Imam al-Ash’ari hanya melalui dua peringkat pemikiran sahaja iaitu Mu’tazilah dan ASWJ. Kenyataan sama turut dikemukakan oleh Ibn Khalikan dengan menegaskan bahawa Imam al-Ash’ari merupakan seorang pembela ASWJ. Menurut Ibn Khaldun pula, setelah Imam al-Ash’ari berpaling daripada Mu’tazilah, beliau telah mengikut tokoh-tokoh Salaf daripada kalangan ulama ASWJ seperti Ibn Kullab, al-Muhasibi dan al-Qalanisi.

3. Namun sebilangan ulama Asha’irah seperti al-Zabidi menyatakan bahawa Imam al-Ash’ari melalui tiga peringkat pemikiran terutamanya berkaitan nas-nas sifat mutashabihat iaitu, peringkat pertama; bersama Mu’tazilah dalam menafikan sifat kabariyyah, peringkat kedua; berpegang dengan metode takwil Khalaf, dan peringkat ketiga; berpegang dengan metode tafwid Salaf. Harus difahami bahawa penjelasan al-Zabidi ini bukan menunjukkan Imam al-Ash’ari melalui tiga peringkat pemikiran sebelum kembali kepada ASWJ sebagaimana dakwaan Wahabi.

4. Sebaliknya kenyataan tersebut tetap menunjukkan Imam al-Ash’ari hanya melalui dua peringkat pemikiran sahaja, cumanya ketika Imam al-Ash’ari bersama ASWJ, menurut al-Zabidi, beliau dikatakan berpegang kepada takwil Khalaf pada awalnya dan tafwid Salaf pada akhirnya. Pandangan ini timbul disebabkan perselisihan ulama dalam menentukan karya terawal dan terakhir Imam al-Ash’ari, iaitu sama ada karya terawal dan terakhir beliau menggunakan metod Salaf atau Khalaf.

5. Tetapi para ulama Asha'irah berpendapat bahawa peringkat awal Imam al-Ash'ari dalam ASWJ ialah berpegang dengan metode Salaf dan peringkat akhir ialah metode Khalaf. Harus diingat bahawa kedua-dua metode adalah tidak bercanggah dengan ASWJ.

Catatan:
Sila rujuk artikel saya bertajuk Peringkat Pemikiran Imam al-Ash'ari Dalam Akidah untuk mendapatkan penjelasan lanjut.

Rujuk artikel saya di sini.

https://www.facebook.com/rashidiwahab

Friday, November 6, 2015

Doa Makrifat Dari Syaikh Ibn Atha'illah



“Ya Rabb, inilah kehinaanku yang nyata di depan-Mu dan inilah keadaanu yang tidak tersembunyi dari-Mu. Kepada-Mu aku memohon agar sampai kepada-Mu. Dengan-Mu aku mencari petunjuk tentang-Mu, maka berilah kepadaku petunjuk dengan cahaya-Mu untuk sampai kepada-Mu. Tegakkanlah aku dalam kesunguhan pengabdian di hadapan-Mu.

Ya Rabb, ajarkanlah kepadaku ilmu-Mu yang masih tersembunyi dalam perbendaharaan-Mu. Periharalah aku dengan rahasia nama-Mu yang tetap terpelihara.

Ya Rabb, berilah kepadaku tingkat hakikat yang diraih orang-orang Muqarrabin (yang dekat kepada-Mu) dan jalankanlah aku di jalan orang-orang yang majdzub (yang ditarik kepada-Mu).

Ya Rabb, puaskanlah aku dengan aturan-Mu daripada aturanku sendiri. Puaskan aku dengan pilihan-Mu daripada dengan pilihanku sendiri. Dudukkanlah aku di tempat-tempat keperluanku yang sesungguhnya.

Ya Rabb, keluarkanlah aku dari kerendahan diriku dan bersihkanlah aku dari keraguan dan syirik sebelum masuk ke lubang kuburku. Hanya kepadamu aku meminta bantuan, maka bantulah aku. Kepada-Mu aku berserahdiri maka jangan beratkan bebanku. Hanya karunia-Mu yang kuharap, maka jangan Engkau menolaknya. Kepada-Mu aku mendekat, maka jangan Engkau menjauhkan aku. Di pintu-Mu aku berdiri, maka jangan Kau-usir aku.”

--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

Saturday, July 4, 2015

Ternyata Sidharta Buddha Gautama Adalah Seorang Muslim

Ini adalah info mencengangkan bagi umat Budha, ternyata Sidharta Buddha Gautama adalah seorang muslim. Apakah betul demikian? Banyak berbagai sumber yang mengatakan Sidharta Buddha Gautama adalah seorang muslim, padahal yang diketahui adalah Sidharta Buddha Gautama merupakan sosok yang selalu disembah oleh seluruh umat Budha. Berikut beberapa penjelasannya.





Fakta Yang Menyatakan Ternyata Sidharta Buddha Gautama Adalah Seorang Muslim
Sebelum membahasnya lebih dalam, terlebih dahulu perlu diketahui siapakah Sidharta Gautama? Banyak cerita yang berkembang tentang asal usul sosok ini. Diantaranya adalah:


1. Sidharta Gautama adalah anak dari pasangan Raja Suddhodana keturunan dari kaum Sakyas dan Permaisuri Maha Maya yang merupakan puteri dari Raja Anjana. Dia dilahirkan pada akhir abad ketujuh S.M. (tahun 623 S.M.) di bandar Kapilavastu.


2. Sidharta Gautama di duga kuat sebagai keturunan dari Nabi Sulaiman AS dan Ratu Balqis yang bernama Nabi Zulkifli. Tetapi ada beberapa sumber yang mematahkan dugaan bahwa Sidharta Gautama bukan Nabi Zulkifli. Hal-hal yang menjadi dasar bantahan ini diantaranya adalah:


- Sidharta Gautama dan Zulkifli memiliki nama dan arti yang sangat berbeda. Zulkifli berarti ‘sanggup’ dan dalam bahasa sansekerta tidak mengenal pemakaian huruf ‘Z’.


- Sidharta Gautama dan Zulkifli hidup pada zaman yang berbeda. Sidharta Gautama hidup disekitar tahun 623 SM, sedangkan Zulkifli berada pada tahun 1500 – 1425 SM.


- Semasa hidupnya Nabi Zulkifli di kenal sebagai seorang raja, sedangkan Sidharta Gautama malah meninggalkan kehidupan mewahnya dan memilih belajar untuk hidup sederhana.


- Perbedaan makna Nabi dan Budha. Dalam Islam, Nabi mengandung arti orang yang telah dipilih Allah untuk menerima wahyu dari Nya dan wajib menyampaikannya kepada orang lain. Sedangkan Buddha berarti orang yang tercerahkan dan di dalam ajaran Buddha setiap orang dapat menjadi seorang Buddha.


- Sidharta Gautama tidak menyembah siapapun dan mengajarkan untuk mengakhiri penderitaan serta mencapai pencerahan melalui dharma yaitu melakukan perbuatan baik, tidak berbuat jahat, dan melakukan meditasi untuk mendamaikan jiwa.


3. Sidharta Gautama diduga sebagai Nabi Idris AS. Ada beberapa kesamaan diantara keduanya sehingga disimpulkan bahwa mereka adalah satu. Berikut landasan dugaan Sidharta Gautama adalah Nabi Idris AS:

Memiliki kesamaan yaitu berdakwah kepada orang-orang jahiliyah
Keduanya sama-sama melakukan pertapaan atau menyepi untuk mendapatkan pencerahan
Ada hadist yang meriwayatkan bahawa ada seorang Nabi dari keturunan seorang raja
Buddha membawa kabar tentang Nabi Muhammad
Itulah beberapa pendapat tentang asal usul Sidharta Gautama yang telah dilansir dari berbagai sumber. Ada fakta-fakta yang terdapat dalam ajaran Buddha yang menguatkan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang Muslim karena ajaran Buddha tersebut sama dengan ajaran Islam. Fakta-fakta tersebut adalah Buddha mengajarkan kepada seluruh umatnya untuk tidak memakan daging binatang yang mati secara sendirinya dan memerintahkan untuk menyembelihnya, dan didalam teks Kalachakra memuat tentang penjelasan keyakinan umat Islam yaitu:


1. Para Thirtika Tayi melakukan penghormatan sebanyak 5 kali yang berarti dalam ajaran Islam adalah sholat 5 waktu yaitu shubuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya’.
2. Tidak diperkenankan untuk membuat patung-patung karena dapat dianggap berhala atau dalam Islam berarti musyrik
3. Saling menghormati karena memiliki derajat yang sama
4. Menjaga etika dalam kehidupan bermasyarakat
5. Adanya satu perlindungan Tuhan dengan ciri Tamas (Allah) yang secara langsung menandaskan bahwa Allah berada pada tingkat tertinggi Dewa.






Itulah beberapa fakta yang melandasi bahwa ternyata Sidharta Buddha Gautama adalah seorang muslim.

Saturday, January 24, 2015

Pesan Saidina Ali

https://www.facebook.com/rock3tmn/posts/765313226887788

Pesan Saidina Ali (كرم الله وجهه)

Telah berkata Kumayl bin Ziyād an-Nakha`ī,

Pada suatu hari, Amīr al-Mu´minīn `Alī bin Abī Ṭālib mengganding tanganku dan membawaku ke suatu tanah perkuburan. Sesampainya di sana, ia menarik nafas panjang dan berkata kepadaku:

Wahai Kumayl bin Ziyād, sesungguhnya qalbu manusia itu seperti wadah, yang terbaik darinya ialah yang paling rapi menjaga segala yang disimpan di dalamnya. Maka ingatlah apa yang kukatakan kepadamu, manusia itu ada tiga macam:

(1) rabbānī yang berilmu;
(2) orang yang senantiasa belajar dan selalu berusaha agar berada di jalan keselamatan;
(3) selebihnya orang-orang awam yang bodoh dan picik, yang mengikuti semua suara, yang benar maupun yang batil bergoyang bersama setiap angin yang menghembus, tiada bersuluh dengan cahaya ilmu dan tiada melindungkan diri dengan pegangan yang kukuh-kuat.

Wahai Kumayl, ilmu adalah lebih utama daripada harta. Ilmu menjagamu, sedangkan kau harus menjaga hartamu. Harta akan berkurang bila kau nafkahkan, sedangkan ilmu bertambah subur bila kau nafkahkan. Demikian pula budi yang ditimbulkan dengan harta akan hilang apabila hilangnya harta.

Wahai Kumayl, ma´rifat ilmu seperti juga agama, merupakan pegangan hidup terbaik. Dengannya orang akan beroleh ketaatan dan penghormatan sepanjang hidupnya serta nama harum setelah wafatnya. Ilmu adalah hakim dan harta adalah sesuatu yang dihakimi.

Wahai Kumayl, kaum penumpuk harta-benda telah "mati" di masa hidupnya, sedangkan orang-orang yang berilmu tetap hidup sepanjang masa. Sosok tubuh mereka telah hilang, namun kenangan kepada mereka tetap di hati. Ah, di sini (sambil menunjuk ke arah dadanya sendiri) tersimpan ilmu yang banyak sekali, sekiranya daku jumpai orang-orang yang mahu dan mampu memikulnya!

Memang, telahku dapati orang yang cerdas akalnya, tapi ia tak dapat dipercaya. Seringkali memperalat ilmu agama untuk kepentingan dunia, menindas hamba-hamba Allah dengan anugerah ni´matNya yang dikurniakan atas dirinya, dan memaksakan pendapatnya atas orang-orang kecintaan Allah.

Atau ku dapati seorang yang sangat patuh kepada para pembawa kebenaran, tetapi tidak memiliki kearifan untuk menembus pelik-peliknya, sehingga hatinya mudah goyah setiap kali keraguan – walau sedikit – melintas di depannya. Tidak! Bukan yang ini atau yang itu.

Juga bukan seseorang yang amat rakus mencari kelazatan hidup, yang mudah dikendalikan hawa nafsu. Atau yang gemar mengumpul dan menyimpan harta. Tiada kedua-duanya patut termasuk di antara para pendakwah agama, tapi justeru lebih dekat kepada binatang ternak yang digembalakan untuk mencari makan.

Begitulah, ilmu menjadi mati dengan "kematian" para pembawanya. Meskipun demikian, demi Allah, bumi ini takkan pernah kosong daripada seorang Qā’im li ‘Llāh bi ‘l-ḥujjah (petugas Allah pembawa hujahNya), baik ia yang tampak dan dikenal atau yang cemas terliput oleh kezaliman atas dirinya. Sehingga dengan demikian tiada akan pernah menjadi batal hujah-hujah Allah dan tanda-tanda kebenaranNya.

Namun berapakah, dan di manakah mereka? Sungguh mereka itu teramat sedikit jumlahnya tetapi teramat agung kedudukannya di sisi Allah. Dengan merekalah Allah menjaga hujah-hujah dan tanda-tanda-Nya, sampai mereka menyerahkannya kepada orang-orang yang berpadanan dengan mereka, dan menanamnya di hati orang-orang yang seperti mereka.

Hakikat ilmu menghunjam dalam lubuk kesedaran nurani mereka. Sehingga tindakan mereka berdasarkan ruh keyakinan. Hidup berzuhud, yang dirasakan keras dan sulit bagi kaum yang suka bermewah-mewah, bagi mereka terasa lembut dan lunak. Hati mereka tenteram dengan segala yang justeru menggelisahkan orang-orang jahil.

Mereka hidup di dunia ini dengan tubuh-tubuh yang tersangkut di tempat-tempat amat tinggi. Mereka itulah khalifah-khalifah Allah di bumiNya yang menyeru kepada agamaNya. Ah, sungguh sangat besar rinduku untuk bertemu dengan mereka! Kini, pulanglah (wahai Kumayl), bila anda ingin.

Wartasari, Januari 2013