Sunday, March 20, 2016

Manhaj Al Fikri

https://www.facebook.com/fansadianhusaini/posts/757559944345088

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika saya menulis thesis di Birmingham, Dr. David Thomas menasehati saya “kalau anda mau obyektif anda harus keluar dari (cara pandang) Islam”. Saya terkejut tapi tidak langsung menjawab, sebab dia temperamental.

Pada temu-janji berikutnya saya baru menjawab “If I get out of Islamic framework I will be, epistemologically, no longer a Muslim”. Dia sekarang yang terperangah. Raut mukanya mendadak berubah, ia lalu tertawa ngakak, “ok..ok…forget it” katanya.

Saya tidak mengerti mengapa sesingkat itu jawabannya. Tapi saya menangkap dia kurang percaya diri. Cara pandangnya dikotomis. Subyek dan obyek dipisahkan secara paksa. Agar bisa obyektif maka saya (subyek) harus memisahkan diri dari obyek.

Memang dia sendiri, yang Katholik itu, dalam kuliah-kuliahnya, cenderung melihat sejarah Islam dari perspektif Kristen. Saya maklum. Tapi ketika dia sendiri memahami Kristen dari visi Kristen dia menjadi “curang”. Persoalannya adalah bagaimana dan dengan apa sesuatu itu dipahami.

Soal cara memahami alumni pesantren modern mungkin tidak akan lupa prinsip al-tariqat ahammu min al-maddah (metode lebih penting dari materi). Dan guru lebih penting dari metode (al-mudarrisu ahammu min al- Tariqah).

Pisau lebih penting dari mangga, tapi (keterampilan) pengupas lebih penting dari pisau. Itu prinsip bagaimana memahamkan sesuatu (pengajaran) di tingkat menengah. Di perguruan tinggi masalahnya bukan metode lagi, tapi metodologi.

Bukan hanya pisau tapi pisau analisa, framework, manhaj atau cara pandang. Inilah sebenarnya inti nasehat David. Di tingkat menengah, jika metode atau tariqah gagal, murid tidak paham.

Tapi di perguruan tinggi salah memilih framework atau manhaj membuat mahasiwa bingung kalau tidak tersesat. Prinsipnya mungkin berubah menjadi al-manhaj ahammu min al-maddah wa al-mudarris (framework lebih penting dari materi dan dosen).

Dalam kajian Islam suatu framework atau manhaj terkait pertama-tama dengan proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Suatu “metabolisme” dalam nutrisi spiritual. Kualitas ilmu, cara mencari, sumber ilmu yang benar, penalaran yang betul, manfaat yang jelas merupakan sebagian dari bangunan framework.

Jika ilmu itu cahaya al-haqq, seperti kata Waqi’ guru Imam Syafii, maka ilmu dan iman sumbernya sama. Siapa yang banyak ilmu mesti tebal imannya dan sebaliknya. Ia akan berilmu dengan imannya dan beriman dengan ilmunya.

Pemikir mesti ahli zikir dan irama zikir harus sejalan dengan kerja pikir. (Ali Imran: 190-191). Karena cahaya itu dari Allah, maka alam pikiran Muslim merupakan refleksi Ilmu Ilahi. Alam pikiran Muslim membentuk miniatur alam semesta yang terstruktur (microcosmos).

Pancaran pandangannya terhadap hidup dan kehidupan seluas pancaran cahaya pandangan hidup Islam (worldview). Itulah sebabnya mengapa Iqbal menyimpulkan Muslim tidak ditelan cakrawala seperti kafir, tapi justru menelannya. Alam pikiran Muslim yang diwarnai pandangan hidup Islam adalah framework.

Jika alam pikiran manusia adalah framework, maka Alparslan Acikgenc benar “Setiap peradaban perlu framework” untuk memahami dirinya sendiri. Barat, India, Kristen, Islam dan sebagainya punya framework.

Siapapun berhak memahami Islam, sebab Islam turun untuk umat manusia. Tapi, memahami Islam bukan hanya memahami data dan fakta sejarah. Framework kata Alparslan, tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis.

Artinya, bagaimana data dan fakta dalam peradaban Islam itu dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah) data dan fakta sebagai obyek kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subyek yang mikrokosmis tersebut [Lihat Fussilat, 53].

Ini firman Tuhan. Karena itu realitas alam pikiran Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiristis atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran sinar wahyu.

Tapi memahami Islam tidak bisa dengan framework apapun atau alam pikiran siapapun. Jika seorang ateis diizinkan memahami framework Islam, maka Nabi bisa jadi penipu. Kalau alam pikiran sekuler dipakai, shahadat menjadi manifesto sekulerisasi. Menurut alam pikiran liberal, Nabi, Umar ibn Khattab dan lain-lain adalah seorang tokoh liberal sejati dan seterusnya.

Begitulah, jika realitas obyek dipisahkan dari alam pikiran subyek atau jika realitas (haqiqah) data dan fakta tidak diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus). Jika afaq dipisahkan dari anfus (worldview), maka ia akan menjadi hampa, bak lagu tanpa irama. Begitulah, konsekuensi sebuah framework.

Itulah salah satu alasan mengapa Muslim tidak bisa memakai framework peradaban lain. Framework Barat itu problematis, kata Sayyid Hossein Nasr. Mereka melupakan beda rasio dan intelek.

Dalam Islam, istilah ‘aql sudah mencakup keduanya. Ratio (Latin) berarti pikiran manusia, tapi ‘aql-‘aqala mempunyai arti “mengikat”. Suatu bagian dalam diri manusia yang mengikat dirinya dengan Tuhannya. (makhluq dengan khaliq), yang menyatukan fisika dengan metafisika, fenomena dengan noumena, simbol dengan makna, afaq dan anfus, subyek dengan obyek, nisbi dengan mutlak dan seterusnya.

Karena anugerah ‘aql inilah maka manusia memiliki salah satu sifat Tuhan, yakni ‘alim. Barat yang rasionalistis itu telah membuang fakultas pengikat ini. Maka tidak salah jika Iqbal menyimpulkan, rasionalisme Barat hanya bisa menghasilkan superman, seperti Nietszhe, tapi nalar dan akal Islam menghasilkan insan kamil, seperti para ulama yang saleh.

Jadi, Muslim bisa menggunakan metode asing tapi bukan frameworknya. Muslim bisa menelan cakrawala pemikiran asing, tapi dengan Cakrawala Muslim. Muslim bisa pakai handphone produk Barat, misalnya, tapi tidak mesti harus menjadi sekuler-liberal. Orang Barat bisa pakai minyak dari Saudi tapi tidak perlu bersyahadat dan naik haji.

Sains Barat tidak sepenuhnya ditolak atau diterima. No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected, S.H.Nasr. Unsur asing perlu dicerna, diproses untuk diserap dan atau dibuang. Persis metabolisme tubuh manusia.

Matthew Melko, profesor sosiologi di Universitas Wright, Ohio, setuju One civilization rarely receive material from another without changing the nature of that to fit its own pattern. (lihat Stephen K.S. Civilization and World System).

Pattern adalah framework, alat cerna unsur-unsur asing. Jika ada yang berargumentasi bahwa “inti sekulerisasi adalah rasionalisasi, dan rasionalisasi sejalan dengan Islamisasi, maka sekulerisasi itu adalah Islamisasi”, maka ia telah salah menentukan framework.

Sebab dalam framework atau manhaj ini Kant, Nietsche, Derrida dkk. pun bisa menjadi figur yang “saleh”. Bagi yang setuju dengan gerakan gender dan feminisme, syariat Islam itu menindas wanita. Benturan Islam-Barat direduksi menjadi Sexual clash of Civilization.

Jadi jika Islam dipandang dari framework Barat, maka yang nampak bukan wajah asli Islam. F.Rosenthal sendiri mengakui “Anything lying outside one’s own experience cannot be comprehended in its true dimension”. Begitulah, menerima pandangan Alparslan bermakna menolak nasehat David.

Pengikut “profesional” Barat mungkin akur dengan Thomas. “Jangan melihat Islam dari dalam Islam, lihatlah dari (framework) Barat”. Tapi ketika mereka harus mendukung “proyek” pluralisme agama, terpaksa harus “selingkuh”, “Jangan melihat Kristen dari framework Islam”. Bagi yang arif akan terbesit di kedalaman dhomir mereka kesimpulan kreatif “Jangan mengikuti Barat dengan framework Barat, lihatlah Barat dengan manhaj Islam”.

Jadi, daripada mendengar nasehat David lebih baik membaca pengakuan Rosenthal yang jujur dan adil. “Suatu peradaban” katanya, “cenderung berjalan diatas konsep-konsep penting…Yang telah ada sejak kelahirannya… jika [konsep-konsep] itu tidak lagi digunakan secara benar, maka ia merupakan pertanda yang jelas bahwa peradaban itu telah mati”.

‘Ilm adalah salah satu konsep penting dan dominan dalam peradaban Islam yang memberinya bentuk dan warna yang khas. Diatas konsep ‘ilm inilah peradaban Islam berjaya dan berjalan selama berabad-abad. Dan di kedalaman konsep ‘ilm inilah manhaj pemikiran Islam tersembunyi.

Lalu, Apa Itu Makrifat

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/969446193105315

Imam Al-Junaid mengatakan, “Sesungguhnya awal yang dibutuhkan oleh seorang hamba dari sesuatu yang bersifat hikmah adalah mengetahui Sang Pencipta (makrifatullah) atas keterciptaan dirinya; kebaruan diri tentang bagaimana kebaruannya; sifat keperbedaan Sang Pencipta dari sifat makhluk; sifat perbedaan “Dzat yang Lama” dari “yang baru” (alam/makhluk); menurut pada ajakan-Nya, dan mengetahui keharusan diri untuk taat kepada-Nya. Sesungguhnya orang yang belum mengetahui Dzat Sang Penguasa alam, maka ia tidak akan mengetahui keberadaan kerajaan alam tentang status kepemilikannya untuk siapa.”

Sedangkan menurut Abu Thayib Al-Maghribi, setiap unsur dalam diri seorang hamba memiliki fungsi yang berbeda-beda berkaitan dengan kemakrifatannya kepada Allah. Akal, menurutnya, memiliki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah memberi isyarat, dan makrifat mempersaksikan. Karena itu, kejernihan ibadah tidak akan diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid.
Imam Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid berarti pengesaan Dzat Yang Esa dengan hakikat dan kesempurnaan keesaan-Nya. Tidak beranak dan tidak diperanakan. Tidak setara dengan apa pun.”

--Disarikan dari Risalah Qusyairiyah, karya Imam Al-Qusyairi


Saturday, March 19, 2016

Nasihat Syaikh Ibn Atha'illah Tentang Rezeki

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/969189823130952

“Alangkah banyaknya sesuatu yang tersembunyi dalam dirimu!Jika engkau mau mengamati dengan seksama maka pasti akan tampak. Dan, hal yang paling berbahaya adalah dosa keraguan kepada Allah SWT. Sebab, ragu terhadap rezeki berarti ragu terhadap Dzat Sang Pemberi rezeki. Dan sesungguhnya, dunia ini terlalu hina untuk kau risaukan!

Jika engkau mempunyai perhatian tinggi pastilah engkau akan merisaukan sesuatu yang lebih besar, yaitu masalah akhirat. Orang yang merisaukan hal-hal yang kecil, lalu melupakan sesuatu yang lebih besar, maka berarti dia adalah orang yang paling bodoh.

Karena itu, kerjakanlah kewajiban untuk melaksanakan ibadah dan semua perintah Allah. Dia pun akan menjalankan apa yang menjadi kewajiban-Nya untukmu. Jika kumbang, cicak-tokek, dan cacing saja diberi rezeki oleh Allah, apa mungkin engkau akan dilupakan?

Allah SWT berfirman, “Suruhlah keluargamu untuk shalat dan sabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak menuntut rezeki darimu. Kamilah yang memberi rezeki. Balasan yang baik akan diberikan kepada orang yang bertakwa.” (QS Tha Ha: 132)

Jika engkau melihat ada orang yang risau karena rezeki, maka ketahuilah bahwa sebenarnya dia jauh dari Allah. Seandainya ada yang berkata kepadamu, “Besok kamu tak perlu kerja! Cukup kamu kerjakan ini saja! Saya akan memberimu Rp 2 juta,” pastilah engkau akan percaya dan mematuhi perintahnya. Padahal, dia itu makhluk yang fakir, tak bisa memberi manfaat atau madarat. Lalu, mengapa engkau merasa cukup dengan Allah Yang Mahakaya dan Mahamulia, yang menjamin rezekimu sepanjang hidup?

Allah SWT berfirman, “Tidak ada makhluk yang melata di muka bumi ini kecuali Allah-lah yang menjamin rezekinya. Dia mengetahui tempat tinggal binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam Kitab yang nyata (Lawh Mahfuzh).” (QS Hud [11]: 6)

---Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Bahjat An-Nufus

Sempurna Akal

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/969104876472780

“Orang yang sempurna akalnya adalah orang yang lebih suka pada apa-apa yang kekal (bi maa huwa abqa’) daripada pada apa-apa yang akan rusak (bi maa huwa yafna’). Sungguh telah bersinar terang nur di hatinya, dan tampaklah buktinya pada akhlaknya.”

--Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab Al-Hikam

Allah Menunggumu, Kawan!

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/968702863179648

“Wahai Dawud! Seandainya orang-orang yang berpikir dan merenung tentang Aku itu mengetahui betapa Aku menunggu mereka, betapa Aku selalui menemani mereka, dan betapa Aku juga sangat merindukan agar mereka menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat, niscaya mereka mati membawa kerinduan dengan tubuh tercerai berai karena kecintaan-Ku kepadanya.

Wahai Dawud! Itulah yang Aku inginkan terhadap orang-orang yang terus menerus memikirkan Aku dan merenungkan Aku.
Lalu, bagaimana dengan kehendak-Ku terhadap orang-orang yang menghadap pada-Ku? Ketahuilah, wahai Dawud! Sebenarnya yang paling Aku butuhkan adalah bagaimana hamba-Ku merasa selalu membutuhkan Aku.

Hal yang paling Aku sayangi pada hamba-Ku adalah ketika ia memikirkan Aku. Hal yang paling Aku agungkan pada hamba-Ku adalah ketika ia kembali kepada-Ku.”

--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha

Thursday, March 17, 2016

Wasiat Shaykh Ibn Atha'illah Tentang Umur dan Zikir

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/967281533321781

"Jika engkau telah berusia empat puluh tahun, maka segeralah untuk memperbanyak amal shaleh siang maupun malam. Sebab, waktu pertemuanmu dengan Allah 'Azza wa Jalla semakin dekat. Ibadah yang kau kerjakan saat ini tidak mampu menyamai ibadah seorang pemuda yang tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Bukankah selama ini kau sia-siakan masa muda dan kekuatanmu. Andaikata saat ini kau ingin beramal sekuat-kuatnya, tenagamu sudah tidak mendukung lagi.

Maka, beramallah sesuai kekuatanmu. Perbaikilah masa lalumu dengan banyak berdzikir, sebab tidak ada amal yang lebih mudah dari dzikir. Dzikir dapat kamu lakukan ketika berdiri, duduk, berbaring maupun sakit. Dzikir adalah ibadah yang paling mudah.

Rasulullah saw bersabda :
وليكن لسانك رطبا بذكر اللّه
Dan hendaklah lisanmu basah dengan berdzikir kepada Allah swt.
Bacalah secara berkesinambungan doa' dan dzikir papa pun yang mudah bagimu. Pada hakikatnya engkau dapat berdzikir kepada Allah swt adalah karena kebaikannya. Ia akan mengaruniamu…..

"Ketahuilah, sebuah umur yang awalnya disia-siakan, seyogyanya sisanya dimanfaatkan. Jika seorang ibu memiliki sepuluh anak dan sembilan diantaranya meninggal dunia. Tentu dia akan lebih mencintai satu-satunya anak yang masih hidup itu. Engkau telah menyia-nyiakan sebagian besar umurmu, oleh karena itu jagalah sisa umurmu yang sangat sedikit itu.

Demi Allah, sesungguhnya umurmu bukanlah umur yang dihitung sejak engkau lahir, tetapi umurmu adalah umur yang dihitung sejak hari pertama engkau mengenal Allah swt.
"Seseorang yang telah mendekati ajalnya ( berusia lanjut ) dan ingin memperbaiki segala kekurangannya di masa lalu, hendaknya dia banyak membaca dzikir yang ringkas tetapi berpahala besar. Dzikir semacam itu akan membuat sisa umur yang pendek menjadi panjang, seperti dzikir yang berbunyi :
سبحان اللّه العظيم وبحمده عدد خلقه ورضانفسه وزنة عرشه ومداد كلماته
Maha suci Allah yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya, ( kalimat ini kuucapkan ) sebanyak jumlah ciptaan-Nya, sesuai dengan yang ia sukai, seberat timbangan Arsy-Nya dan setara dengan jumlah kata-kata-Nya.

Jika sebelumnya kau sedikit melakukan shalat dan puasa sunah, maka perbaikilah kekuranganmu dengan banyak bershalawat kepada Rasulullah saw. Andaikata sepanjang hidupmu engkau melakukan segala jenis ketaatan dan kemudian Allah swt bershalawat kepadamu sekali saja, maka satu shalawat Allah ini akan mengalahkan semua amalmu itu.

Sebab, engkau bershalawat kepada Rasulullah sesuai dengan kekuatanmu, sedangkan Allah swt bershalawat kepadamu sesuai dengan kebesaran-Nya. Ini jika Allah swt bershalawat kepadamu sekali, lalu bagaimana jika Allah swt membalas setiap shalawatmu dengan sepuluh shalawat sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah Hadits Shahih, "Betapa indah hidup ini jika kau isi dengan ketaatan kepada Allah swt, dengan berdzikir kepada-Nya dan bershalawat kepada Rasulullah saw."
Semoga bermanfaat!
Selamat berdzikir.

Peringatan Atas Mengambil Guru

https://www.facebook.com/abd.halim01/posts/1110064555682582

AsSalaam'alaikum!

Tidakkah kamu telah diingatkan berkali-kali supaya berhati-hati tentang guru yang manakah kamu belajar agama al-Islam? Jika kamu belajar Aqidah Islam (Ilmu Tawhid) daripada seorang yang aqidahnya sendiri tidak betul, kamu akan terikut aqidahnya dan akan diperdaya olehnya. Jika kamu belajar Tasawwur Islam (Worldview of Islam) dari seorang yang digelar 'ustaz' tetapi sebenarnya jahil hatta dalam perkara asas seperti ilmu fardhu 'ayn, maka rosaklah Tasawwur kamu dan kelirulah pemahaman kamu tentang ad- Deen ul -Islam.

Dua ilmu inilah - Aqidah dan Tasawwur - yang banyak diserang oleh anasir-anasir luaran dan dalaman yang membawa kerosakkan yang paling dasyat sekali kepada ummat kita terutamanya anak-muda. Al-Quran mengajar kita : ".. bertanyalah kepada mereka-mereka yang berilmu ..." ( Surah al -Nahl : 43), jadi mengapa ramai yang masih belajar dari guru-palsu yang nampaknya gah dan petah bercakap tetapi sebenarnya jahil dan menyesatkan?

Monday, March 14, 2016

Alam Ain dan Aradh

https://www.facebook.com/schoolofislamicthought/posts/1309488675747438

Ulama' Ahlussunnah Wal-Jamaah menjelaskan bahawa alam (makhluk allah) terbahagi kepada dua bahagian, iaitu benda (ain) dan sifat benda (aradh). Kemudian benda menjadi dua. Pertama jauhar al-fard, iaitu benda yang tidak dapat dibahagikan lagi kerana telah mencapai batas terkecil.
Dan kedua, jism, iaitu benda yang dapat dibahagi menjadi bahagian-bahagian.

Benda juga terbahagi kepada benda lathif ( sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, kegelapan, roh, angin, dsbg), dan benda katsif ( sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat).
Benda juga mempunyai sifat yang melekat pada dirinya (aradh) seperti bergerak, diam, duduk, berada di tempat arah, turun, naik, dan sebagainya.

Ulama' membahagikan sifat-sifat ini kerana munculnya kelompok Mujassimah dan Hasyawiyyah yang mengatakan bahawa Allah itu duduk di suatu tempat dan mempunyai anggota seperti manusia.

Sudah ditegaskan di atas bahawa Allah tidak menyerupai makhluk-NYA, sehingga sudah tentu bahawa Allah itu bukan al-jauhar al-fard, bukan jism, bukan benda lathif, dan bukan benda katsif.

Fikirkanlah

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/965891090127492

Allah SWT berfirman:
"Betapa banyak engkau mengumpulkan harta benda, padahal engkau tidak mungkin akan memakan semuanya

Betapa banyak kesempatan taubat engkau tunda hari demi hari dan tahun demi tahun, tanpa mau merenungkan sama sekali, apakah engkau akan terhindar dari kematian?

Apakah engkau dapat lolos dari siksa api neraka? Ataukah engkau sangat yakin akan meraih kenikmatan di surga? Apakah di antara engkau dan Sang Pengasih terdapat jaminan rahmat? Kenikmatan telah membuatmu angkuh dan sombong. Kebaikan telah menyebabkan engkau celaka.

Angan-angan yang membumbung tinggi telah menjadikan engkau terpikat oleh dunia.

Engkau menyia-nyiakan kesehatan dan kesejahteraan, padahal hari-harimu jelas berlalu dan nafasmu telah ditentukan batasnya.

Beramallah untuk kebaikanmu dengan apa yang tersisa dalam hidupmu.

Wahai manusia! Sesungguhnya engkau tidak menghiraukan amal perbuatanmu. Padahal setiap hari usiamu terus berkurang sejak engkau keluar dari perut ibumu. Hari demi hari, tahun demi tahun, engkau kian dekat pada kuburanmu hingga akhirnya engkau memasukinya.

Wahai manusia! Kehidupanmu di dunia laksana lalat. Ketika terjatuh ke dalam madu, maka lengket melekat.

Karena itu janganlah engkau seperti kayu bakar yang membakar dirinya sendiri untuk yang lain."

---Hadis Qudsi, dikutip dari kitab Al-Mawaizh fi al-Ahadis al-Qudsiyyah, karya Imam Al-Ghazali.

Sunday, March 13, 2016

Carilah Aku

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/965450413504893

"Wahai anak Adam! Carilah Aku sesuai dengan kadar kebutuhanmu kepada-Ku. Berbuatlah durhaka kepada-Ku menurut kadar kesabaranmu pada siksa api neraka. Janganlah engkau memandang pada ajalmu yang masih tertunda. Jangan pula engkau memandang pada rejekimu yang kau raih hari ini dan dosa-dosamu yang tersembunyi. Segala sesuatu akan hancur kecuali Dzat-Nya. Ditangan-Nya kekuasaan untuk memutuskan tergenggam. Kepada-Nya pula engkau akan dipulangkan kembali.”

---Hadis Qudsi, dikutip dari kitab Al-Mawaizh fi al-Ahadis al-Qudsiyyah, karya Imam Al-Ghazali

Saturday, March 12, 2016

Transaksi Dengan Allah Setiap Hari

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/964723776910890

Ibnu Athaillah menuturkan, "Ketika matahari menyingsing, pastikanlah kau telah bertransaksi dengan Allah. Bersedekahlah setiap hari meski dengan seperempat dirham agar kau tercatat dalam golongan kaum yang gemar sedekah. Bacalah Al-Quran setiap hari meskipun satu ayat agar kau tercatat dalam golongan kaum yang rajin membaca. Shalatlah meski dua rakaat agar kau tercatat dalam golongan yang menunaikan shalat malam. Jangan katakan, 'Kalau hanya memiliki makanan untuk satu atau dua hari, bagaimana bisa bersedekah?' Allah berfirman, 'Hendaklah orang yang memiliki kelapangan mengeluarkan harta sesuai kemampuannya dan orang yang disempitkan rezekinya mengeluarkan dari harta yang Allah berikan.' (QS At-Thalaq 65: 7). Perumpamaan orang miskin yang kau beri sedekah adalah seperti tunggangan yang membawa bekalmu menuju akhirat."
--Syekh Ibnu Atha'illah dalam Taj Al-'Arus

Sahabatku, ketulusan kepada Allah dan komitmen kita kepada perintah-Nya baru terlihat ketika kita melakukan transaksi dengan Allah setiap hari melalui sedekah, bacaan Al-Quran, dan shalat dua rakaat pada waktu malam seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Athaillah.
Amal-amal tersebut menunjukkan sejauh mana penghambaan kita kepada-Nya.

Tapi, jika kita melalaikan semua itu, sementara perhatian kita tertuju pada bagaimana memuaskan syahwat dunia,berarti kau belum jujur kepada Allah dan menyimpang dari jalan yang Allah perintahkan. Bagaimana mungkin orang seperti itu akan selamat pada hari kiamat?

Jika ia tidak berbekal untuk hari tersebut maka akhir perjalanannya seperti yang telah ia gariskan sendiri. Ia laksana kupu-kupu yang menjatuhkan diri di atas api sementara ia mengira dengan cara itu akan selamat.

Moga bermanfaat.


Hati-hati Jebakan Istidraj

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/964722226911045

"Hal yang dikhawatirkan atas dirimu adalah dosa yang dilakukan secara berantai sehingga menjebak dan mengokohkan dirimu di dalamnya. Allah berfirman, 'Kami akan menjebak mereka dari arah yang tidak mereka ketahui.' (QS Al-Qalam 68: 44)."
--Syekh Ibnu Atha'illah dalam Taj Al-'Arus

Sahabatku, istidraj atau jebakan Allah kepada pelaku maksiat adalah dengan memberi mereka kesehatan dan kenikmatan yang kemudian mereka pergunakan sebagai sarana untuk semakin banyak melakukan kemaksiatan dan dosa. Nabi SAW. bersabda, "Jika kau melihat Allah memberi dunia kepada hamba yang bermaksiat seperti yang ia inginkan, sesungguhnya itu merupakan istidraj." (HR Ahmad).

Dalam ayat lain Allah menerangkan maksud istidraj dalam bentuk yang lebih jelas, "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan, Kami bukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Ketika itulah mereka terdiam putus asa." (QS Al-An'am 6: 44).

Orang beriman selalu khawatir ketika pintu-pintu rezeki terbuka untuknya. Ia khawatir itu merupakan jebakan menuju siksa. Karena itu, ia senantiasa bersyukur kepada Allah dengan menjalankan ketaatan dan menunaikan hak-hak harta sebagaimana yang diperintahkan-Nya.

Semoga bermanfaat.

Thursday, March 10, 2016

Koreksi Total Fondasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas

https://www.facebook.com/abu.muhammadibrahim/posts/1413770171982572

Usaha Al-Attas dalam menghidupkan kembali khazanah sufi, budaya dan sastra Melayu patut diapresiasi. Utamanya adalah perannya dalam memperkenalkan kembali pemikiran Hamzah Fansuri kepada masyarakat masa kini. Akurasi analisa atas pemikiran Hamzah Fansuri telah dilakukan dengan baik oleh ulama kelahiran Bogor ini. Dia juga konsisten dengan ilmunya sehingga dia memeberi solusi terhadap persoalan masa kini dengan merujuk kepada pemikiran kaum sufi. Konsistensi ini telah mempengaruhi banyak generasi muda. Tetapi dalam ruang filsafat Islam yang murni, solusi ini tidak dapat diterima dengan baik.

Al-Attas mengusung proyek besar yakni islamisasi ilmu. Proyek ini dibangun dengan landasan linguistik yang merupakan bagian bidang pelajarannya selama di Barat. Menurutnya, bahasa memegang peran penting karena merupakan alat untuk mengkomunikasikan ide bahkan pengalaman metafisik. Karena itu tidak heran kalau dalam membahas suatu persoalan dia mengusut persoalan tersebut hingga bahasa dan bahkan makna yang mewakilinya. Keuletannya dalam mengkaji pemikiran kaum sufi sebelum kita, juga telah membentuk prinsip keilmuannya. Karena itu tidak heran bila Al-Attas selalu menggunakan ajaran kaum sufi sebagai penguatnya berargumentasi. Tetapi pemikiran Al-Attas, termasuk proyek islamisasi ilmu, memiliki banyak kekeliruan mendasar.

Dalam kajiannya tentang ontologi, Al-Attas memang mampu menjelaskan pemikiran ontologis para filosof dan kaum sufi dengan baik. Tetapi ketika menjelaskan persoalan intinya yakni persoalan wujud dengan mahiyah Al-Attas hanya merujuk pada Ibn Sina, Suhrawardi dan Taftazani (lihat Prolegomna to the Metaphysics of Islam, KL: ISTAC, 2001) . Padahal persoalan ini belum usai dalam sejarah filsafat Islam. Akibatnya pembahasan tentang wujud dan mahiyah dalam pemikiran Al-Attas tidak usai dan ganji. Padahal persoalan ini adalah jantung dari persoalan filsafat.

Benar saja, keganjilan Al-Attas berimplikasi pada pandangannya tentang wujud (eksistensi) dan hirarkinya. Al-Attas terlalu mencampuraduk antara pemikiran Al-Ghazali, Ibn 'Arabi, Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abdurrahman Jami’. Persoalan ini memberikan implikasi kepada ganjilnya sistem epistemologi Al-Attas. Ia menerima dengan baik sistem teologi Al-Ghazali, tentunya dia menerima teologi Asy'ari. Demikian itu, dia juga menerima ajaran wujud Abdurrahman Jami’ yang pastinya dia menerima sistem wujud Ibn 'Arabi. Penerimaan secara sekaligus atas kedua prinsip yang berbeda secara signifikan ini pernah pula dilakukan oleh Ibrahim Kurani denga kitab ithaf Al-dhaki.

Kita tahu bahwa Asy'ari adalah representasi teolog dan Ibn 'Arabi adalah representasi sufi. Persamaan antara keduanya adalah pada keterangan bahwa “Zat Allah tidak dapat dijangkau oleh apapun selain diri-Nya”. Tetapi letak perbedaan paling signifikan adalah pada hal yang dianggap sama ini.

Teolog berpendapat Al-Haqq tidak dapat diketahui karena keabsoludannya, sangat terpisah dan sangat berbeda dengan wujud selain Dia. Sementara sufi memandang Al-Haqq tidak dapat dikenal oleh selai-Nya karena selain Dia adalah tiada berwujud, karena wujudnya tiada, mustahil berpengetahuan. Di samping itu sufi mengaku Dia hanya bisa dikenal melalui Dia. Dan pernyataan ini berasal dari Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. (Kitab 'Asrar Al-'Arifin, dalam 'Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri,).

Sebagian sarjana juga menambahkan kesamaan mereka adalah bahwa Wujud Allah berbeda dengan wujud makhluk. Pada satu sisi pandangan ini dapat dimaklumi, tetapi pada sisi lain yang lebih penting, pendapat ini tidak benar sama sekali. Alasannya adalah karena kaum sufi hanya mengakui eksistensi satu wujud saja yakni Wujud Al-Haqq. Wujud selain-Nya hanya diterima sebagai bayangan bagi Wujud Al-Haqq. Pengakuan adanya wujud selain Al-Haqq oleh kaum sufi hanyalah sebagai penerang bagi satu wujud saja yakni Al-Haqq. Eksistensi bayangan hanya ada sebagai objek pembahasan, tidak ril, tidak nyata. Eksistensi selain Al-Haqq menjadi ada bagi sufi hanya sebagai konsep pikiran, hakikatnya tiada. Perbedaan antara sufi dan teolog adalah pada hal paling mendasar. Maka niscaya tidak dapat ditemukan sama sekali persamaan di antara keduanya. Al-Attas yang meskipun banyak memakai nama sufi aliran Ibn 'Arabi dalam menguatkan argumennya, tetapi dia tidak mampu memberikan artikulasi sistematis karena terjebak oleh sistem ontologi teolog.

Logika yang dipakai oleh Al-Attas perlu dipertanyakan. Dia menerima sistem pemikiran Al-Ghazali. Bahkan dia sangat mengagungkannya. Al-Ghazali adalah teolog yang dikritik dengan keras oleh Ibn Arabi dalam Fusus Al-Hikam mengenai persoalan sangat krusial yakni tentang pengetahuan akan Al-Haqq. Dan tema ini adalah persoalan paling krusial dalam mengkaji keseluruhan pemikiran filosof, teolog dan sufi sebagaimana yang telah dibahas di atas. Dengan ini, mengatakan pemikiran sufi dengan teolog adalah sama dalam tema ontologi adalah keliru, apalagi menggunakannya secara bersamaan untuk memperkuat satu tema tertentu.

Persoalan yang lebih penting terkait tema epistemologi adalah, ketika mengutip argumen kaum sufi Ibn 'Arabian seperti Ibn 'Arabi sendiri, Jami' dan Hamzah, sistem epistemologi apa dan bagaimana digunakan Al-Attas? Pertanyaan ini muncul karena sistem epistemologi apapun yang digunakan tetap saja akan bermasalah karena sistem ontologinya sudah keliru. Mungkin orang-orang akan mengatakan sistem hudhuri adalah sistem ideal untuk persoalan ini, tetapi tentunya sistem ini akan menuai banyak pertentangan karena mustahil mengharmoniskan antara Al-Ghazali dengan Ibn 'Arabi karena Ibn 'Arabi bertentangan dengan Al-Ghazali bukan melalui pandangan orang lain tetapi oleh Ibn 'Arabi sendiri (lihat Fusus Al-Hikam bab tentang Nuh). Di samping itu, Al-Ghazali menggunakan sistem epistemologi Aristotelian dalam menyampaikan pesan-pasannya. Tetapi kaum sufi banyak mengkritik sistem logika Aristotelian. Kalaupun dipakai, maka hanya kosakatanya atau tertib penalarannya saja. Sementara khas sufi tetap saja analogi. Hal ini menunjukkan bahwa sistem epistemologi sufi dengan teolog adalah sangat jauh bertentangan. Sebenarnya teolog juga hanya menggunakan logika Aristotelian sebagai aturan main. Sebab prinsip epistemologi teolog adalah kitab suci. Apalagi kalau menerima sistem atomisme Asy'ari (lihat Allama Muhammad Iqbal The Reconstruction of Religious Thought in Islam bab The Concept of God and the Meaning of Prayer). Karena itu, bila mengkaji dengan baik, akan ditemukan kekeliruan mendasar dalam pemikiran Al-Attas. Dia tidak menggunakan epistemologi filsafat dalam teori-teorinya, dia melakukan pendekatan hermeuneutik. Bahasa adalah wakil bagi setiap esensi. Pendekatan hermeunetika adalah pendekatan menyusun batu-bata menjadi sebuah dinding. Beginilah Al-Atas menyusun teorinya.

Tentang esensi. Kita melihat air zam-zam. Dari mana asalnya? Padahal di Timur-tengah adalah salah satu kawasan panas ekstrim di bumi. Makkah memiliki energi untuk menarik segala energi positif (karena energi negatif sebenarnya adalah non-energi) yang ada di semua sudut bumi. Lihatlah sumber energi fosil, sekalipun tanah ini tidak pernah hidup aneka tumbuhan dan hewan seperti di negeri tropis, tetapi kandungan energi fosilnya paling banyak. Demikian juga hujan hampir tidak pernah turun di sana, tetapi sumur zam-zam tidak pernah kering. Tidak hanya cairan, segala yang baik berkumpul di Makkah.

Bahasa (linguistik) adalah wakil dari setiap realitas. Missal kata K.U.R.S.I. adalah wakil dari tempat duduk. Bahasa juga mewakili tidakan. Misalnya M.A.K.A.N adalah wakil dari abstraksi tindakan sseorang mmasukkan makanan kedalam mulut. Bahasa yang merupakan harta terpenting manusia dengan kualitas terbaik berkumpul di tanah terbaik sehingga puncaknya adalah turunnya sebuah Kitab Suci melalui insan terbaik. Karena Makkah menghimpun segala yang baik, maka teraktualisasilah kata-kata yang baik dari seluruh dunia yang terwujud dalam Al-Quran. Bahasa terbaik adalah bahasa Arab. Sementara sifat sifat terbaik terhimpun dalam diri Rasul Saw. Tidak ada parsialitas antara Al-Qur’an dengan Rasul Saw.

Kata-kata dan peristiwa-peristiwa terbaik yang pernah lahir dari alam dan tindakan manusia-manusia dari Adam hingga menjelang Al-Qur'an turun---kata-kata tersebut disebut terbaik karena mampu mewakilkan suatu esensi. Kata-kata baik ini dimulai sejak manusia berbahasa, mengalir dalam sungai sejarah, hingga terhimpun dalam samudra Al-Qur'an.

Kata-kata selain kata-kata dalam Al-Qur’an sifatnya hanya kesepakatan, konvensi. Tetapi kata-kata yang telah dipilih dalam Al-Qur’an adalah humpunan paling baik dan satu-satunya pewakilan yang benar dari realitas dan tindakan. Yang pertama relatif dan terakhir mutlak. Yang pertama dapat dan yang terahir tidak dapat dirubah. Bila bahasa yang dimaksud Al-Attas adalah linguistik atau konvensi, maka itu bukanlah hal yang esensial. Bahasa adalah sesuatu yang terus berubah. Sementara esensi-esensi adalah tetap dan itu tidak perlu diislamisasi karena memang adalah islam.

Salah satu bagian dari proyek islamisasi Al-Attas adalah islamisasi bahasa. Proyek ini adalah naturalisasi kosakata bahasa Arab menjadi bahasa Melayu. Ini bukan Islamisasi tetapi Melayunisasi. Yang disebut sebagai Islamisasi adalah kosakata Melayu yang tetap dipakai dan maknanya yang diperbaiki. Karena banyak kosa kata Melayu yang telah kehilangan makna aslinya akibat dipakai untuk mewakilkan maksud yang berbeda. Demikian juga kata-kata yang tidak mendalam harus diberi pemaknaan baru supaya ideal dan semaksud dengan kata-kata yang dimiliki bahasa Arab. Misalnya kata 'tulus' dianggap tidak sesuai dengan kata 'iklash' dalam bahasa Arab. Karena dianggap tidak sesuai, maka kata 'iklash' dinaturalisasi menjadi bagian dari kosakata Melayu. Islamisasi adalah menjadikan Islam sesuatu yang tidak Islam. Tetapi bila menggunakan istilah Islam yakni bahasa Arab dan menyingkirkan istilah Melayu yang identik, dalam sekup kata, maka itu namanya Melayunisasi. Dan bila dilihat dari keseluruhan bahasa Melayu, maka itu artinya penyusupan Islam. Islamisasi yang sesungguhnya, bila konsep ini layak, terkait linguistik, adalah mengubah makna sebuah kata menjadi lebih mendalam dan sesuai dengan maksud yang diinginkan pada sebuah kata. Jadi tindakan kaum sufi Melayu di masalalu bukan ‘Islamisi’ bahasa--sebagaimana dikatakan Al-Attas, tetapi Melayunisasi.

Namun demikian, sebuah kata tidak akan berguna bila maknanya tidak mendasar. Degradasi dan promosi sebuah kata adalah tergantung pada pola pikir, lingkungan dan tindakan masyarakat pengguna kata tersebut. Kalaupun semua kosa kata Arab dinaturalisasi menjadi kosakata Melayu, bila masyarakatnya kurang berkualitas, maka semua kata yang dimelayunisasikan akan tetap tereduksi. Misalnya kata ‘tawakal’ yang merupakan melayunisasi dari kata ‘tawakkal’ yang bermakna suatu tindakan berdasarkan niat, aksi dan hasil karena Allah menjadi usaha untuk kepentingan materi dengan niat menumpuk kekayaan bagi kalangan tertentu pengguna kata tersebut. Demikian juga kata ‘iman’ dapat pula dipakai untuk menggambarkan keyakinan masyarakat untuk menyembah pohon bila mereka menjadi pagan.

Maka sebuah kosakata adalah bergantung pada penggunanya. Karena itu yang lebih penting adalah menjadikan masyarakat bertauhid dengan baik, membentuk prinsip, paradigma dan sebagainya. Kalau tujuan yang penting ini dapat tercapai, maka setiap kosa kata Melayu sendiri akan terperbaiki maknanya dan menjadi lebih layak untuk mewakili maksud-maksud Islam sehingga tidak perlu melakukan Melayunisasi kosa kata Arab atau kosakata Al-Qur'an. Tetapi bila menganggap kosa Melayu tidak mampu mewakili kosakata-kosakata Al-Qur'an maka gunakan saja bahasa Arab. Dan ini adalah melayunisasi, bukan islamisasi.

Terkait sejarah, Al-Atas adalah tokoh yang paling kritis terhadap teori-teori sejarah tentang Nusantara yang dilahirkan oleh para sarjana Barat. Tetapi Al-Atas sendiri melakukan banyak kesalahan untuk mempertegas sebuah kebenaran. Misalnya saat dia ingin mengungkap asal kata 'samudra', malah menulis salah, mengacaukan, atau adalah kesepakatan Inggris tetapi tidak membuat penjelas karena sangat penting, saat menulis nama ‘Meurah Seulu’ menjadi ‘Merah Silau’ (Al-Attas, Historical Fact and Fiction, Kuala Lumpur: UTM Press, 2011, Bab tentang Samudra Pasai. h. 12) dan menulis ‘Perlak’ (Al-Attas, 2011: 37) yang seharusnya ‘Peureulak’. Pengubahan nama tempat atau nama orang dalam mengkaji sesuatu tanpa membuat keterangan kata dasarnya, apalagi sejarah, malah saat sedang mengkaji sesuatu berdasarkan pendekatan semantik, justru membuat kajian semakin kabur.
Tentang sekularisme? Banyak kata yang muncul. Tetapi hampir sama banyaknya dengan hanya sebatas kata. Hanya sedikit kata yang merupakan wakil dari realitas, memiliki rujukan yang nyata. Salahsatu kegunaan filsafat adalah membuktikan sesuatu itu real, nyata, atau tidak.

Contoh yang diberikan adalah 'kesempatan'. Maksud kata ini seperti suatu keajaiban yang muncul di luar hukum kebiasaan alam. Tongkat penyihir yang tiba-tiba dapat memunculkan hal aneh adalah gambaran yang walaupun kurang tepat tetapi tidak buruk amat. Setiap peristiwa memiliki sebab dan akibatnya.

Kausalitas adalah hukum yang berlaku untuk menjelaskan setiap peristiwa. Artinya segala sesuatu adalah alamiah, tidak ada, misalnya 'kesempatan', sebab dia tidak ril. Filsafat membantu menyelesaikan masalah ini sehingga bila filsafat telah mampu membuktikan sesuatu itu ril, maka dapatlah dilanjutkan pengkajiannya. Tetapi bila sesuatu ternyata tidak ril, maka tidak ada gunanya melanjutkan pembahasan.

Sesuatu yang dianggap sebagai masalah, atau sebaliknya dianggap sebagai solusi perlu dibuktikan apakah ril atau tidak. Bila secara kesepakatan umum sesuatu dianggap sebagai masalah namun secara filsafat terbukti ternyata bukan masalah, maka berarti bukan itu masalahnya. Demikian pula sesuatu yang bila secara umum dianggap sebagai solusi tetapi ternyata filsafat membuktikan dia tidak ril, maka solusi itu pasti tidak berguna.

Sekularisme menjadi solusi bagi kaum Kristen modern yang konsisten dengan sains. Sekularisme juga menjadi masalah bagi orang Islam belakangan. Tetapi apa sebenarnya sekularisme ini? Al-Attas mengatakan sekularisme berasal dari perpaduan dari dua kata yang bermakna 'kedisinian' dan 'kekinian' (Al-Attas, Islam and Secularism dalam bab Secular, Secularization-Secularism h. 16, KL: ISTAC, 1993). Kedisinian dan kekinian adalah limitasi tertentu dari ruang dan waktu yang tidak statis.

Dalam pengertian lebih luas, sekularisme adalah aliran yang melepaskan keyakinan atas metafisika tertentu dari rasio. Keyakinan-keyakinan dogmatis dianggap perlu dibuang supaya nalar dapat lepas dari gangguan-gangguan waham sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang benar. Dengan melepaskan dogma-dogma agama, manusia dapat berfikir rasional dan praktis tanpa orientasi dogmatis. Al-Attas menolak pola pikir sekular karena menurutnya setiap orang berangkat dan menuju orientasi metafisik dalam melakukan setiap tindakan. Karena itu sekularisme adalah kebohongan, ketiadaan; karena dalam term filsafat, kekinian dan kedisinian berarti ketiadaan sebab.

Kini dan di sini adalah bagian dari kategori aksiden. Pada realias, yang ada adalah gerak terus-menerus. Limitasi kini dan di sini hanya berlaku dalam kategori mental. Dalam prinsip identitas Aristotelian, mengunci identitas dalam konsep mental berarti menstatiskan sesuatu yang dinamis. Hal ini akan mengalami kekacaiaun, apalagi dalam kegiatan keilmuan dan aktualisasi keagamaan yang sifatnya dinamis. Bahkan Aristoteles sendiri sebagai arsitek logika formal harus mengingkari prinsip identitas yang dibangunnya dalam kegiatan keilmuan yang dibangunnya. Sehingga ia menjadi sasaran serangan Bacon. Lebih dari itu sekularisme adalah teori yang disemangati oleh oleh Ibn Rusyd dan Thomas Aquinas.

Ibn Rusyd dan Aquinas yang mempengaruhi hampir keseluruhan filsafat Barat Modern salah paham terhadap Ibn Sina. Mereka menganggap dualitas yang dimaksud Ibn Sina berlaku pada realitas luar, padahal dualitas dimaksud itu berlaku hanya pada wilayah pikiran. Mereka mengira aksidentalisasi eksistensi kepada esensi dimaksud Ibn Sina adalah seperti aksidentalitas warna kepada suatu zat. Sebab mereka sadar bahwa kesesuatuan realitas eksternal itu tunggal, tidak rangkap (kata ‘rangkap’ berasal dari kata Arab ‘murakkab’). Akibat kesalahpahaman, klasifikasi bagian mental dengan bagian eksternal menjadi terabaikan. Maka dari itu, sekularisme sebenarnya tidak ril. Kalaupun ada, maka hanya dalam realitas mental.

Kalau Al-Attas sendiri mengakui bahwa setiap entitas alam materi tidak putus dari ilahiyah, (Islam dan Filsafat Sains, Bandung: Mizan, 1995: 20) maka setiap sisi sains, apapun disiplinnya, kalau mengakui sains adalah aktual dan metafisika juga aktual, berarti sains linier metafisika, tidak rangkap. Al-Ghazali selaku tokoh yang dengan setia diikuti Al-Attas tidak memiliki masalah ketika memilah setiap disiplin ilmu karena sadar bahwa memilah antar disiplin dapat membuat disiplin itu semakin matang, bukan malah menganggapnya rangkap dengan metafisika. Kesadaran Al-Ghazali ini identik dengan keyakinan Kant bahwa metafisika adalah sains dan sains adalah metafisika, walaupun cara pendekatan saja yang berbeda. Karena pendekatan tentuntunya tidak berlandaskan epistemologi dan epistemologi adalah kerja inteleksi, kerja mental. Maka, parsialitas sains dengan metafisika hanya pada ranah konsep. Dan ini hanya untuk memudahkan eksplorasi.

Al-Atas mengatakan hanya hidayah saja yang menghantarkan pada kebenaran, bukan keraguan sebagaimana sumber energi kaum Barat. ( Islam dan Filsafat Sains, h. 30) padahal teori keraguan ini dimulai oleh Al-Ghazali yang selanjutnya diwarisi Bapak Filsafat Barat Modern yakni Rene Descartes. Perbedaannya adalah, dalam pandangan Al-Ghazali, keraguan itu sendiri adalah sarana (alat, kendaraan, tools) dari Allah untuk mencapai hidayah, sementara Descartes menjadikan keraguan itu sendiri sebagai sumber utama sehingga sering pemikir Barat selalu berujung pada keraguan juga.

Al-Attas (1995: 31) menilai keraguan adalah posisi netral antara kebenaran dengan kesalahan. Padahal dia adalah komentaror Hamzah Fansuri yang paling dipercaya. Dalam pandangan Hamzah, segalanya berasal dari Al-Haqq. Dia Tunggal dan tidak memiliki oposisi. Karena itu oposisinya tidak ada. Segala hal adalah dariNya. Keburukan hanyalah konsepsi mental manusia karena keterbatasannya. Keraguan hanyalah posisi proses gerak jiwa manusia meninggalkan satu stasium menuju stasiun lainnya. Stasiun satu dengan yang lainnya adalah dari Al-Haqq.

Keraguan dalam kosep Al-Ghazali adalah fondasi ilmu dan bangun teori. Bila demikian, maka tidak ada ilmu yang dapat dipercaya dan tidak ada teori yang bisa diandalkan. Apatisme ilmu melahirkan skeptisme dan kelemahan sebuah teori meruntuhkan semua bangun diskursus. Kekeliruan Al-Attas ini muncul dari hasrat kombinasi ontologi ‘irfan dengan epistemologi teolog. Dengan mengamati psikologi intelektualitas Al-Attas, dapat dilihat bahwa ia percaya pada ontologi ‘irfan, namun tidak ingin menggunakan epistemologi mereka karena epistemologi ‘irfan bercorak analogi. Corak ini tidak layak dalam diskursus filsafat. Hasilnya adalah pseudo filsafat.

Kategorisasi ‘irfan, hikmah dan kalam bukanlah sebuah kategor yang menjadi kategorisasi Positivistme. Bukan pula semata karena perbedaan epistemologi, yang mana ‘irfan sebagaimana mistisme umumnya berpijak pada analogi, hikmah sebagaimana filsafat umumnya berpijak pada akal sehat dan kalam sebagaimana teologi pada umumnya berpijak pada kitab suci. Lebih dari itu, ini adalah persoalan perbedaan ontologi.

Dengan pejelasan di atas, maka sekularisme adalah teori dan ideologi yang tidak memilik rujukan. Konsepsinyapun hanya sebuah manipulasi pikiran. Al-Attas sendiri menjawab prolem sekularisasi dengan proyek Islamisasi. Islamisasi sendiri adalah manipulasi atas manipulasi. Sains itu semunya berjalan atas dasar hukum alam yang merupakan manifestasi dari hukum Tuhan. Karena itu kalau mau melakukan Islamisasi, ya kepada saintis, bukan sains karena sains itu sendiri memang islam.

Wallahu'alam.

Wednesday, March 9, 2016

5 Pesan Yang Gampang-gampang Susah

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/963125490404052

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapakah yang ingin mengambil pesan-pesanku untuk diamalkan atau siapakah yang telah mengetahui dan mengamalkan pesan-pesanku?”
Saya menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.”
Lalu beliau menggenggam tanganku dan menghitung sampai lima kali.
Beliau bersabda:

1. "Jauhilah barang-barang haram, maka kamu akan menjadi orang yang rajin beribadah;

2. Terimalah semua pemberian Allah, maka kamu akan menjadi orang yang kaya;

3. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, maka kamu akan menjadi orang yang terpercaya;

4. Lakukan perbuatan yang disenangi oleh manusia sebagaimana yang kamu senangi, maka kamu akan menjadi orang yang selamat;

5. Dan, janganlah kamu memperbanyak tertawa, karena tertawa itu dapat mematikan hati.” (HR. At-Tirmidzi)

Renungan Sufi, Bisikan Hati

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/963126397070628

‘Abdul ‘Aziz al-Makki berkata, “Siapa yang menghiasi diri dengan hiasan yang fana, maka hiasan itu akan menjadi bencana baginya, kecuali orang yang menghiasi diri dengan ketaatan, keserasian, dan mujahadah. Sesungguhnya jiwa itu bersifat fana, harta-harta adalah aib, dan anak-anak adalah fitnah. Karena itu, siapa yang gemar mengumpulkannya, menjaganya, dan menggantungkan hatinya dengan semua itu, ia telah memutuskan semua kebaikan-kebaikan. Hamba Allah yang selalu taat tidaklah lebih utama daripada orang yang memerangi hawa nafsu, kekurangan harta benda, dan memutuskan bisikan-bisikan hati. Karena perlombaan dalam kebaikan adalah berupaya untuk menjauhkan diri dari kejahatan dan kejahatan pertama yang harus disingkirkan adalah cinta dunia.”

Yahya ibn Mu‘adz al-Razi berpesan, “Hikmah dari langit akan turun ke dalam hati, yang di dalamnya tidak bersarang empat hal: bertekuk lutut kepada dunia, berangan-angan kosong, iri terhadap sesama, dan mencintai orang kaya.” Fudhail ibn ‘Iyadh mengatakan, “Semua kejahatan ditempatkan dalam satu rumah dan kunci pembuka kejahatan adalah cinta dunia. Serta kebaikan ditempatkan dalam satu rumah dan kunci pembuka kebaikan adalah zuhud terhadap dunia.”

Dalam syair disebutkan:

“Kebaikan akan kekal sepanjang zaman. Dan kejahatan akan tetap tercela sepanjang waktu.”

Aku Ingin Belajar Mencintaimu

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/963108573739077

Rasulullah SAW bersabda, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memberinya cobaan. Jika ia bersabar, maka Dia akan memilihnya. Dan, jika ia rela (menerima cobaan itu), maka Dia akan menyucikannya.” (HR Ad-Dailami melalui jalur Ali bin Abi Thalib)

Menurut Imam Al-Ghazali, indikasi paling penting tentang kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah kecintaanhamba itu sendiri kepada Allah. Hal tersebut sekaligus merupakan bukti kecintaan Allah kepada hamba itu.

Sedangkan perbuatan yang menunjukkan bahwa seorang hamba dicintai Allah adalah bahwa Dia membimbing langsung semua urusannya, baik lahir maupun batin, baik secara terang-terangan ataupun rahasia. Dialah yang memberi petunjuk kepadanya, menghiasi akhlaknya, yang menggerakkan seluruh organ tubuhnya, serta meluruskan lahir dan batinnya.
Dialah yang akan memfokuskan cita-citanya pada satu tujuan (yakni Allah SWT), menutup hatinya dari dunia, dan merasa tidak berkepentingan terhadap selain Dia.

Dialah yang menjadikan hamba tersebut merasa puas menikmati munajat dalam khalwat (kesendiriannya), juga menyingkap tabir antara Dia dan makrifat.

--Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha, Ihya Ulumuddin.


Rindu Kepada Allah dan Ketenangan Jiwa

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/963106383739296

Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al- Ghazali bercerita tentang kerinduan Ibrahim bin Adham kepada Allah SWT yang begitu dahsyat. Sebuah kerinduan yang sangat menggelisahkan jiwanya. Ibrahim begitu galau dan gelisah. Ibrahim bin Adham bertutur, “Suatu hari aku berkata, “Wahai Rabb-ku. Jika Engkau pernah memberi salah seorang dari para pecinta-Mu sesuatu yang dapat menenangkan hatinya sebelum bertemu dengan-Mu, maka berikanlah juga itu padaku! Sungguh aku galau dan gelisah dibuatnya.”

Setelah itu, aku bermimpi berdiri di hadapan-Nya, Dia berfirman, “Wahai Ibrahim. Apakah engkau tidak malu meminta agar Aku memberimu sesuatu yang dapat menenangkan hatimu sebelum bertemu dengan Aku? Apakah orang yang tercekam rindu dapat tenang hatinya sebelum bertemu kekasihnya?”
Lalu,aku pun menjawab, “Wahai Rabb-ku. Kecintaanku kepada-Mu telah melambung tinggi hingga aku tak tahu bagaimana harus berkata. Ampunilah aku, ajarilah apa yang harus aku ucapkan.”

Maka, Dia menjawab, “Ucapkanlah, Ya Allah...Relakan lah aku dengan ketentuan-Mu, sabarkanlah aku atas cobaan-Mu, dan berikanlah aku kesadaran untukmensyukuri nikmat-nikmat-Mu.”

Jadi, menurut Imam Al-Ghazali, kerinduan seperti ini baru akan reda dan menemukan ketenangan nanti di akhirat kelak. Kerinduan ini hanya berakhir di akhirat melalui perjumpaan dan penyaksian langsung terhadap Allah Azza wa Jalla.

--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al- Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al- Ridha, Ihya Ulumuddin

Tuesday, March 8, 2016

Pesan Murabbi

https://www.facebook.com/khairuz.zaman.31/posts/10204690323417878

Mengingat kembali kata2 bijak pandai di Pondok
1. ﻣَﻦْ ﺳَﺎﺭَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﺪَّﺭْﺏِ ﻭَﺻَﻞَ
Barang siapa berjalan pada jalannya sampailah ia
2. ﻣَﻦْ ﺟَﺪَّ ﻭَﺟَﺪَ
Barang siapa bersungguh-sungguh, dapatlah ia.
3. ﻣَﻦْ ﺻَﺒَﺮَ ﻇَﻔِﺮَ
Barang siapa sabar beruntunglah ia.
4. ﻣَﻦْ ﻗَﻞَّ ﺻِﺪْﻗُﻪُ ﻗَﻞَّ ﺻَﺪِﻳْﻘُﻪُ
Barang siapa sedikit benarnya/kejujurannya, sedikit pulalah temannyaa.

5. ﺟَﺎﻟِﺲْ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﺼِّﺪْﻕِ ﻭَﺍﻟﻮَﻓَﺎﺀِ
Pergaulilah orang yang jujur dan menepati janjii.

6. ﻣَﻮَﺩَّﺓُ ﺍﻟﺼَّﺪِﻳْﻖِ ﺗَﻈْﻬَﺮُ ﻭَﻗْﺖَ ﺍﻟﻀِّﻴْﻖِ
Kecintaan/ketulusan teman itu, akan tampak pada waktu kesempitann.

7. ﻭَﻣَﺎﺍﻟﻠَّﺬَّﺓُ ﺇِﻻَّ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺘَّﻌَﺐِ
Tidak kenikmatan kecuali setelah kepayahann.

8. ﺍﻟﺼَّﺒْﺮُ ﻳُﻌِﻴْﻦُ ﻋَﻠﻰَ ﻛُﻞِّ ﻋَﻤَﻞٍ
Kesabaran itu menolong segala pekerjaann.

9. ﺟَﺮِّﺏْ ﻭَﻻَﺣِﻆْ ﺗَﻜُﻦْ ﻋَﺎﺭِﻓًﺎ
Cobalah dan perhatikanlah, niscaya kau jadi orang yang tahuu.

10. ﺍُﻃْﻠُﺐِ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻤَﻬْﺪِ ﺇِﻟﻰَ ﺍﻟﻠَّﺤْﺪِ
Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang kuburr.

11. ﺑَﻴْﻀَﺔُ ﺍﻟﻴَﻮْﻡِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺩَﺟَﺎﺟَﺔِ ﺍﻟﻐَﺪِ
Telur hari ini lebih baik daripada ayam esok harii.

12. ﺍﻟﻮَﻗْﺖُ ﺃَﺛْﻤَﻦُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺬَّﻫَﺐِ
Waktu itu lebih mahal daripada emass.

13. ﺍﻟﻌَﻘْﻞُ ﺍﻟﺴَّﻠِﻴْﻢُ ﻓﻲِ ﺍﻟﺠِﺴِْﻢ ﺍﻟﺴَّﻠِﻴْﻢِ
. Akal yang sehat itu terletak pada badan yang sehatt.

14. ﺧَﻴْﺮُ ﺟَﻠِﻴْﺲٍ ﻓﻲِ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥِ ﻛِﺘَﺎﺏٌ
Sebaik-baik teman duduk pada setiap waktu adalah buku.
15. ﻣَﻦْ ﻳَﺰْﺭَﻉْ ﻳَﺤْﺼُﺪْ
Barang siapa menanam pasti akan memetik (mengetamm).

16. ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻷَﺻْﺤَﺎﺏِ ﻣَﻦْ ﻳَﺪُﻟُّﻚَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﺨَﻴْﺮِ
Sebaik-baik teman itu ialah yang menunjukkan kamu kepada kebaikann.

17. ﻟَﻮْﻻَ ﺍﻟﻌِﻠْﻢُ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻛَﺎﻟﺒَﻬَﺎﺋِﻢِ
Seandainya tiada berilmu niscaya manusia itu seperti binatangg.

18. ﺍﻟﻌِﻠْﻢُ ﻓﻲِ ﺍﻟﺼِّﻐَﺮِ ﻛَﺎﻟﻨَّﻘْﺶِ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﺤَﺠَﺮِ
Ilmu pengetahuan diwaktu kecil itu, bagaikan ukiran di atas batuu.

19. ﻟَﻦْ ﺗَﺮْﺟِﻊَ ﺍﻷَﻳﺎَّﻡُ ﺍﻟَّﺘﻲِ ﻣَﻀَﺖْ
Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlaluu.

20. ﺗَﻌَﻠَّﻤَﻦْ ﺻَﻐِﻴْﺮًﺍ ﻭَﺍﻋْﻤَﻞْ ﺑِﻪِ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ
Belajarlah di waktu kecil dan amalkanlah di waktu besarr.

21. ﺍﻟﻌِﻠْﻢُ ﺑِﻼَ ﻋَﻤَﻞٍ ﻛَﺎﻟﺸَّﺠَﺮِ ﺑِﻼَ ﺛَﻤَﺮ
Ilmu tiada amalan bagaikan pohon tidak berbuahh.

22. ﺍﻻﺗِّﺤَﺎﺩُ ﺃَﺳَﺎﺱُ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺡِ
Bersatu adalah pangkal keberhasilann.

23. ﻻَ ﺗَﺤْﺘَﻘِﺮْ ﻣِﺴْﻜِﻴْﻨًﺎ ﻭَﻛُﻦْ ﻟَﻪُ ﻣُﻌِﻴْﻨﺎً
. Jangan engkau menghina orang miskin bahkan jadilah penolong baginyaa.

24. ﺍﻟﺸَّﺮَﻑُ ﺑِﺎﻷَﺩَﺏِ ﻻَ ﺑِﺎﻟﻨَّﺴَﺐِ
Kemuliaan itu dengan adab kesopanan, (budi pekerti) bukan dengan keturunan.

25. ﺳَﻼَﻣَﺔُ ﺍﻹِﻧْﺴَﺎﻥِ ﻓﻲِ ﺣِﻔْﻆِ ﺍﻟﻠِّﺴَﺎﻥِ
. Keselamatan manusia itu dalam menjaga lidahnya (perkataannyaa).

26. ﺁﺩَﺍﺏُ ﺍﻟﻤَﺮْﺀِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺫَﻫَﺒِﻪِ
Adab seseorang itu lebih baik (lebih berharga) daripada emasnyaa.

27. ﺳُﻮْﺀُ ﺍﻟﺨُﻠُﻖِ ﻳُﻌْﺪِﻱ
Kerusakan budi pekerti/akhlaq itu menularr.

28. ﺁﻓَﺔُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢِ ﺍﻟﻨِّﺴْﻴﺎَﻥُ
Bencana ilmu itu adalah lupaa.

29. ﺇِﺫَﺍ ﺻَﺪَﻕَ ﺍﻟﻌَﺰْﻡُ ﻭَﺿَﺢَ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴْﻞُ
Jika benar kemauannya niscaya terbukalah jalannyaa.

30. ﻻَ ﺗَﺤْﺘَﻘِﺮْ ﻣَﻦْ ﺩُﻭْﻧَﻚَ ﻓَﻠِﻜُﻞِّ ﺷَﻴْﺊٍ ﻣَﺰِﻳَّﺔٌ
Jangan menghina seseorang yang lebih rendah daripada kamu, karena segala sesuatu itu mempunyai kelebihan.
31. ﺃَﺻْﻠِﺢْ ﻧَﻔْﺴَﻚَ ﻳَﺼْﻠُﺢْ ﻟَﻚَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ
. Perbaikilah dirimu sendiri, niscaya orang-orang lain akan baik padamu.
32. ﻓَﻜِّﺮْ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﺰِﻡَ
Berpikirlah dahulu sebelum kamu berkemauan
(merencanakan).
33. ﻣَﻦْ ﻋَﺮَﻑَ ﺑُﻌْﺪَ ﺍﻟﺴَّﻔَﺮِ ﺍِﺳْﺘَﻌَﺪَّ
Barang siapa tahu jauhnya perjalanan, bersiap-siaplah ia.
34. ﻣَﻦْ ﺣَﻔَﺮَ ﺣُﻔْﺮَﺓً ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻴْﻬَﺎ
Barang siapa menggali lobang, akan terperosoklah ia di dalamnya.
35. ﻋَﺪُﻭٌّ ﻋَﺎﻗِﻞٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺻَﺪِﻳْﻖٍ ﺟَﺎﻫِﻞٍ
. Musuh yang pandai, lebih baik daripada teman

36. ﻣَﻦْ ﻛَﺜُﺮَ ﺇِﺣْﺴَﺎﻧُﻪُ ﻛَﺜُﺮَ ﺇِﺧْﻮَﺍﻧُﻪُ
Barang siapa banyak perbuatan baiknya, banyak pulalah temannyaa.

37. ﺍِﺟْﻬَﺪْ ﻭَﻻَ ﺗَﻜْﺴَﻞْ ﻭَﻻَ ﺗَﻚُ ﻏَﺎﻓِﻼً ﻓَﻨَﺪَﺍﻣَﺔُ ﺍﻟﻌُﻘْﺒﻰَ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺘَﻜﺎَﺳَﻞُ
Bersungguh-sungguhlah dan jangan bermala-malas dan
jangan pula lengah, karena penyesalan itu bagi orang yang bermalas-malas.

38. ﻻَ ﺗُﺆَﺧِّﺮْ ﻋَﻤَﻠَﻚَ ﺇِﻟﻰَ ﺍﻟﻐَﺪِ ﻣَﺎ ﺗَﻘْﺪِﺭُ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﻤَﻠَﻪُ ﺍﻟﻴَﻮْﻡَ
Janganlah mengakhirkan pekerjaanmu hingga esok hari, yang kamu dapat mengejakannya hari ini.

39. ﺍُﺗْﺮُﻙِ ﺍﻟﺸَّﺮَّ ﻳَﺘْﺮُﻛْﻚَ
Tinggalkanlah kejahatan, niscaya ia (kejahatan itu) akan meninggalkanmuu.

40. ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺃَﺣْﺴَﻨُﻬُﻢْ ﺧُﻠُﻘﺎً ﻭَﺃَﻧْﻔَﻌُﻬُﻢْ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ
Sebaik-baik manusia itu, adalah yang terlebih baik budi pekertinya dan yang lebih bermanfaat bagi manusia.

41. فيِ التَّأَنِّي السَّلاَمَةُ وَفيِ العَجَلَةِ النَّدَامَةُ
41. Di dalam hati-hati itu adanya keselamatan, dan di dalam tergesa-gesa itu adanya penyesalan.

42. ثَمْرَةُ التَّفْرِيْطِ النَّدَامَةُ وَثَمْرَةُ الحَزْمِ السَّلاَمَةُ
42. Buah sembrono/lengah itu penyesalan, dan buah cermat itu keselamatan.

43. الرِّفْقُ بِالضَّعِيْفِ مِنْ خُلُقِ الشَّرِيْفِ
43. Berlemah lembut kepada orang yang lemah itu, adalah suatu perangai orang yang mulia (terhormat).

44. فَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
44. Pahala/imbalan suatu kejahatan itu adalah kejahatan yang sama dengannya.

45. تَرْكُ الجَوَابِ عَلىَ الجَاهِلِ جَوَابٌ
45. Tidak menjawab terhadap orang yang bodoh itu adalah jawabannyaa.

46. مَنْ عَذُبَ لِسَانُهُ كَثُرَ إِخْوَانُهُ
46. Barang siapa manir tutur katanya (perkataannya) banyaklah temannyaa.

47. إِذَا تَمَّ العَقْلُ قَلَّ الكَلاَمُ
47. Apabila akal seseorang telah sempurna maka sedikitlah bicaranyaa.

48. مَنْ طَلَبَ أَخًا بِلاَ عَيْبٍ بَقِيَ بَلاَ أَخٍ
48. Barang siapa mencari teman yang tidak bercela, maka ia akan tetap tidak mempunyai teman.

49. قُلِ الحَقَّ وَلَوْ كَانَ مُرًّا
49. Katakanlah yang benar itu, walaupun pahitt.

50. خَيْرُ مَالِكَ مَا نَفَعَكَ
50. Sebaik-baik hartamu adalah yang bermanfaat bagimuu.

51. خَيْرُ الأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
51. Sebaik-baik perkara itu adalah pertengahanya (yang sedang sajaa).

52. لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ وَلِكُلِّ مَقَالٍ مَقَامٌ
52. Tiap-tiap tempat ada kata-katanya yang tepat, dan pada setiap kata ada tempatnya yang tepat.

53. إِذاَ لمَ ْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
53. Apabila engkau tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu (apa yang engkau kehendaki).

54. لَيْسَ العَيْبُ لِمَنْ كَانَ فَقِيْرًا بَلِ العَيْبُ لِمَنْ كَانَ بَخِيْلاً
54. Bukanlah cela itu bagi orang yang miskin, tapi cela itu terletak pada orang yang kikir.

55. لَيْسَ اليَتِيْمُ الَّذِي قَدْ مَاتَ وَالِدُهُ بَلِ اليَتِيْمُ يَتِيْمُ العِلْمِ وَالأَدَبِ
55. Bukanlah anak yatim itu yang telah meninggal orang tuanya, tapi (sebenarnya) yatim itu adalah yatim ilmu dan budi pekerti.

56. لِكُلِّ عَمَلٍ ثَوَابٌ وَلِكُلِّ كَلاَمٍ جَوَابٌ
56. Setiap pekerjaan itu ada upahnya, dan setiap perkataan itu ada jawabannya.

57. وَعَامِلِ النَّاسَ بِمَا تُحِبُّ مِنْهُ دَائِماً
57. Dan pergaulilah manusia itu dengan apa-apa yang engkau sukai daripada mereka semuanya.

58. هَلَكَ امْرُؤٌ لَمْ يَعْرِفْ قَدْرَهُ
58. Hancurlah seseorang yang tidak tahu dirinya sendirii.

59. رَأْسُ الذُّنُوْبِ الكَذِبُ
59.Pokok dosa itu, adalah kebohongann.

60. مَنْ ظَلَمَ ظُلِمَ
60. Barang siapa menganiaya niscaya akan dianiayaa.

61. لَيْسَ الجَمَالُ بِأَثْوَابٍ تُزَيِّنُنُا إِنَّ الجَمَالَ جمَاَلُ العِلْمِ وَالأَدَبِ
61. Bukanlah kecantikan itu dengan pakaian yang menghias kita, sesungguhnya kecantikan itu ialah kecantikan dengan ilmu dan kesopanan.

62. لاَ تَكُنْ رَطْباً فَتُعْصَرَ وَلاَ يَابِسًا فَتُكَسَّرَ
62. Janganlah engkau bersikap lemah, sehingga kamu akan diperas, dan janganlah kamu bersikap keras, sehingga kamu akan dipatahkan.

63. مَنْ أَعاَنَكَ عَلىَ الشَّرِّ ظَلَمَكَ
63. Barang siapa menolongmu dalam kejahatan maka ia telah menyiksamu.

64. أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ
64. Saudaraku! Kamu tidak akan mendapatkan ilmu, kecuali dengan enam perkara, akan aku beritahukan perinciannya dengan jelas :
1). Kecerdasan
2). Kethoma'an (terhadap ilmu)
3). Kesungguhan
4). Harta benda (bekal)
5). Mempergauli guru
6). Waktu yang panjangg.

65. العَمَلُ يَجْعَلُ الصَّعْبَ سَهْلاً
65. Bekerja itu membuat yang sukar menjadi mudahh.

66. مَنْ تَأَنَّى نَالَ مَا تَمَنَّى
66. Barang siapa berhati-hati niscaya mendapatkan apa-apa yang ia cita-citakan.

67. اُطْلُبِ العِلْمَ وَلَوْ بِالصَّيْنِ
67. Carilah/tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cinaa.

68. النَّظَافَةُ مِنَ الإِيْمَانِ
68. Kebersihan itu sebagian dari imann.

69. إِذَا كَبُرَ المَطْلُوْبُ قَلَّ المُسَاعِدُ
69. Kalau besar permintaannya maka sedikitlah penolongnyaa.

70. لاَ خَيْرَ فيِ لَذَّةٍ تَعْقِبُ نَدَماً
70. Tidak ada baiknya sesuatu keenakan yang diiringi (oleh) penyesalann.

71. تَنْظِيْمُ العَمَلِ يُوَفِّرُ نِصْفَ الوَقْتِ
71. Pengaturan pekerjaan itu menabung sebanyak separohnya waktuu.

72. رُبَّ أَخٍ لَمْ تَلِدْهُ وَالِدَةٌ
72. Berapa banyak saudara yang tidak dilahirkan oleh satu ibuu.

73. دَاوُوْا الغَضَبَ بِالصُّمْتِ
73. Obatilah kemarahan itu dengan diamm.

74. الكَلاَمُ يَنْفُذُ مَالاَ تَنْفُذُهُ الإِبَرُ
74. Perkataan itu dapat menembus apa yang tidak bisa ditembus oleh jarum.

75. لَيْسَ كُلُّ مَا يَلْمَعُ ذَهَباً
75. Bukan setiap yang mengkilat itu emass.

76. سِيْرَةُ المَرْءِ تُنْبِئُ عَنْ سَرِيْرَتِهِ
76. Gerak-gerik seseorang itu menunjukkan rahasianyaa.

77. قِيْمِةُ المَرْءِ بِقَدْرِ مَا يُحْسِنُهُ
77. Harga seseorang itu sebesar (sama nilainya) kebaikan yang telah diperbuatnya.

78. صَدِيْقُكَ مَنْ أَبْكَاكَ لاَ مَنْ أَضْحَكَكَ
78. Temannmu ialah orang yang menangiskanmu (membuatmu menangis) bukan orang yang membuatmu tertawa.

79. عَثْرَةُ القَدَمِ أَسْلَمُ مِنْ عَثْرَةِ اللِّسَانِ
79. Tergelincirnya kaki itu lebih selamat daripada tergelincirnya lidahh.

80. خَيْرُ الكَلاَمِ مَا قَلَّ وَدَلَّ
80. Sebaik-baik perkataan itu ialah yang sedikit dan memberi penjelasannya/jelas.

81. كُلُّ شَيْئٍ إِذَا كَثُرَ رَخُصَ إِلاَّ الأَدَبَ
81. Segala sesuatu apabila banyak menjadi murah, kecuali budi pekertii.

82. أَوَّلُ الغَضَبِ جُنُوْنٌ وَآخِرُهُ نَدَمٌ
82. Permulaan marah itu adalah kegilaan dan akhirnya adalah penyesalann.

83. العَبْدُ يُضْرَبُ بِالعَصَا وَالحُرُّ تَكْفِيْهِ بِالإِشَارَةِ

Hamba sahaya itu harus dipukul dengan tongkat, dan orang yang merdeka (bukan budak) cukuplah dengan isyarat.

84. اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلاَ تَنْظُرْ مَنْ قَالَ

Perhatikanlah apa-apa yang dikatakan (diucapkan) dan janganlah meperhatikan siapa yang mengatakan.

85. الحَسُوْدُ لاَ يَسُوْدُ

Orang yang pendengki itu tidak akan menjadi mulia

Sunday, March 6, 2016

Hadiah Doa Taubat Dari Nabi

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/961282493921685

Abu Bakr Ash-Shiddiq r.a. berkata kepada Rasulullah SAW, “Ajarkanlah aku suatu do’a yang bisa aku panjatkan saat shalat!” Maka beliau pun menjawab, “Bacalah: ‘Allahumma inni zhalamtu nafsii zhulman katsiran wa laa yaghfiru-dunuuba illa anta faghfirlii maghfiratan min 'indika warhamnii innaka antal-ghafuurur-rahiim

(Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) ‘.” (HR. Bukhari dan Muslim)

عَلِّمْنِى دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِى صَلاَتِى . قَالَ « قُلِ :اللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ »

Thursday, March 3, 2016

Milik Aku, Kamu dan Kita Berdua

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/959515900765011:0

Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Wahai anak Adam!
Harta itu milik-Ku dan engkau adalah hamba-Ku. Tiada bagimu dari harta-Ku selain apa yang kau makan lalu kau habiskan, atau apa yang kau pakai lalu kau rusak, atau apa yang kau sedekahkan lalu menjadi kekal.

Dengan demikian, antara engkau dan Aku ada tiga bagian: Satu milik-Ku, satu lagi milikmu, dan yang satu lagi antara Aku dan engkau.

Sesuatu yang menjadi milik-Ku adalah ruhmu. Sedangkan yang menjadi milikmu adalah amalmu. Adapun yang ada antara Aku dan kau adalah engkau berdoa dan Aku mengabulkan.

Wahai anak Adam!
Bersikaplah warak. Jadilah orang yang menerima, niscaya engkau melihat-Ku. Sembahlah Aku, niscaya engkau berjalan menuju kepada-Ku. Carilah Aku, niscaya engkau akan mendapati-Ku.

Wahai anak Adam!
Jika engkau seperti penguasa yang masuk neraka karena perbuatan jahat, atau seperti orang Arab karena maksiat, atau ulama karena dengki, atau pedagang karena khianat, atau orang lalim karena perbuatan bodoh mereka, atau ahli ibadah karena riya, atau orang kaya karena sombong, atau orang fakir karena dusta, maka siapa yang menginginkan surga?"

---Dikutip dari Mawaizh fi al-Ahadis al-Qudsiyah, karya Imam Al-Ghazali

Wednesday, March 2, 2016

Hadith Qudsi Untuk Muhasabah

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/958702024179732

Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Aku, tiada sekutu bagi-Ku, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Ku. Siapa yang tidak rela terhadap ketentuan-Ku, tidak sabar terhadap ujian-Ku, tidak menyukuri nikmat-Ku, dan tidak puas dengan pemberian-Ku, maka hendaklah ia mencari tuhan lain selain Aku.

Siapa yang sedih terhadap kehidupan dunianya, seolah-olah ia sedang murka kepada-Ku. Siapa yang mengeluh atas semua musibah, berarti ia telah mengeluhkan-Ku.

Siapa yang mendatangi orang kaya, lalu ia merendahkan diri karena kekayaan si kaya, maka hilanglah dua per tiga agamanya. Siapa yang memukul wajahnya, karena kematian seseorang, seolah-olah ia mengambil tombak untuk memerangi-Ku."

--Dikutip dari kitab Al-Mawaizh fi Al-Ahadis al-Qudsiyah, karya Imam Al-Ghazali.