Saturday, October 14, 2017

Keutamaan Duduk

Suatu waktu dahulu, dalam kelas Falsafah dan pemikiran Islam, ada seorang pelajar bertanya kepada saya, perlukah dia menyertai salah satu dari gerakan2 yang ada disekelilingnya bagi memenuhi tuntutan fardu kifayah? Pada masa yang sama, beberapa minggu sebelumnya ada beberapa rakannya yang sengaja tidak menghadiri kuliah saya bagi berkumpul demi menuntut keadilan untuk membebaskan pemimpin yang mereka sokong. Bagi kumpulan yang kedua saya katakan kepada mereka dalam pada menuntut bela keadilan jangan melakukan kezaliman! Pertamanya saya kata mereka telah menzalimi hak saya sebagai guru mereka, akan tetapi yang lebih utama adalah mereka telah menzalimi diri mereka untuk melengkapkan diri dengan Ilmu yang secukupnya bagi membebaskan diri dari belenggu pemikiran dan bagi mengelakkan diri dari melakukan kezaliman bila tiba giliran mereka untuk menjadi pemimpin kelak.


Saya kisahkan kepada mereka tentang satu peristiwa dizaman dahulu akan seorang Sufi dengan beberapa muridnya yang memohon nasihat saat fitnah berleluasa, maka beliau menuliskan huruf ‘Jim’ sebagai suatu isharat yang beliau tahu anak muridnya akan tafsirkan berdasarkan tahap pemahaman mereka. Maka satu darinya menganggap ia membawa maksud ‘Jabal’(gunung) yakni supaya melarikan diri kegunung dan memencilkan diri sehinggalah fitnah tersebut selesai. Yang satu lagi menganggap huruf itu membawa maksud ‘Junun’(gila) lantas beliau mengambil langkah supaya berpura-pura menyerupai orang yang kurang siuman supaya nanti tidak menjadi mangsa fitnah. Yang ketiga, dan yang saya kira yang paling utama bagi melawankan bahaya fitnah adalah ‘Jalis’(duduk) yakni pergilah duduk dengan ‘alim ‘Ulama dan ‘Awliya dalam majlis Ilmu, zikir dan menghitung-hitung diri supaya dapat membebaskan diri dari belenggu fitnah tadi, sehingga nanti tidak mudah terkeliru dan ditelan fitnah yang membanjir itu, sesuai dengan sabda Nabi; duduklah dengan para Kubara’(yakni orang-orang tua yang memiliki pengalaman) banyaklah bertanya pada Kaum ‘ulama, dan mendekat dan bermesralah dengan Hukama, yakni golongan yang memiliki ilmu dan adab yang kini sangat nadir.


Saya teringat nasihat guru kami Prof Wan Mohd Nor yang menuliskan sajak risalah untuk para aktivis kepada kami di waktu kami berkumpul di Melaka dahulu ‘ Orang muda itu ibarat kuda arab yang liar, kalau kami boleh tambat ia tentunya nanti sangat berguna demi melancarkan peperangan, jika tidak boleh sahaja yang menunggangnya terlambung tercedera dan yang sekelilingnya pun mendapat musibat!. Akan tetapi yang lebih saya gemari dari nasihatnya adalah ketika penggal pertama saya di CASIS bila dipanggil kebiliknya seraya saya langsung bertanya ‘Adakah kerana saya terlalu banyak bersoal tanya?’ maka jawab beliau ‘ Bahkan itu baik, cuma mungkin kalau saya boleh nasihatkan, terkadang jikalau kami menghidangkan kopi, tiada semestinya salahnya kopi, kalau cawannya masih terlalu kecil’ Maka saya fahami waktu itu bahawa pernyataan-pernyataan Pemikir sepertinya memakan masa untuk dihadam, kerana walaupun kelihatan singkat merupakan mutiara yang telah digilap selama puluhan tahun, tambahan pula ditadah dan peroleh melalui pelbagai keutusan akali, pelbagai kaedah dan hujah dicubanya sebelum sampai akhirnya pada maknanya! Kemudian pula bila saya menyadari akan peranan kerangka Ilmu dan pandangan Alam dalam membentuk dan membataskan ilmu yang diterima, saya kira wajar kalau ditambah, terkadang kalau cawan sedia dengan bekas minuman coklat, sememangnya si peminum tak merasa kopi tapi mocha sentiasa! Maka jelaslah bahawa tugas menuntut ilmu bukannya ringan lebih-lebih lagi bila sedar kita akan cabaran zaman. Kita harus insaf akan apa yang ditulis Imam Al-Ghazali dalam kitab ‘Ilmu.
‘Ilmu tidak akan memberikan sebahagian darinya kecuali sesudah kita memberikan seluruh upaya kita’.

https://www.facebook.com/notes/syed-muhammad-muhiyuddin-al-attas/keutamaan-duduk/10154837405512985/

Friday, October 13, 2017

Epistemological Differences of Data, Information, Knowledge, Insighte and Wisdom

I think the best example to show the difference between all these epistemological elements lie in statistics, which in my case, marks statistics:

1. You collect student marks. That is DATA (HISS).

2. You arrange them in various ways; ascending order, in tables etc. so that a pattern can emerge and inform you about how the students perform. This is INFORMATION (MA'LUMĀT).

3. You use the information to come up with a general/universal/abstract approximation of how the students perform. This approximation can be in the form of the statistical mean, median, or mode. This is KNOWLEDGE ('ILM).

But knowledge can be beneficial, useful, harmful to you, or harmful to everyone. If finding the mean spurs you into positive action to improve student understanding, this is BENEFICIAL KNOWLEDGE. If it doesn't spur you into action, this is USELESS KNOWLEDGE. If it is used by school leaders as currency for blame game henceforth affecting your confidence to teach, and subsequently lead to poorer teaching methods, this is HARMFUL KNOWLEDGE.

4. You use the statistical mean to improve your teaching practices consistently over a period of time, such that it becomes a habit of mind (malakah). As you use them, you gradually become enlightened as to why and how you use them in different situations. For instance, you know that in some particular cases, the knowledge of the statistical mean would not be useful to inform you about your lesson delivery. This is INSIGHT (HADS).

5. With experienced application of the statistical mean as part of your teaching practices, it dawned upon you on how exactly you would apply them in different situations such that only positive outcomes get produced. This is WISDOM (HIKMAH).



https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10154867535005143&set=a.206691620142.140845.583180142&type=3&theater

Rindu Keintiman

Imam Al-Ghazali mengatakan, “Ketahuilah bahwa perasaan damai, takut, dan rindu merupakan dampak dari perasaan cinta. Namun, kadar yang dirasakannya tidak permanen, tergantung pada tingkat ketajaman pandangan dan tingkat kepekaan perasaan yang menguasai sang pecinta.

Jika apa yang terjadi pada sang pecinta adalah sebuah penyaksian dari balik tabir hingga mencapai keindahan puncak dan ia merasa tak mampu lagi untuk menyaksikan lebih jauh hakikat keagungan tersebut, maka hatinya menjadi cemas, berkobar, dan bergerak bangkit untuk terus memburu. Keadaan cemas seperti itulah yang disebut syawq (kerinduan). Sungguh kerinduan adalah sesuatu yang gaib.

Jika ia dikuasi oleh perasaan tentram dan bahagia luar biasa, karena berdekatan (bersama Allah) dan berhasil menyaksikan kehadiran-Nya melalui tersingkapnya tabir antara Dia dan dirinya, lalu pandangannya juga terfokus pada penyaksian keindahan yang hadir terungkap di hadapannya, tanpa menoleh kepada keindahan lain yang belum diketahui, maka hatinya akan diliputi perasaan senang dan gembira. Kegembiraan seperti inilah yang disebut uns (keintiman spiritual).

Lalu, jika pandangannya terfokus pada sifat keagungan dan kemandirian-Nya, sama sekali tak berpaling dari-Nya dan ia khawatir semua yang dirasakannya itu lenyap, menghilang atau menjauh, maka hatinya akan merasa pedih. Perasaan pedih semacam inilah yang disebut khawf (ketakutan).

Jadi, uns (keintiman spiritual) dalam konteks ini adalah kegembiraan dan kebahagiaan hati karena menyaksikan keindahan. Lalu, ketika kegembiraan dan kebahagiaan itu benar-benar telah menguasai, tidak peduli terhadap segala hal yang telah menghilag, juga tidak peduli dengan kekhawatiran akan menghilang, maka kenikmatan yang ia rasakan akan memuncak pada puncak tertingginya (uns).

Suatu ketika Syekh Ibrahim bin Adham turun dari gunung. Seseorang bertanya, “Darimana engkau, ya Syekh?” Lalu beliau menjawab, “Dari bersenang-senang (uns) dengan Allah.” Bersenang-senang dengan Allah menyebabkan dia merasa tidak membutuhkan kepada selain Allah. Bahkan, semua bentuk kendala yang merintangi khalwat menjadi beban di hati.
Diriwayatkan pula bahwa Musa a.s. berbicara dengan Allah SWT, beliau berdiam diri selama beberapa hari.

Jika beliau mendengar seseorang berbicara, maka beliau langsung pingsan. Ini tidak mengherankan karena cinta hanya meniscayakan nikmatnya pembicaraan Sang Kekasih, juga nikmatnya berdzikir dan menyebut-Nya. Bagi sepotong hati yang dirasuki cinta, maka tak ada yang terasa nikmat selain Dia semata. Karena itu, seorang bijak berkata dalam alunan doa, “Wahai Dzat yang dengan menyebut-Nya hati jadi damai sentosa! Wahai Dzat yang membuat aku tak merasa butuh kepada makhluk-Nya.”

Rabiah Adhawiyah ditanya, “Dengan apa engkau bisa meraih kedudukan seperti ini?” Beliau menjawab, “Dengan meninggalkan apa yang tidak aku butuhkan dan rasa damaiku bersama Dzat yang tak pernah lenyap.”

--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa asy-Syawq wa al-Uns wa ar-Ridha

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1453083274741602:0

Friday, October 6, 2017

10 Mutiara Sejarah Bahasa Melayu


Muhammad Teja is with Muhammad Afiq and 8 others.
2 hrs ·





Masalah:

1. Isu:
Rasanya ramai tidak tahu bulan Oktober setiap tahun ialah Bulan Bahasa Kebangsaan, yang semenjak hampir 50 tahun diulang sambut. Ketidaktahuan ini mungkin banyak sebabnya, dan daripada banyak-banyak sebab itu, ialah mungkin kerana kita tidak tahu tentang sejarah bahasa Melayu kita.

2. Simptom:
Bahasa Melayu menjadi "mandom" kerana akar sejarah Jawinya telah diputuskan. Bahasa Melayu juga menjadi "lemau" kerana wibawa bahasa, yang terdiri daripada ulama Melayu Jawi diletakkan pada orang yang tidak layak, iaitu sasterawan khayali dan shok sendiri. Bahasa Melayu menjadi "lembap" kerana bahasa ini disangka semata-mata perjuangan badan kerajaan yang amat ma‘ruf dengan cara kerja yang jenuh berbirokrasi.

3. Punca:
Kemandoman, kelemauan dan kelembapan bahasa Melayu kerana dasar falsafah bahasa tidak lagi menuruti falsafah zaman kegemilangan persuratan bahasa Melayu. Dari segi zahirnya sekalipun, bandingkan sahaja bahasa yang kita gunakan sekarang dengan karya yang dikarang oleh Hamzah Fansuri, Nur al-Din al-Raniri, Dawud al-Fatani, Raja Ali Haji, Wan Ahmad al-Fatani dan Za‘ba sendiri (itupun jika anda tahu mereka itu ialah bahawasan unggul Melayu)

Perungkaian:

4. Muqaddimah:
Mahaguru Tan Sri Prof Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebutkan bahawa bahasa ialah saksi sunyi kehebatan pemikiran sesuatu bangsa. Pernahkan anda diceritakan tentang bagaimana bahasa Melayu mempunyai perkataan-perkataan serta istilah-istilah yang menjangkau saujana alam pemikiran, yang mampu tiba ke segenap sempadan ke‘ilmuan, dan yang pengarangnya ialah ‘ilmuwan yang mencapai tahap karya yang luhur sejagat (universal) dalam sejarah dunia?

5. Kerangka I:
Terkurnia keagungan dan keluhuran bahasa Melayu hanya setelah kedatangan Islam memberi ma‘na diri dan menyatukan pelbagai etnik di Kepulauan Asia Tenggara menjadi qawm Muslimin Melayu. Oleh itu dalam meninjau sejarah bahasa Melayu, peranan besar Islam perlu diberi penekanan dan diselidik dengan benar, tepat dan rinci.

6. Kerangka II:
Melihat peranan Islam bukan semata melihat zahir sesuatu kesultanan atau kerajaan, atau temuan-temuan arkeologi sejarah semata-mata. Sebaliknya hendaklah melalui ketajaman mata aqal yang menembusi haqiqat batin Melayu-Islam itu. Hanyasanya dalam karya-karya ulama yang dikarang dalam bahasa Jawi, serta pewaris-pewaris mereka yang hidup menjaga turath ke‘ilmuwan mereka hingga kini ialah jalan mengetahui dan memahami haqiqat batin itu.

7. Bukti:
Adapun Melihat sahaja karya bahasa Jawi ‘ilmuwan Melayu, tidak dapat tiada kita 'kan mengakui bahawa ia mata rantai yang bersimpul-kukuh dengan tali ke‘ilmuan Islam, berpuncakan kitab teragung, ya‘ni al-Qur'an. Bahasa Jawi sebagai mithalan, memakai huruf ‘Arab, ya‘ni huruf yang dipakai oleh al-Qur'an; nahunya juga dijelaskan menuruti qa‘idah nahu ‘Arab, ya‘ni mirip nahu yang digunakan untuk memahami bahasa al-Qur'an; dan sebilangan besar istilah serta ma‘na al-Qur'an, telah memperkaya perbendaharaan perkataan Melayu Jawi. Sehinggakan, jika dibuang perkataan-perkataan, nahu-nahu dan huruf-huruf Jawi itu dari bahasa Melayu - apalah lagi yang dapat dinamakan bahasa Melayu itu? Dapatkah kita bayangkan bahasa Melayu kita tanpa perkataan: ‘ilmu, fikir dan ‘aqal?

8. Situasi:
Sungguhpun nyata terang ibarat matahari di waktu siang akan peranan besar Islam mengangkat martabat bahasa Melayu ke tahap yang paling luhur, masih lagi pemuka-pemuka bahasa kini berkira-kira, teragak-agak, bahkan sengaja memekakkan telinga dan membutakan mata hatta hingga ada yang ketegar menafikannya. Lebih selesa mereka-mereka itu bernaung di bawah simpulan-simpulan aneh para orientalis yang menda‘wa Islam perosak keaslian bahasa Melayu yang menghapuskan rupa Sanskrit, justeru unsur Hindu yang kononnya itulah asli Melayu; malah menjadi penganjur yang berlebih-lebihan pula menghapuskan sebarang rupa-bentuk keislaman bahasa Melayu: seperti menggantikan huruf Jawi dengan abjad yang dipakai sekarang dan menguatkuasakannya dalam seluruh lapangan pendidikan supaya satu demi satu generasi bangsa Melayu semakin alpa dan lalai daripada mengenal bahasawan Melayu yang bertaraf ‘ulama, dengan hanya pandai menyebut nama para sasterawan negara yang martabat ke‘ilmuannya boleh diduga-duga.

9. Ikhtiyar:
Mengetahui akan begitu dahshatnya pelbagai kejadian yang berlaku kini dan bagaimana jauhnya kita dengan haqiqat sejarah bahasa Melayu, maka perlulah ada ikhtiyar–––sungguhpun kerdil dan kecil–––tetapi istiqamah dengan kebenaran dan ke‘ilmuwan. ‘Ibarat menebas dan mencabut lalang kekeliruan yang telah berakar, begitulah cabaran dan tanggungjawab yang perlu dipikul bagi meratakan semula belukar dan menggembur tanah subur supaya buah peradaban kembali berputik.

Kesimpulan:


10. Buah:
Salah satu ikhtiyar kami di Akademi Jawi Malaysia (Klasika Media) ialah menerbitkan Siri Persuratan Jawi yang kini sudah menyusun 7 judul baharu semenjak tahun 2017 dimulakan. Adapun inilah ikhtiyar kecil kami dalam mempersembahkan keagungan dan keluhuran bahasa Melayu dalam mutu terbaik, berdarjat dan bermaruah untuk bacaan dan ruju‘kan mereka yang ingin berfikir dan memerhati. Salah satu judulnya ialah Kitāb Naḥū Jāwī: Petuturan Melayu, ‘Abdu'LLāh ‘Abdu'r-Raḥmān yang membicarakan mengenai aturan bahasa Jawi yang amat berguna bagi memahami rupa dan bentuk bahasa Jawi. Di dalamnya terkarang pengenalan mengenai bagaimana peranan besar Islam dalam membina sebuah bahasa baharu, bahasa Islam, iaitu bahasa Melayu. Adapun dalam semangat Bulan Bahasa Kebangsaan ini, saya amat mengeshorkan ia dibaca dan dibicarakan agar sambutan bulan bahasa itu bukan semata-mata acara kerajaan menyambut menteri (yang akhirnya menterinya pun tak datang).

Boleh dapatkan naskhah Kitāb Naḥū Jāwī: Petuturan Melayu, ‘Abdu'LLāh ‘Abdu'r-Raḥmān di sini:

https://www.kafilahbuku.com/kitab-nahu-jawi-petuturan-melay…
https://www.kafilahbuku.com/kitab-nahu-jawi-petuturan-melay…
https://www.kafilahbuku.com/kitab-nahu-jawi-petuturan-melay…

Boleh juga Whatsapp:
www.wasap.my/60194398529
www.wasap.my/60194398529
www.wasap.my/60194398529

*kredit gambar: Pelita Dhihin.