Thursday, March 10, 2016

Koreksi Total Fondasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas

https://www.facebook.com/abu.muhammadibrahim/posts/1413770171982572

Usaha Al-Attas dalam menghidupkan kembali khazanah sufi, budaya dan sastra Melayu patut diapresiasi. Utamanya adalah perannya dalam memperkenalkan kembali pemikiran Hamzah Fansuri kepada masyarakat masa kini. Akurasi analisa atas pemikiran Hamzah Fansuri telah dilakukan dengan baik oleh ulama kelahiran Bogor ini. Dia juga konsisten dengan ilmunya sehingga dia memeberi solusi terhadap persoalan masa kini dengan merujuk kepada pemikiran kaum sufi. Konsistensi ini telah mempengaruhi banyak generasi muda. Tetapi dalam ruang filsafat Islam yang murni, solusi ini tidak dapat diterima dengan baik.

Al-Attas mengusung proyek besar yakni islamisasi ilmu. Proyek ini dibangun dengan landasan linguistik yang merupakan bagian bidang pelajarannya selama di Barat. Menurutnya, bahasa memegang peran penting karena merupakan alat untuk mengkomunikasikan ide bahkan pengalaman metafisik. Karena itu tidak heran kalau dalam membahas suatu persoalan dia mengusut persoalan tersebut hingga bahasa dan bahkan makna yang mewakilinya. Keuletannya dalam mengkaji pemikiran kaum sufi sebelum kita, juga telah membentuk prinsip keilmuannya. Karena itu tidak heran bila Al-Attas selalu menggunakan ajaran kaum sufi sebagai penguatnya berargumentasi. Tetapi pemikiran Al-Attas, termasuk proyek islamisasi ilmu, memiliki banyak kekeliruan mendasar.

Dalam kajiannya tentang ontologi, Al-Attas memang mampu menjelaskan pemikiran ontologis para filosof dan kaum sufi dengan baik. Tetapi ketika menjelaskan persoalan intinya yakni persoalan wujud dengan mahiyah Al-Attas hanya merujuk pada Ibn Sina, Suhrawardi dan Taftazani (lihat Prolegomna to the Metaphysics of Islam, KL: ISTAC, 2001) . Padahal persoalan ini belum usai dalam sejarah filsafat Islam. Akibatnya pembahasan tentang wujud dan mahiyah dalam pemikiran Al-Attas tidak usai dan ganji. Padahal persoalan ini adalah jantung dari persoalan filsafat.

Benar saja, keganjilan Al-Attas berimplikasi pada pandangannya tentang wujud (eksistensi) dan hirarkinya. Al-Attas terlalu mencampuraduk antara pemikiran Al-Ghazali, Ibn 'Arabi, Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abdurrahman Jami’. Persoalan ini memberikan implikasi kepada ganjilnya sistem epistemologi Al-Attas. Ia menerima dengan baik sistem teologi Al-Ghazali, tentunya dia menerima teologi Asy'ari. Demikian itu, dia juga menerima ajaran wujud Abdurrahman Jami’ yang pastinya dia menerima sistem wujud Ibn 'Arabi. Penerimaan secara sekaligus atas kedua prinsip yang berbeda secara signifikan ini pernah pula dilakukan oleh Ibrahim Kurani denga kitab ithaf Al-dhaki.

Kita tahu bahwa Asy'ari adalah representasi teolog dan Ibn 'Arabi adalah representasi sufi. Persamaan antara keduanya adalah pada keterangan bahwa “Zat Allah tidak dapat dijangkau oleh apapun selain diri-Nya”. Tetapi letak perbedaan paling signifikan adalah pada hal yang dianggap sama ini.

Teolog berpendapat Al-Haqq tidak dapat diketahui karena keabsoludannya, sangat terpisah dan sangat berbeda dengan wujud selain Dia. Sementara sufi memandang Al-Haqq tidak dapat dikenal oleh selai-Nya karena selain Dia adalah tiada berwujud, karena wujudnya tiada, mustahil berpengetahuan. Di samping itu sufi mengaku Dia hanya bisa dikenal melalui Dia. Dan pernyataan ini berasal dari Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. (Kitab 'Asrar Al-'Arifin, dalam 'Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri,).

Sebagian sarjana juga menambahkan kesamaan mereka adalah bahwa Wujud Allah berbeda dengan wujud makhluk. Pada satu sisi pandangan ini dapat dimaklumi, tetapi pada sisi lain yang lebih penting, pendapat ini tidak benar sama sekali. Alasannya adalah karena kaum sufi hanya mengakui eksistensi satu wujud saja yakni Wujud Al-Haqq. Wujud selain-Nya hanya diterima sebagai bayangan bagi Wujud Al-Haqq. Pengakuan adanya wujud selain Al-Haqq oleh kaum sufi hanyalah sebagai penerang bagi satu wujud saja yakni Al-Haqq. Eksistensi bayangan hanya ada sebagai objek pembahasan, tidak ril, tidak nyata. Eksistensi selain Al-Haqq menjadi ada bagi sufi hanya sebagai konsep pikiran, hakikatnya tiada. Perbedaan antara sufi dan teolog adalah pada hal paling mendasar. Maka niscaya tidak dapat ditemukan sama sekali persamaan di antara keduanya. Al-Attas yang meskipun banyak memakai nama sufi aliran Ibn 'Arabi dalam menguatkan argumennya, tetapi dia tidak mampu memberikan artikulasi sistematis karena terjebak oleh sistem ontologi teolog.

Logika yang dipakai oleh Al-Attas perlu dipertanyakan. Dia menerima sistem pemikiran Al-Ghazali. Bahkan dia sangat mengagungkannya. Al-Ghazali adalah teolog yang dikritik dengan keras oleh Ibn Arabi dalam Fusus Al-Hikam mengenai persoalan sangat krusial yakni tentang pengetahuan akan Al-Haqq. Dan tema ini adalah persoalan paling krusial dalam mengkaji keseluruhan pemikiran filosof, teolog dan sufi sebagaimana yang telah dibahas di atas. Dengan ini, mengatakan pemikiran sufi dengan teolog adalah sama dalam tema ontologi adalah keliru, apalagi menggunakannya secara bersamaan untuk memperkuat satu tema tertentu.

Persoalan yang lebih penting terkait tema epistemologi adalah, ketika mengutip argumen kaum sufi Ibn 'Arabian seperti Ibn 'Arabi sendiri, Jami' dan Hamzah, sistem epistemologi apa dan bagaimana digunakan Al-Attas? Pertanyaan ini muncul karena sistem epistemologi apapun yang digunakan tetap saja akan bermasalah karena sistem ontologinya sudah keliru. Mungkin orang-orang akan mengatakan sistem hudhuri adalah sistem ideal untuk persoalan ini, tetapi tentunya sistem ini akan menuai banyak pertentangan karena mustahil mengharmoniskan antara Al-Ghazali dengan Ibn 'Arabi karena Ibn 'Arabi bertentangan dengan Al-Ghazali bukan melalui pandangan orang lain tetapi oleh Ibn 'Arabi sendiri (lihat Fusus Al-Hikam bab tentang Nuh). Di samping itu, Al-Ghazali menggunakan sistem epistemologi Aristotelian dalam menyampaikan pesan-pasannya. Tetapi kaum sufi banyak mengkritik sistem logika Aristotelian. Kalaupun dipakai, maka hanya kosakatanya atau tertib penalarannya saja. Sementara khas sufi tetap saja analogi. Hal ini menunjukkan bahwa sistem epistemologi sufi dengan teolog adalah sangat jauh bertentangan. Sebenarnya teolog juga hanya menggunakan logika Aristotelian sebagai aturan main. Sebab prinsip epistemologi teolog adalah kitab suci. Apalagi kalau menerima sistem atomisme Asy'ari (lihat Allama Muhammad Iqbal The Reconstruction of Religious Thought in Islam bab The Concept of God and the Meaning of Prayer). Karena itu, bila mengkaji dengan baik, akan ditemukan kekeliruan mendasar dalam pemikiran Al-Attas. Dia tidak menggunakan epistemologi filsafat dalam teori-teorinya, dia melakukan pendekatan hermeuneutik. Bahasa adalah wakil bagi setiap esensi. Pendekatan hermeunetika adalah pendekatan menyusun batu-bata menjadi sebuah dinding. Beginilah Al-Atas menyusun teorinya.

Tentang esensi. Kita melihat air zam-zam. Dari mana asalnya? Padahal di Timur-tengah adalah salah satu kawasan panas ekstrim di bumi. Makkah memiliki energi untuk menarik segala energi positif (karena energi negatif sebenarnya adalah non-energi) yang ada di semua sudut bumi. Lihatlah sumber energi fosil, sekalipun tanah ini tidak pernah hidup aneka tumbuhan dan hewan seperti di negeri tropis, tetapi kandungan energi fosilnya paling banyak. Demikian juga hujan hampir tidak pernah turun di sana, tetapi sumur zam-zam tidak pernah kering. Tidak hanya cairan, segala yang baik berkumpul di Makkah.

Bahasa (linguistik) adalah wakil dari setiap realitas. Missal kata K.U.R.S.I. adalah wakil dari tempat duduk. Bahasa juga mewakili tidakan. Misalnya M.A.K.A.N adalah wakil dari abstraksi tindakan sseorang mmasukkan makanan kedalam mulut. Bahasa yang merupakan harta terpenting manusia dengan kualitas terbaik berkumpul di tanah terbaik sehingga puncaknya adalah turunnya sebuah Kitab Suci melalui insan terbaik. Karena Makkah menghimpun segala yang baik, maka teraktualisasilah kata-kata yang baik dari seluruh dunia yang terwujud dalam Al-Quran. Bahasa terbaik adalah bahasa Arab. Sementara sifat sifat terbaik terhimpun dalam diri Rasul Saw. Tidak ada parsialitas antara Al-Qur’an dengan Rasul Saw.

Kata-kata dan peristiwa-peristiwa terbaik yang pernah lahir dari alam dan tindakan manusia-manusia dari Adam hingga menjelang Al-Qur'an turun---kata-kata tersebut disebut terbaik karena mampu mewakilkan suatu esensi. Kata-kata baik ini dimulai sejak manusia berbahasa, mengalir dalam sungai sejarah, hingga terhimpun dalam samudra Al-Qur'an.

Kata-kata selain kata-kata dalam Al-Qur’an sifatnya hanya kesepakatan, konvensi. Tetapi kata-kata yang telah dipilih dalam Al-Qur’an adalah humpunan paling baik dan satu-satunya pewakilan yang benar dari realitas dan tindakan. Yang pertama relatif dan terakhir mutlak. Yang pertama dapat dan yang terahir tidak dapat dirubah. Bila bahasa yang dimaksud Al-Attas adalah linguistik atau konvensi, maka itu bukanlah hal yang esensial. Bahasa adalah sesuatu yang terus berubah. Sementara esensi-esensi adalah tetap dan itu tidak perlu diislamisasi karena memang adalah islam.

Salah satu bagian dari proyek islamisasi Al-Attas adalah islamisasi bahasa. Proyek ini adalah naturalisasi kosakata bahasa Arab menjadi bahasa Melayu. Ini bukan Islamisasi tetapi Melayunisasi. Yang disebut sebagai Islamisasi adalah kosakata Melayu yang tetap dipakai dan maknanya yang diperbaiki. Karena banyak kosa kata Melayu yang telah kehilangan makna aslinya akibat dipakai untuk mewakilkan maksud yang berbeda. Demikian juga kata-kata yang tidak mendalam harus diberi pemaknaan baru supaya ideal dan semaksud dengan kata-kata yang dimiliki bahasa Arab. Misalnya kata 'tulus' dianggap tidak sesuai dengan kata 'iklash' dalam bahasa Arab. Karena dianggap tidak sesuai, maka kata 'iklash' dinaturalisasi menjadi bagian dari kosakata Melayu. Islamisasi adalah menjadikan Islam sesuatu yang tidak Islam. Tetapi bila menggunakan istilah Islam yakni bahasa Arab dan menyingkirkan istilah Melayu yang identik, dalam sekup kata, maka itu namanya Melayunisasi. Dan bila dilihat dari keseluruhan bahasa Melayu, maka itu artinya penyusupan Islam. Islamisasi yang sesungguhnya, bila konsep ini layak, terkait linguistik, adalah mengubah makna sebuah kata menjadi lebih mendalam dan sesuai dengan maksud yang diinginkan pada sebuah kata. Jadi tindakan kaum sufi Melayu di masalalu bukan ‘Islamisi’ bahasa--sebagaimana dikatakan Al-Attas, tetapi Melayunisasi.

Namun demikian, sebuah kata tidak akan berguna bila maknanya tidak mendasar. Degradasi dan promosi sebuah kata adalah tergantung pada pola pikir, lingkungan dan tindakan masyarakat pengguna kata tersebut. Kalaupun semua kosa kata Arab dinaturalisasi menjadi kosakata Melayu, bila masyarakatnya kurang berkualitas, maka semua kata yang dimelayunisasikan akan tetap tereduksi. Misalnya kata ‘tawakal’ yang merupakan melayunisasi dari kata ‘tawakkal’ yang bermakna suatu tindakan berdasarkan niat, aksi dan hasil karena Allah menjadi usaha untuk kepentingan materi dengan niat menumpuk kekayaan bagi kalangan tertentu pengguna kata tersebut. Demikian juga kata ‘iman’ dapat pula dipakai untuk menggambarkan keyakinan masyarakat untuk menyembah pohon bila mereka menjadi pagan.

Maka sebuah kosakata adalah bergantung pada penggunanya. Karena itu yang lebih penting adalah menjadikan masyarakat bertauhid dengan baik, membentuk prinsip, paradigma dan sebagainya. Kalau tujuan yang penting ini dapat tercapai, maka setiap kosa kata Melayu sendiri akan terperbaiki maknanya dan menjadi lebih layak untuk mewakili maksud-maksud Islam sehingga tidak perlu melakukan Melayunisasi kosa kata Arab atau kosakata Al-Qur'an. Tetapi bila menganggap kosa Melayu tidak mampu mewakili kosakata-kosakata Al-Qur'an maka gunakan saja bahasa Arab. Dan ini adalah melayunisasi, bukan islamisasi.

Terkait sejarah, Al-Atas adalah tokoh yang paling kritis terhadap teori-teori sejarah tentang Nusantara yang dilahirkan oleh para sarjana Barat. Tetapi Al-Atas sendiri melakukan banyak kesalahan untuk mempertegas sebuah kebenaran. Misalnya saat dia ingin mengungkap asal kata 'samudra', malah menulis salah, mengacaukan, atau adalah kesepakatan Inggris tetapi tidak membuat penjelas karena sangat penting, saat menulis nama ‘Meurah Seulu’ menjadi ‘Merah Silau’ (Al-Attas, Historical Fact and Fiction, Kuala Lumpur: UTM Press, 2011, Bab tentang Samudra Pasai. h. 12) dan menulis ‘Perlak’ (Al-Attas, 2011: 37) yang seharusnya ‘Peureulak’. Pengubahan nama tempat atau nama orang dalam mengkaji sesuatu tanpa membuat keterangan kata dasarnya, apalagi sejarah, malah saat sedang mengkaji sesuatu berdasarkan pendekatan semantik, justru membuat kajian semakin kabur.
Tentang sekularisme? Banyak kata yang muncul. Tetapi hampir sama banyaknya dengan hanya sebatas kata. Hanya sedikit kata yang merupakan wakil dari realitas, memiliki rujukan yang nyata. Salahsatu kegunaan filsafat adalah membuktikan sesuatu itu real, nyata, atau tidak.

Contoh yang diberikan adalah 'kesempatan'. Maksud kata ini seperti suatu keajaiban yang muncul di luar hukum kebiasaan alam. Tongkat penyihir yang tiba-tiba dapat memunculkan hal aneh adalah gambaran yang walaupun kurang tepat tetapi tidak buruk amat. Setiap peristiwa memiliki sebab dan akibatnya.

Kausalitas adalah hukum yang berlaku untuk menjelaskan setiap peristiwa. Artinya segala sesuatu adalah alamiah, tidak ada, misalnya 'kesempatan', sebab dia tidak ril. Filsafat membantu menyelesaikan masalah ini sehingga bila filsafat telah mampu membuktikan sesuatu itu ril, maka dapatlah dilanjutkan pengkajiannya. Tetapi bila sesuatu ternyata tidak ril, maka tidak ada gunanya melanjutkan pembahasan.

Sesuatu yang dianggap sebagai masalah, atau sebaliknya dianggap sebagai solusi perlu dibuktikan apakah ril atau tidak. Bila secara kesepakatan umum sesuatu dianggap sebagai masalah namun secara filsafat terbukti ternyata bukan masalah, maka berarti bukan itu masalahnya. Demikian pula sesuatu yang bila secara umum dianggap sebagai solusi tetapi ternyata filsafat membuktikan dia tidak ril, maka solusi itu pasti tidak berguna.

Sekularisme menjadi solusi bagi kaum Kristen modern yang konsisten dengan sains. Sekularisme juga menjadi masalah bagi orang Islam belakangan. Tetapi apa sebenarnya sekularisme ini? Al-Attas mengatakan sekularisme berasal dari perpaduan dari dua kata yang bermakna 'kedisinian' dan 'kekinian' (Al-Attas, Islam and Secularism dalam bab Secular, Secularization-Secularism h. 16, KL: ISTAC, 1993). Kedisinian dan kekinian adalah limitasi tertentu dari ruang dan waktu yang tidak statis.

Dalam pengertian lebih luas, sekularisme adalah aliran yang melepaskan keyakinan atas metafisika tertentu dari rasio. Keyakinan-keyakinan dogmatis dianggap perlu dibuang supaya nalar dapat lepas dari gangguan-gangguan waham sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang benar. Dengan melepaskan dogma-dogma agama, manusia dapat berfikir rasional dan praktis tanpa orientasi dogmatis. Al-Attas menolak pola pikir sekular karena menurutnya setiap orang berangkat dan menuju orientasi metafisik dalam melakukan setiap tindakan. Karena itu sekularisme adalah kebohongan, ketiadaan; karena dalam term filsafat, kekinian dan kedisinian berarti ketiadaan sebab.

Kini dan di sini adalah bagian dari kategori aksiden. Pada realias, yang ada adalah gerak terus-menerus. Limitasi kini dan di sini hanya berlaku dalam kategori mental. Dalam prinsip identitas Aristotelian, mengunci identitas dalam konsep mental berarti menstatiskan sesuatu yang dinamis. Hal ini akan mengalami kekacaiaun, apalagi dalam kegiatan keilmuan dan aktualisasi keagamaan yang sifatnya dinamis. Bahkan Aristoteles sendiri sebagai arsitek logika formal harus mengingkari prinsip identitas yang dibangunnya dalam kegiatan keilmuan yang dibangunnya. Sehingga ia menjadi sasaran serangan Bacon. Lebih dari itu sekularisme adalah teori yang disemangati oleh oleh Ibn Rusyd dan Thomas Aquinas.

Ibn Rusyd dan Aquinas yang mempengaruhi hampir keseluruhan filsafat Barat Modern salah paham terhadap Ibn Sina. Mereka menganggap dualitas yang dimaksud Ibn Sina berlaku pada realitas luar, padahal dualitas dimaksud itu berlaku hanya pada wilayah pikiran. Mereka mengira aksidentalisasi eksistensi kepada esensi dimaksud Ibn Sina adalah seperti aksidentalitas warna kepada suatu zat. Sebab mereka sadar bahwa kesesuatuan realitas eksternal itu tunggal, tidak rangkap (kata ‘rangkap’ berasal dari kata Arab ‘murakkab’). Akibat kesalahpahaman, klasifikasi bagian mental dengan bagian eksternal menjadi terabaikan. Maka dari itu, sekularisme sebenarnya tidak ril. Kalaupun ada, maka hanya dalam realitas mental.

Kalau Al-Attas sendiri mengakui bahwa setiap entitas alam materi tidak putus dari ilahiyah, (Islam dan Filsafat Sains, Bandung: Mizan, 1995: 20) maka setiap sisi sains, apapun disiplinnya, kalau mengakui sains adalah aktual dan metafisika juga aktual, berarti sains linier metafisika, tidak rangkap. Al-Ghazali selaku tokoh yang dengan setia diikuti Al-Attas tidak memiliki masalah ketika memilah setiap disiplin ilmu karena sadar bahwa memilah antar disiplin dapat membuat disiplin itu semakin matang, bukan malah menganggapnya rangkap dengan metafisika. Kesadaran Al-Ghazali ini identik dengan keyakinan Kant bahwa metafisika adalah sains dan sains adalah metafisika, walaupun cara pendekatan saja yang berbeda. Karena pendekatan tentuntunya tidak berlandaskan epistemologi dan epistemologi adalah kerja inteleksi, kerja mental. Maka, parsialitas sains dengan metafisika hanya pada ranah konsep. Dan ini hanya untuk memudahkan eksplorasi.

Al-Atas mengatakan hanya hidayah saja yang menghantarkan pada kebenaran, bukan keraguan sebagaimana sumber energi kaum Barat. ( Islam dan Filsafat Sains, h. 30) padahal teori keraguan ini dimulai oleh Al-Ghazali yang selanjutnya diwarisi Bapak Filsafat Barat Modern yakni Rene Descartes. Perbedaannya adalah, dalam pandangan Al-Ghazali, keraguan itu sendiri adalah sarana (alat, kendaraan, tools) dari Allah untuk mencapai hidayah, sementara Descartes menjadikan keraguan itu sendiri sebagai sumber utama sehingga sering pemikir Barat selalu berujung pada keraguan juga.

Al-Attas (1995: 31) menilai keraguan adalah posisi netral antara kebenaran dengan kesalahan. Padahal dia adalah komentaror Hamzah Fansuri yang paling dipercaya. Dalam pandangan Hamzah, segalanya berasal dari Al-Haqq. Dia Tunggal dan tidak memiliki oposisi. Karena itu oposisinya tidak ada. Segala hal adalah dariNya. Keburukan hanyalah konsepsi mental manusia karena keterbatasannya. Keraguan hanyalah posisi proses gerak jiwa manusia meninggalkan satu stasium menuju stasiun lainnya. Stasiun satu dengan yang lainnya adalah dari Al-Haqq.

Keraguan dalam kosep Al-Ghazali adalah fondasi ilmu dan bangun teori. Bila demikian, maka tidak ada ilmu yang dapat dipercaya dan tidak ada teori yang bisa diandalkan. Apatisme ilmu melahirkan skeptisme dan kelemahan sebuah teori meruntuhkan semua bangun diskursus. Kekeliruan Al-Attas ini muncul dari hasrat kombinasi ontologi ‘irfan dengan epistemologi teolog. Dengan mengamati psikologi intelektualitas Al-Attas, dapat dilihat bahwa ia percaya pada ontologi ‘irfan, namun tidak ingin menggunakan epistemologi mereka karena epistemologi ‘irfan bercorak analogi. Corak ini tidak layak dalam diskursus filsafat. Hasilnya adalah pseudo filsafat.

Kategorisasi ‘irfan, hikmah dan kalam bukanlah sebuah kategor yang menjadi kategorisasi Positivistme. Bukan pula semata karena perbedaan epistemologi, yang mana ‘irfan sebagaimana mistisme umumnya berpijak pada analogi, hikmah sebagaimana filsafat umumnya berpijak pada akal sehat dan kalam sebagaimana teologi pada umumnya berpijak pada kitab suci. Lebih dari itu, ini adalah persoalan perbedaan ontologi.

Dengan pejelasan di atas, maka sekularisme adalah teori dan ideologi yang tidak memilik rujukan. Konsepsinyapun hanya sebuah manipulasi pikiran. Al-Attas sendiri menjawab prolem sekularisasi dengan proyek Islamisasi. Islamisasi sendiri adalah manipulasi atas manipulasi. Sains itu semunya berjalan atas dasar hukum alam yang merupakan manifestasi dari hukum Tuhan. Karena itu kalau mau melakukan Islamisasi, ya kepada saintis, bukan sains karena sains itu sendiri memang islam.

Wallahu'alam.

No comments:

Post a Comment