Tuesday, February 28, 2017

Tasawuf Undergraound Menjawab Tentang Nur Muhammad

Menanggapi perbedaan pendapat seputar Ruh dan Nur Muhammad, berikut ini kami jelaskan argumentasi berdasarkan nash. Tujuannya agar menjadi penguat pemahaman bagi salik untuk semakin mendalami ilmu tasawuf.

Istilah Nur Muhammad pada dasarnya sudah muncul dalam tafsir Ibnu Abbas “Tanwir Al-Miqbas”. Tepatnya pada surah An-Nur ayat 36 saat menjelaskan “Nur ‘ala nur”. [1] Sebagaimana kita ketahui Ibnu Abbas adalah sahabat Nabi SAW yang meninggal tahun 68 H dan “Tanwir Al-Miqbas” ini adalah karya monumentalnya karena menjadi satu-satunya karya Tafsir dari kalangan Sahabat.

Sebagai sahabat Nabi SAW, tentu saja beliau menjadi rujukan ulama yang hidup setelahnya, termasuk dalam peristilahan Nur Muhammad ini. Tapi, sebenarnya tidak hanya Ibnu Abbas saja Sahabat yang berbicara tentang Nur Muhammad karena Abu Darda’—sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dari Musnad Asy-Syamiyin karya Imam Ath-Thabrani [2] dalam kitabnya “Ta’jil Al-Manfa’ah”—juga menjelaskan Nur Muhammad saat menjelaskan Sibrah ibn Fatik Al-Asadi.[3] Artinya secara istilah Nur Muhammad sudah beredar di masa Sahabat dan bukan sebagai istilah baru yang dimunculkan ulama tasawuf.

Bahkan, ada 8 kitab tafsir—yakni An-Nukat wa Al-‘Uyun, Marah Labid, Tafsir Al-Munir (Wahbah Az-Zuhaily), Latha’if Al-Isyarat, Tafsir Ibnu Abdi As-Salam, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Lubab li Ibni Adil, dan Tafsir As-Siraj Al-Munir—yang mengutip riwayat dari Ibnu Abbas terkait dengan istilah Nur Muhammad. Teks riwayat ini merupakan bagian dari sabab nuzul-nya ayat ke-8 surah Ash-Shaff, sebagai berikut:
حكاه عطاء عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم أبطأ عليه الوحي أربعين يوماً، فقال كعب بن الأشرف يا معشر اليهود ابشروا فقد أطفأ الله نور محمد فيما كان ينزل عليه، وما كان الله ليتم أمره
Atha’ menceritakan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya wahyu terlambat datang pada Nabi SAW selama 40 hari. Maka, Ka’b ibn Al-Asyraf berkata, ‘Wahai orang-orang Yahudi! Berikanlah kabar gembira bahwa Allah telah mematikan Nur Muhammad (Cahaya Muhammad) terkait wahyu yang Dia turunkan padanya. Dan, Allah tidak menyempurnakan perkaranya.’”[4]

Mendengar itu, Rasulullah SAW bersedih lalu turunlah ayat ke-8 dari surah Ash-Shaff yang artinya berdasarkan sabab nuzul di atas, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan Nur Muhammad meskipun orang-orang kafir membencinya.”

Memang di dalam hadis tidak disebutkan secara eksplisit tentang Nur Muhammad karena Nur Muhammad adalah penafsiran atau takwil yang dilakukan ulama tasawuf bersumber dari penafsiran para pendahulunya yang salah satunya adalah Ibnu Abbas di atas. Kenapa harus ditakwilkan? Sebab beberapa hadis sahih di bawah ini akan sulit dipahami bila tidak ditakwilkan dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad.

Apalagi, dalam menakwilkannya pun ulama tasawuf tidak asal-asalan karena terbukti secara istilah, kata Nur Muhammad sudah ada dalam tafsir Ibnu Abbas. Berikut ini hadis-hadis yang mau tidak mau melahirkan takwil Nur Muhammad atau Ruh Muhammad,
كُنْتُ أَوَّلُ النَّبِيِّيْنَ فِي الْخَلْقِ وَآخِرُهُمْ فِي الْبَعْثِ
“Aku adalah nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir dalam pengutusan.”

Hadis di atas adalah ucapan Rasulullah SAW. Pertanyaannya, bagaimana kita tidak menakwilkan bahwa maksud dari hadis di atas yang diciptakan pertama dari Nabi Muhammad SAW adalah Nur atau Ruh beliau? Sedang kenyataannya jasad beliau baru ada belakangan atau sekitar 14 abad yang lalu. Justru akan fatal kesalahannya jika kita tidak menakwilkan hadis di atas dengan memahami secara literlek bahwa memang Nabi Muhammad SAW jasadnya diciptakan sebelum Adam. Ini akan melahirkan pertanyaan, selama kenabian 24 nabi itu jasad Muhammad SAW di mana? Lalu, siapa yang dilahirkan Aminah di Mekkah itu? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Hadis di atas diriwayatkan oleh sekian banyak mukharrij al-hadits seperti Tamam dalam “Al-Fawa’id”, Ath-Thabrani dalam “Musnad Asy-Syamiyin”, Abu Nu’aim dalam “Ad-Dala’il, Ad-Dailami dalam “Al-Firdaus”, dan Ats-Tsa’alabi dalam tafsirnya. Tapi kemudian didhaifkan oleh Al-Albani karena kedhaifan seorang rawi bernama Sa’id ibn Bisyr. Anehnya, di dalam hadis-hadis lain, Al-Albani justru menghukumi sahih sekian banyak hadis dalam kitab Sunan meskipun di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Sa’id ibn Bisyr. Itu artinya ada subyektivitas Al-Albani sebagai tokoh yang menyemboyankan, “Al-Mutashawwifah a’da’u as-sunnah (orang-orang tasawuf musuhnya sunah).”

Lupakan sejenak kesimpulan Al-Albani, yang jelas hadis di atas meskipun telah kuat dan diriwayatkan oleh banyak mukharrij al-hadits, tetapi masih memiliki syahid yang memperkuatnya lagi. Berikut ini adalah syahid terhadap hadis tersebut,
كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالْجَسَدِ
“Aku sudah menjadi nabi pada saat Adam masih antara ruh dan jasad.”

Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai redaksi oleh Al-Bukhari dalam kitab “At-Tarikh”, Ahmad, Al-Baghawi, Ibn As-Sakan, Abu Nu’aim dan Al-Hakim. Adapun riwayat lengkapnya dalam “Al-Mustadrak ‘ala Shahihain” adalah sebagai berikut,
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ الْفَقِيهُ، وَأَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ الْعَنَزِيُّ، قَالَا ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ الْعَوَقِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ، عَنْ بُدَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مَيْسَرَةَ الْفَخْرِ، قَالَ قُلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى كُنْتُ نَبِيًّا؟ قَالَ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ.

Menurut Al-Hakim hadis ini diperkuat lagi dengan hadis berikut,
مَتَى وَجَبَتْ لَكَ النُّبُوَّةُ؟ قَالَ بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ وَنَفْخِ الرُّوحِ فِيهِ
“Kapan engkau mendapat mandat kenabian, (wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab, “Saat antara (jasad) Adam diciptakan dan peniupan ruh ke dalamnya.” (HR. Al-Hakim)

Satu lagi, dalam kitabnya, “Dala’il An-Nubuwwah” Al-Baihaqi meriwayatkan Hadis Qudsi yang panjang yang di dalamnya disebutkan bahwa Allah SWT berkata kepada Nabi SAW,
وَجَعَلْتُكَ أَوَّلَ النَّبِيِّيْنَ خَلْقًا وَآخِرُهُمْ مَبْعَثًا
“Dan telah Kuciptakan engkau sebagai nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir di antara mereka dalam pengutusan.” (HR. Al-Baihaqi)

Atas dasar hadis-hadis tersebut dan masih ada beberapa hadis lain yang senada, ulama tasawuf tidak gegabah dengan menafsirkan secara literlek lalu hadis menjadi tidak dapat dipahami dan tidak memiliki makna. Ulama tasawuf, saya kira telah selangkah lebih maju dari ulama ahli hadis, khususnya dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang mengharuskan adanya penakwilan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad ini.

Ulama tasawuf bukanlah ulama yang tidak melek terhadap hadis. Sungguh tidak sopan, diluar nalar dan tidak masuk akal jika sebagian orang mengatakan ulama tasawuf “semuanya” adalah orang-orang yang tidak mengerti hadis. Mereka tidak melakukan amal melainkan sesuai dengan hadis. Mereka tidak bertauhid kecuali atas petunjuk Rasulullah SAW.
Lalu, apa alasan ulama tasawuf mengartikan “al-qalam” dalam hadis sahih ini, “Sesungguhnya yang paling pertama diciptakan Allah adalah Al-Qalam,” dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad? Jawabannya tersirat dalam Hadis Marfu’ riwayat Ibnu Abbas di bawah ini
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ خَلَقَهُ مِنْ هَجَا قَبْلَ الأَلْفِ وَاللاَّمِ فَتَصَوَّرَ قَلَمًا مِنْ نُورٍ فَقِيلَ لَهُ اجْرِ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ قَالَ يَا رَبِّ بِمَاذَا قَالَ بِمَا يَكُونُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ … هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ. (رواه الحاكم)

Atau dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut,
حدثنا أحمد بن علي بن العلاء وأبو بكر محمد بن محمود السراج قال حدثنا أبو الأشعث أحمد بن المقدام العجلي قال حدثنا المعتمر بن سليمان قال حدثنا عصمة أبو عاصم عن عطاء بن السائب عن مقسم عن ابن عباس قال إن أول ما خلق الله عز وجل القلم فخلقه عن هجاء فقال قلم فتصور قلما من نور ظله ما بين السماء والأرض فقال اجر في اللوح المحفوظ (رواه الآجري)

Para ulama tasawuf adalah Ahl Al-Basha’ir yang mampu menakwilkan hadis sesuai dengan tuntunan syariat sekaligus sesuai dengan ajaran hakikat. Wallahu A’lam.

Foot Note
[1] Ibnu Abbas, Tanwir Al-Miqbas, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Hal. 296.
[2] Sulaiman ibn Ahmad Ath-Thabrani, Musnad Asy-Syamiyin, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1984) Jil. III, hal. 385.
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ta’jil Al-Manfa’ah Bizawa’id Rijal Al-‘imah Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Basya’ir, 1996) Jil. I, hal. 568.
[4] Abu Al-Hasan Al-Mawardi Al-Bashri, An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Jil. V, hal. 530.

Semoga bermanfaat!
Salam

Halim Ambiya
Pendiri dan Admin Tasawuf Underground
(Naskah disajikan oleh Yusni Amru Ghazali, M,Ag, Research Fellow Tasawuf Underground)

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1243809912335607:0

Monday, February 27, 2017

3 Sunnah Bagi Seorang Muslim

Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata:

مَنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ سُنَّةُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ وَسُنَّةُ أَوْلِيَائِهِ فَلَيْسَ فِيْ يَدِهِ شَيْئٌ
“Bagi siapa yang tidak memiliki:
1) Sunnatullah
2) Sunnah Rasul-Nya; dan
3) Sunnah para wali-Nya,
Maka dia tidak punya kebaikan sedikit pun.”

Ketika ‘Sayyidina Ali ditanya apa yang dimaksud dengan sunnatullah itu, naka beliau menjawab: “Menyembunyikan rahasia, “
Sayyidina Ali r.a. ditanya lagi: “Apa yang dimaksud dengan sunnah Rasul-Nya? Beliau menjawab: “Bersikap ramah kepada sesame manusia.” ‘
Sayyidina Ali r.a ditanya lagi: “Apa yang dimaksud dengan sunnah para wali itu? Beliau menjawab: “Sabar dalam menghadapi perlakuan yang menyakitkan hati.”

Sayyidina ‘Ali r.a juga berkata:
وَ كَانُوْا مَنْ قَبْلَنَا يَتَوَاصَوْنَ بِثَلَاثِ خِصَالٍ وَيَتَكَاتَبُوْنَ بِهَا مَنْ عَمِلَ لَآخَرِتِهِ كَفَاهُ اللهُ أَمْرَ دِيْنِهِ وَدُنْيَاهُ وَمَنْ أَحْسَنَ سَرِيْرَتَهُ أَحْسَنَ اللهُ عَلَانِيَّتَهُ وَمَنْ أَصْلَحَ مَابَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ أَصْلَحَ اللهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ
“Orang-orang sebelum kamu juga biasa saling mengingatkan dan berkirm surat dengan tiga perkara berikut:
1) Siapa beramal untuk kepentingan akhiratnya, maka Allah akan memelihara urusan agama dan dunianya.
2) Siapa yang baik batinnya, maka Allah akan memperbaiki lahirnya.
3) Siapa yang ikhlas amal ibadahnya kepada Allah, maka Allah akan menjamin kebaikan hubungan antara dia dan sesame manusia."

---Kitab Nasha'ihul 'Ibad, Imam Al-Bantani

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1244012965648635

Empat Tanda Keimanan Dan Doa Nabi Khidir

Sebagian ahli hikmah mengatakan: “Tanda-tanda keimanan kepada Allah itu ada empat perkara, yaitu:
1) Taqwa;
2) Haya’ (rasa malu)
3) Selalu bersyukur; dan
4) Sabar.”

Taqwa adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dan menjauhkan diri dari segala macam bentuk kemaksiatan. Ada juga yang mendefenisikan bahwa taqwa adalah semua aturan Islam. Bahkan, ada juga yang mendefenisikan bahwa taqwa adalah mengikuti jejak Rasulullah SAW, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Adapun Haya’ (rasa malu) itu ada dua macam, yaitu:
1) Malu naluri (haya’ nafsani), yaitu rasa malu yang dikaruniakan oleh Allah kepada setiap diri manusia, seperti rasa malu kelihatan auratnya atau malu bersenggama di depan orang lain;

2) Malu imani (malu imani), yaitu rasa malu yang bisa mencegah seseorang dari melakukan perbuatan maksiat, karena takut kepada Allah Ta’ala.

Sedangkan Syukur adalah memuji Allah yang selalu memberi kebaikan dengan selalu mengingat kebaikan-Nya. Dan, di antara bentuk sabar adalah tabah dan tidak mengeluh kepada selain Allah ketika mendapat musibah.

Berkaitan dengan pembahasan dalam perkara ini, sudah seharusnya kita berdo’a dengan do’a yang pernah dibaca oleh Tamim Ad-Dari bin Habib, yaitu do’a yang diajarkan oleh Nabi Khidir a.s. kepadanya sekembalinya Tamim dari suatu tempat akibat dibawa oleh jin.

Lafazh doa’nya sebagai berikut:
اللَّهُمَّ قَنِّعْنَا بِمَا رَزَقْتَنَا وَاعْصِمْنَا مِنْ حَيْثُ نَهَيْتَنَا وَلاَ تُحَوِّجْنَا إِلَى مَنْ أَغْنَيْتَ عَنَّا وَاحْشُرْنَا فِيْ رَمْزَةِ أُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ بِكَأْسِهِ فَاسْقِنَا وَ مِنْ مَعَاصِيكَ جَنِّبْنَا وَعَلَى التَّقْوَى أَمِتْنَا وَلِلذِّكْرِ أَلْهِمْنَا مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيْمِ فَاجْعَلْنَا وَ أَسْعِدْنَا وَلَا تَشُقَّنَا يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Ya Allah, jadikanlah kami merasa puas dengan rezeki yang Engkau berikan kepada kami; peliharalah kami dari apa yang telah Engkau larang; janganlah Engkau menjadikan kami orang yang membutuhkan pertolongan kepada orang yang telah Engkau jadikan dia tidak membutuhkan kami lagi; kumpulkan kami ke dalam golongan umat Muhammad saw dan berilah kami minum dari telaganya; jauhkan kami dari perbuatan maksiat; wafatkan kami dalam ketaqwaan; berilah kami ilham untuk senantiasa berdzikir kepada-Mu; jadikanlah kami termasuk ahli waris surga yang penuh kenikmatan; dan bahagiakanlah kami dan jangan Engkau sengsarakan kami, wahai Tuhan Yang mempunyai keagungan dan kemuliaan.”

Rasulullah saw bersabda:
ذِرْوَةُ الْإِيْمَانِ أَرْبَعٌ خِلَالُ الصَّبْرِ لِلْحُكْمِ وَ الرِّضَا بِالْقَدْرِ وَالْإِخْلَاصِ لِلتَّوَكُّلِ وَالْإِسْتِسْلَامِ لِلرَبِّ
“Puncak kenikmatan itu ada empat, yaitu sabar terhadap hukum, ridha terhadap qadhar, ikhlas dalam bertawakkal, dan berserah diri kepada Allah.” (HR. Abu Nu’aim)

---Kitab Nasha'ihul 'Ibad, Imam Nawawi Al-Bantani

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1244768188906446

Friday, February 24, 2017

Apa Erti Khusyu?

Apa ertinya Khusyu'?

Syaikh Sa'id Bin Ali Bin Wahf Al Qahthani dalam kitabnya Al Khusyu' Fis Solat menguraikan makna khusyu' menurut sunnah dan pendapat ulama salaf.

Khusyu' dari segi bahasa

1. Di katakan "Khasya'a" apabila merendah dan menundukkan kepalanya.

خَـٰشِعَةً أَبۡصَـٰرُهُمۡ ....
(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah
(Al Qalam 68:43)

2. Ada juga mengatakan bahawa khusyu' sinonim dengan kata khudu'. Bezanya Khudu' itu diperuntukkan utk anggota badan sedangkan khusyu' diperuntukkan pada tubuh, suara, dan pandangan sebagaimana firman Allah:

يَوۡمَٮِٕذٍ يَتَّبِعُونَ ٱلدَّاعِىَ لَا عِوَجَ لَهُ ۥ‌ۖ وَخَشَعَتِ ٱلۡأَصۡوَاتُ لِلرَّحۡمَـٰنِ فَلَا تَسۡمَعُ إِلَّا هَمۡسًا

Pada hari itu mereka menurut seruan panggilan yang menyeru mereka dengan tidak dapat melencong dari menurutnya; dan diam khusyuklah segala suara kepada Allah yang melimpah-limpah rahmatNya sehingga engkau tidak mendengar melainkan bunyi yang amat perlahan.
(Thaha 20:108)

Khusyu' juga bererti as-sukun wat tadzallul (tenang dan merendahkan diri)
Kata khusyu' ini diambil dari kalimat "khasya'atil ardhu" iaitu bumi yang diam dan tenang.

3. Ibnu Qoyyim mengatakan khusyu' secara bahasa bererti inkhifadl (kehinaan), dzull (kerendahan), dan sukun (ketenangan)

Berdasarkan juga firman Allah di atas (Thaha 20:108)
Yang bermaksud

"Dan semua suara lirih merendah kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar, kecuali bisikan saja"

Maksudnya:
Suara-suara menjadi tenang, hina dan tunduk.
Dengan pengertian ini, kata khusyu' dinisbatkan pada bumi.
Maka bumi yang khusyu' bermakna kering kontang, terlihat menurun, tidak lebih tinggi dari air dan tumbuh-tumbuhan.

خَـٰشِعَةً أَبۡصَـٰرُهُمۡ تَرۡهَقُهُمۡ ذِلَّةٌ‌ۖ وَقَدۡ كَانُواْ يُدۡعَوۡنَ إِلَى ٱلسُّجُودِ وَهُمۡ سَـٰلِمُونَ

(Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, serta mereka diliputi kehinaan; dan sesungguhnya mereka (di dunia) dahulu telahpun diseru supaya sujud (tetapi mereka enggan) sedang mereka dalam keadaan sihat.

4. Ayat-ayat Al Quran yang lain untuk rujukan
1. Al Ghasyisyah 88:2
2. Al Qamar 54:7
3. An Nazi'at 79: 8 - 10
4. Asy Syura 42: 45

Makna khusyu' yang terkandung dalam beberapa ayat di atas menunjukkan ketundukan, ketenangan dan kerendahan bagi semua anggota tubuh.

Nantikan sambungannya ....
Khusyu' Menurut Istilah
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam solatnya,"
(Al Mu'minun: 1 - 2)

https://www.facebook.com/noralizaa/posts/1611809365511095

Thursday, February 23, 2017

Tasawuf Tidak Melibatkan Metafizik?

Dalam kelas isu² tasawwuf, kami diajarkan tentang pembahagian tasawwuf sunni dan bid'i. Hujah asasnya, tasawwuf sunni tidak melibatkan hal² metafizik seperti ontologi, kosmologi, dan epistemologi. Tasawwuf sunni hanya melibatkan tazkiyatun nafs dan pemurnian akhlaq- takhalluq bi akhlāqilLāh (تخلق بأخلاق الله).

Maka, apa² sahaja tasawwuf yang melibatkan ketiga² perkara ini ialah tasawwuf bid'i dan mesti dijauhi. Ini tidak betul sama sekali oleh beberapa sebab.

Pertamanya, penilaian boleh dibuat berdasarkan analisis terma. Terma² seperti "akhlaq" dan "takhalluq" berkongsi kata dasar yang sama "Kh-L-Q" (خلق). Adalah sedia maklum bahawa apa² sahaja perkataan terbitan yang berkongsi kata akar yang sama, akan membawa julat makna yang serupa.

"Takhalluq" secara kasarnya bermaksud proses kemenjadian, manakala "akhlaq" pula merujuk kepada kejadian dalaman seseorang. "Khalq" pula bermaksud kejadian atau ciptaan.

Apabila dihimpunkan hubungan semantik ini secara bersekali, ianya sebuah proses untuk mengubah kejadian dalaman seseorang kepada kejadian yang lain- dari buruk kepada baik. Justeru "akhlaq" yang menjadi objek perhatian tasawwuf ini bersifat ontologikal, kerana usaha tazkiyah itu melibatkan "nafs" seseorang- iaitu keseluruhan kejadian dirinya.

Keduanya, ada sebab mengapa Imām Al-Ghazali menamakan salah satu karyanya sebagai "al-Kimiyyāt al-Sa'ādah". "Al-Kimiyyat" atau "Alchemy" ialah sains yang bertujuan menukarkan sebarang jenis logam kepada emas- bermakna menghilangkan ciri² dan kejadian satu logam dan menjadikannya sebuah ciri dan kejadian yang baru, iaitu emas.

Mengambil konsep yang sama, Al-Ghazali menyifatkan tazkiyatun nafs sebagai proses menukar jiwa yang rendah (nafs al-ammārah) kepada jiwa yang lebih mulia (nafs al-muţma'innah). Penyucian jiwa bukan setakat seperti membasuh kain menanggalkan daki. Tetapi seperti proses hidrolisis yang mana bahan baru dijadikan daripada penguraian bahan lama.

Jadi proses ini bukan setakat mengubah ciri² jiwa, tetapi mengubah keseluruhan keadaan jiwa. Sekali lagi, ia mempamerkan sifat yang ontologikal.

Jadi tidak masuk akal untuk mengatakan tasawwuf tidak terlibat dengan sebarang urusan metafizik dan tidak ada mekanisme yang sedemikian dalam proses penyucian jiwa.

P/s: sebenarnya ada banyak lagi sebab lain. Tapi nanti kena cerita pasal wahdatul wujūd pula dah. Susah lah panjang². Haha.

https://www.facebook.com/AbuRadhiah94/posts/1434999859865480

Wednesday, February 22, 2017

Empat Tingkatan Manusia

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu mengatakan:
"Terdapat empat jenis manusia: Pertama, manusia yang tak berlidah dan tak berhati. Mereka adalah manusia biasa, bodoh, dan hina. Mereka ini tak pernah ingat kepada Allah. Tak ada kebaikan dalam diri mereka. Mereka ini bagai sekam yang tak berbobot jika Allah tak mengasihi mereka, membimbing hati mereka kepada keimanan pada-Nya.

Karena itu, waspadalah jangan menjadi seperti mereka. Ini adalah manusia-manusia sengsara dan dimurkai oleh Allah. Mereka adalah penghuni neraka. Mari berlindung kepada Allah dari mereka.

Hiasilah dirimu dengan makrifat. Jadilah guru kebenaran, pembimbing ke jalan agama, menjadi pemimpin dan penyeru agama. Ingatlah, kau harus mengajak mereka taat kepada Allah dan memperingatkan mereka akan dosa.

Kedua, manusia berlidah, tapi tak berhati. Mereka berkata bijak, tapi tak berbuat bijak. Mereka menyeru orang kepada Allah SWT, tapi mereka sendiri menjauh dari-Nya. Mereka jijik terhadap noda orang lain, tapi mereka sendiri tenggelam dalam lautan noda.

Karena itu, menjauhlah dari mereka agar kau tak terseret oleh manisnya lidah mereka, yang kelak api dosanya membakarmu, lalu kebusukan hatinya akan membinasakanmu.

Ketiga, manusia berhati tapi tak berlidah. Mereka adalah Mukmin yang telah diberkahi, diberi pengetahuan tentang noda-noda dirinya, dikaruniai hati yang mencerahkan, dan menyadari mudaratnya bergaul dengan manusia, kekejaman dan kekotoran lidah, dan meyakini bahwa keselamatan manusia ada pada sikap diam. Sebagaimana sabda Nabi, "Barangsiapa selalu diam, maka ia memperoleh keselamatan." (HR Ahmad dan At-Tirnidzi)

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya pengabdian kepada Allah terdiri dari sepuluh bagian, dan yang sembilan bagian dari itu adalah sikap diam."(HR Ibnu Abi Dunya)

Hunad Ibn As-Sari dalam kitab Az-Zuhud meriwayatkan hadis dari Abu Dzar Al-Ghifari, Rasulullah SAW bersabda, "Belumkah aku beritahukan pada kalian ihwal ibadah paling ringan dan enteng bagi badan? (ia adalah) diam dan berakhlak baik."

Mereka adalah para wali Allah, yang dalam rahasia-Nya tersembunyi, dilindungi, diberkahi dan dirahmati-Nya.

Karena itu, kau harus mencari, mendekati dan berguru kepada orang-orang mulia ini. Layanilah dan cintailah mereka.

Keempat, manusia yang berlidah dan berhati. Mereka adalah orang-orang yang diundang ke dunia gaib, yang dibalut pakaian kemuliaan, hal seperti yang disebut dalam Hadis, "Barangsiapa yang mengetahui dan bertindak sesuai pengetahuannya dan memberikannya kepada orang lain, maka dia akan diundang ke dunia gaib dan menjadi mulia." (HR An-Nasa'i)

Mereka ini adalah orang 'alim yang memiliki pengetahuan tentang Allah dan tanda-Nya. Hatinya menjadi penyimpan pengetahuan yang langka tentang-Nya, dan Dia menganugerahkan kepadanya rahasia-rahasia yang disembunyikan-Nya dari yang lain. Dia memilihnya, mendekatinya, membimbingnya, memperluas hatinya agar bisa menampung rahasia dan pengetahuan hingga menjadikanya pekerja di jalan-Nya, penyeru hamba-hamba-Nya kepada kebajikan, pengingat akan siksaan perbuatan-perbuatan keji dan menjadi hujjatullah di tengah mereka.

Mereka menjadi pemandu, pembimbing, perantara, seorang shiddiq dan saksi Al-Haqq, wakil para nabi, dan pilihan Allah.

Maka, orang semacam ini berada pada puncak tertinggi tingkatan manusia. Tak ada maqam di atas ini, kecuali maqam para nabi. Adalah kewajibanmu untuk mentaati mereka, dan jangan sekali-kali memusuhinya. Sungguh keselamatan terdapat pada ucapan dan kebersamaan dengan mereka.

-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Adb as-Suluk wa at-Tawasul ila Manazil al-Muluk

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1239107786139153:0

Bagaimana Saudi Menjadi Penjaga Dua Kota Suci

Raja Salman melawat Malaysia. Mungkin ada yang tertanya-tanya dari mana datangnya gelaran Raja Saudi yang berbunyi "Penjaga Dua Kota Suci" (Khadim Al-Haramayn Al-Sharifatayn, خادم الحرمين الشريفين). Siapa yang beri? Sejak bila ia diguna pakai?

Raja Saudi pertama yang memakai gelaran tersebut ialah Raja Fahd (1982-2005), dan diteruskan oleh Raja Abdullah (2005-2015) dan Raja Salman (2015-kini). Walaupun keluarga Banu Al-Saud telah menguasai dua kota suci (Makkah dan Madinah) sejak tahun 1924, namun hanya sehingga tahun 1986 baru Raja Fahd memakai gelaran tersebut, menggantikan gelaran Yang Mulia (Shahib al-Jalalah, صاحب الجلالة).

Tujuannya adalah untuk menonjolkan imej Raja Saudi sebagai pembela Islam, demi memperkukuhkan kedudukannya yang semakin terancam dengan pelbagai peristiwa. Antaranya peristiwa Rampasan Masjidil Haram pada tahun 1979 di mana golongan radikal mencabar keabsahan kuasa raja, pemberontakan Syiah pada tahun 1980 di wilayah Al-Hasa timur Arab Saudi, dan juga kemunculan pemimpin karismatik seperti Ruhollah Khomeini dan Saddam Hussein yang mencabar pengaruh geopolitik Saudi. Pada masa yang sama, golongan agamawan konservatif Saudi juga kurang berpuas hati dengan Raja Fahd yang dilihat “liberal” dan pro-Barat.

king_of_arab_16992034_10206342203353568_5838849489013847166_o

Gelaran Penjaga Dua Kota Suci ini sebenarnya muncul pada abad ke-12. Ia merupakan gelaran yang dipakai oleh Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (atau Saladin) yang berjaya mempertahankan dua kota suci daripada serangan Tentera Salib di bawah pimpinan Raynald semasa tahun 1183. Namun pada tahun 1201, Qatada ibn Idris dari golongan “sharif” (keturunan Sayyidina Hasan ibn Ali) telah menguasai dua kota suci. Keturunan Qatada (Banu Qatada) menjadi pemerintah dua kota suci sehingga tahun 1925. Setelah kejatuhan Khilafah Abbasiyyah di Baghdad pada tahun 1258, gelaran Penjaga Dua Kota Suci turut dipakai oleh Sultan Mamluk di Mesir yang menjadi penaung Banu Qatada,.

Selepas Sultan Salim dari Turki Uthmaniyyah mengalahkan tentera Mamluk pada tahun 1517, Sharif Abu Numayy ibn Barakat telah mengunjungi Salim dan bai'ah kepadanya yang kini menjadi Khalifah Islam yang baru. Sharif cuba mengambil hati Salim dengan menamakan beliau “Pemilik Dua Kota Suci” (Hakimul Haramayn), namun Salim menolak dan mengekalkan gelaran “Khadimul Haramayn”. Maka gelaran itu lekat pada Khulafa' Uthmaniyyah.

Keluarga Sharif dibenarkan terus memerintah Hijaz di bawah Uthmaniyyah.

Kerajaan Uthmaniyyah menjadi semakin lemah semasa Sharif Hussein ibn Ali Al-Hashimi menjadi pemerintah Hijaz (1908-1924). Disebabkan penguasaan dua kota suci dilihat sebagai simbol malah syarat Khilafah, maka hati Sharif Hussein mula berjinak-jinak ingin menggantikan kedudukan Uthmaniyyah. Pada tahun 1915, ketika Perang Dunia Pertama berlangsung, Sharif Hussein telah memeterai kerjasama dengan British untuk menjatuhkan Uthmaniyyah. Sebagai balasan, British berjanji akan menyokong Sharif menjadi Khalifah baru. (kisah lanjut boleh baca di post lama saya di sini: http://lisanalam.blogspot.com/2016/10/tanpa-naungan-khalifah.html)

Namun pada masa yang sama, British juga memeterai Perjanjian Darin dengan ketua kabilah Banu Al-Saud yang bernama Abdul Aziz ibn Abdul Rahman Al-Saud. Keluarga Banu Al-Saud ini berasal dari padang pasir Najd berpusat di Riyadh, dan mereka membawa satu misi yang luar biasa. Pada tahun 1744, moyang Abdul Aziz iaitu Muhammad ibn Saud telah membentuk satu pakatan dengan Muhammad ibn Abdul Wahhab untuk sama-sama memajukan dan menyebarkan fahaman yang dikenali sebagai Wahhabiyyah. Muhammad ibn Abdul Wahhab melihat Makkah dan Madinah ketika itu penuh dengan syirik dan bid'ah pemujaan kubur (katanya), jadi hasratnya adalah untuk “membersihkan” dua kota suci daripada “kemungkaran”.

Banu Al-Saud pernah menyerang Hijaz dan menguasai dua kota suci dari tahun 1803 hingga 1814, namun mereka telah dikalahkan oleh Uthmaniyyah. Abdullah, amir Banu Al-Saud, telah dihukum bunuh oleh Uthmaniyyah pada tahun 1818. Kebencian Banu Al-Saud terhadap Uthmaniyyah menjadikan mereka sekutu idaman British. British memberi bantuan kepada Banu Al-Saud untuk mengalahkan Banu Rashid yang merupakan sekutu Uthmaniyyah. Banu Al-Saud berjaya menguasai Najd dan Abdul Aziz mengisytiharkan diri sebagai Sultan pada tahun 1921.

Selepas Perang Dunia tamat pada 1918, baru Sharif Hussein sedar beliau telah ditipu oleh British. British sebenarnya cuma mahu menjatuhkan Uthmaniyyah untuk memudahkan pembinaan Israel dan memperkukuhkan lagi kedudukan Empayar British. Janji terhadap Sharif Hussein dicapati. Namun Sharif Hussein masih mahu menjadi Khalifah. Seminggu selepas Turki membubarkan Khilafah Uthmaniyyah pada 3 Mac 1924, Sharif Hussein mengisytiharkan diri sebagai Khalifah dan mencabar kedudukan British di Tanah Arab. British “fed up” dengan Sharif Hussein, maka ia memberi sokongan penuh kepada Abdul Aziz untuk memerangi Sharif Hussein.
Tanggal 13 Oktober 1924, Abdul Aziz berjaya menawan Makkah. Madinah turut jatuh ke tangan Banu Al-Saud pada 12 Disember 1925. Tentera Banu Al-Saud mengganas di Ta'if, menyembelih penduduk tempatan. Dikatakan Mufti Mazhab Syafi'i di Mekah, Syeikh Abdullah Az-Zawawi turut ditembak mati oleh tentera Banu Al-Saud. Pada 8 Januari 1926, Abdul Aziz mengisytiharkan diri sebagai Raja Hijaz. Pada 21 April 1926, kompleks makam Jannatul Mu'alla (Makkah) dan Jannatul Baqi' (Madinah) yang mengandungi makam-makam ahli keluarga dan para sahabat Rasulullah diratakan, atas nama membanteras syirik dan bid'ah. Kekacauan yang luar biasa menyebabkan urusan haji tergendala. Pengutusan Haji Abdul Majid bin Zainuddin, Pesuruhjaya Haji Negeri-Negeri Selat ke Haramayn turut ditangguhkan.

Pada tahun 1927, Abdul Aziz dan British menandatangani Perjanjian Jeddah bahawa kerajaannya tidak akan kacau sempadan Yaman, Oman dan emiriah-emiriah Teluk yang merupakan jajahan British. Ya, sekutu macam inilah British mahu, bukan jenis degil seperti Sharif Hussein. Pada 23 September 1932, Abdul Aziz menamakan wilayah taklukannya, yang merangkumi Hijaz dan Najd, sebagai “Saudi Arabia”. Keturunan Muhammad ibn Abdul Wahhab dikenali sebagai Aal Al-Sheikh (آل الشيخ‎‎) dan masih menjawat jawatan penting seperti Mufti Besar Arab Saudi.

Itulah cara Saudi menjadi Penjaga Dua Kota Suci.

Bacaan lanjut:
Clive Leatherdale (1983), Britain and Saudi Arabia, 1925-1939: The Imperial Oasis.
Haifa Alangari (1998), The Struggle for Power in Arabia: Ibn Saud, Hussein and Great Britain 1914-1924.
James Wynbrandt (2014), A Brief History of Saudi Arabia.

https://www.facebook.com/ayman.rashdan.wong/posts/10206342222794054

Saturday, February 18, 2017

Kitab Al Ibanah'an Usul al Diyanah Bukan Penulisan Imam Abu Hasan Al Asy'ari!


Kunjungan ke Maghribi dipenuhi dengan mengunjungi Maktabah Diraja Maghribi. MasyaalLah dipenuhi manuskrip lama bernilai jutaan ringgit. Khazanah yang tidak ternilai dengan wang ringgit sebenarnya. Maktabah ini sebahagian kawasan istana, jadi tak boleh ambil gambar.

Sempat berjumpa Dr Khalid Zahri, penjaga manuskrip Maktabah Diraja Maghribi dan kami dijemput makan malam di rumahnya. Beliau pakar "Kodekologi Dan filologi", iaitu suatu ilmu yang sefaham saya, ilmu pasal manuskrip dan melihat peristiwa di sekitar manuskrip.

Saya sempat bertanya pasal kitab Al-Ibanah an Usul al-Diyanah yg dinisbahkan kpd imam Abu Hasan al-Asy'ari. Beliau menghuraikan terdapat 3 pandangan, iaitu
1) memperakui kitab tersebut dr Imam Abu Hasan;
2) memperaku tetapi mengatakan ada tangan jahat mengubah nas kitab tersebut
3) menolak kitab tu tulisan Imam Abu Hasan.

Dr Khalid Zahri berpandangan pandangan yang ke 3, iaitu kitab tersebut bukan tulisan Abu Hasan Al-asy'ari.

Lantas ana tanya bahawa Ibn Asakir (wafat 571H) nisbahkan pd Imam Asyari. Tenang beliau berkata bahawa Ibn Asakir ahli Sejarah, kurang mementingkan riwayat. Dia bukan ulama hadis yg mendalam nukilannya.. ada ulama sezaman iaitu ulama hadis iaitu Qadi Iyadh (wafat 544H) menisbahkan kitab al-Ibanah kpd abu Marwan al Malik al-Sa'di seorang Hasyawiyah Hanabilah. Abu Marwan tu wafat 330H, manakala Abu Hasan al-Asy'ari wafat 324H. Namun nama kitab al-Ibanah tulisan Abu Marwan menggunakan perkataan "في" dan bukan "عن".

Golongan awal ulama tabaqat tidak menisbahkan kitab tersebut kepada Imam Abu Hasan.

Lps tu Dr Khalid berkata..cerdiknya tazwir (penipuan) kitab tu ialah muqaddimah ibanah dan pengakhirannya dimasukkan kandungan kitab al-Luma' yang sahih karangan Imam Al -Asy'ari.

Manakala di tengah- tengahnya digodak dengan idea Hasyawiyah mujassimah.

Bukti al-Ibanah bukan kitab Imam Abu Hasan ialah dlm kitab Ibanah ada 33 tempat takfir, sdgkan Abu Hasan al-Asy'ari terkenal tidak kafirkan ahlu kiblat.

Dalil ke 2, Imam Abu Hasan berterusan dikutuk oleh golongan Hasyawiyah Mujassimah zaman berzaman.

Dalil ke 3, bab qadim al-quran dlm Ibanah menyalahi ASWJ. Dan banyak dalil lagi.

Lama saya tawaqquf pasal kitab Al-Ibanah ini. Ini penjelasan paling tenangkan jiwa saya.

Allahu al-Musta'an.

https://www.facebook.com/asmadi.mohamednaim/posts/1266300600104328

Tuesday, February 14, 2017

Renungan Malam Penerang Jiwa

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Ketika kalbu bertindak sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi., maka ia menjadi dekat kepada Rabb-nya. Dan, ketika ia telah dekat, maka ia akan memperoleh pengetahuan. Kini kalbu dapat membedakan mana yang benar-benar menjadi milik-Nya dan apa yang dituntut darinya; apa yang menjadi milik Allah dan apa yang menjadi milik selain-Nya; apa yang termasuk kebenaran (haqq) dan apa yang termasuk kebatilan. Sebab, seorang Mukmin dianugerahi cahaya yang dengannya dia bisa melihat, demikian pula halnya dengan sang penjuang kebenaran yang dekat dengan Allah (ash-shiddîq al-muqarrab).

Orang Mukmin memiliki cahaya yang dengannya dia bisa melihat, dan itulah sebabnya Nabi SAW memperingatkan kita agar berhati-hati terhadap firasat orang Mukmin. Beliau bersabda, “Berati-hatilah terhadap firasat seorang Mukmin, sebab dia melihat dengan cahaya Allah.”
Orang yang ʽarîf dan dekat (kepada Allah) juga diberi cahaya yang dengannya dia dapat melihat betapa dekatnya Tuhannya yang Maha Kuasa dengan kalbunya. Dia dapat melihat ruh-ruh (arwâh), para malaikat dan para nabi, dapat melihat kalbu dan ruh-ruh para pejuang kebenaran (shiddîqîn).

Dia bisa melihat keadaan-keadaan spiritual (ahwâl) dan kedudukan-kedudukan (maqâmat). Semua ini berada dalam lipatan-lipatan terdalam kalbuya (suwaidâ’ qalbihi) dan kejernihan wujud terdalamnya (sirr). Dia selalu berada dalam kebahagiaan bersama Rabb-nya Yang Maha Kuasa dan Maha Agung. Dia adalah perantara, yang menerima dari-Nya dan membagi-bagikan kepada manusia.

Ada orang-orang yang berilmu (ʽâlim) dengan lidah maupun kalbunya, sementara sebagian orang berilmu dalam kalbunya saja, tetapi kikuk dengan lidahnya. Mengenai orang munafik, dia pandai dengan lidahnya, namun tidak sesuai dengan kalbunya. Semua ilmunya hanya pada lidahnya saja, dan itulah sebabnya Nabi SAW bersabda, “Apa yang paling kutakutkan atas umatku adalah seorang munafik dengan lidah yang pandai.”

Wahai anak muda! Apabila engkau datang ke hadapaku, engkau harus membungkus kegiatan pribadimu dan kepedulian-kepedulianmu yang egois. Engkau harus masuk tanpa membawa apa-apa, seperti seorang yang sama sekali bangkrut (muflis). Jika engkau datang ke sini sementara engkau masih memikirkan pekerjaanmu dan kepentinganmu, engkau akan terhalang dari menerima petunjuk yang kusampaikan. Celakalah engkau! Engkau membenciku karena aku mengatakan kebenaran dan menghadapkanmu pada kebenaran. Tak seorang pun yang membenciku kecuali musuh Allah, dan tak seorang pun mengabaikan aku kecuali dia jahil terhadap Allah, suka banyak bicara dan sedikit beramal. Tak seorang pun mencintaiku kecuali dia sadar akan Allah, banyak beramal dan sedikit bicara.

Orang yang tulus (mukhlish) akan mencintaiku dan orang yang munafik akan membenciku. Aku dicintai para pengikut Sunnah Nabi SAW dan aku dibenci oleh kaum yang lebih suka mengikuti bidʽah. Jika engkau mencintaiku, manfaat dari semua ini akan datang kepadamu. Tetapi, jika engkau membenciku, maka efeknya kepadamu akan merusak. Aku tidak terjerat oleh pujian dan celaan sesama makhluk.

Tidak ada satu spesies apa pun di muka bumi yang kutakuti atau yang kepadanya kutanamkan harapan-harapanku, baik ia itu salah satu dari bangsa jin ataupun anggota ras manusia, baik binatang ataupun serangga ataupun jenis makhluk yang lain. Aku tidak takut kepada siapa pun kecuali Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung. Semakin banyak Dia menganugerahiku anugerah-Nya yang penuh berkah, semakin besar rasa takutku, sebab Dia: “Melakukan apa yang dikehendaki-Nya” (QS Hûd (11) :107). “Dia tidak akan ditanyai tentang apa yang diperbuat-Nya, tetapi merekalah yang akan ditanyai,” (QS Al-Anbiyâ ( 21) :23)

Wahai anak muda! Janganlah berkonsentrasi pada mencuci pakaian jasadmu, sementara pakaian kalbumu kotor. Engkau berada dalam keadaan kotor. Engkau harus mencuci kalbu terlebih dahulu, kemudian baru mencuci pakaianmu yang biasa. Engkau harus melaksanakan kedua tindak pencucian itu. Cucilah pakaianmu dari kotoran, dan cucilah kalbumu dari dosa-dosa!
Engkau tidak boleh membiarkan dirimu silau oleh apa pun, sebab Tuhanmu “melakukan apa yang dikehendaki-Nya” (QS 11:107).

Itulah sebabnya diceritakan sebuah kisah tentang seorang saleh, bagaimana suatu ketika ia mengunjungi saudaranya seiman kepada Allah. “Wahai saudaraku,” katanya kepada saudaranya itu. “Marilah kita menangis atas pengetahuan Allah tentang kita!”

Alangkah bagusnya ucapan orang saleh ini! Dia adalah orang yang memiliki pengenalan (‘ârîf) tentang Allah dan telah mendengat kata-kata Nabi SAW: “Salah seorang di antara kalian mungkin beramal dengan amalan ahli surga, sampai tak ada jarak antara dia dan surga itu kecuali satu jengkal saja, kemudian kemalangan menimpanya dan dia menjadi salah seorang penghuni neraka, sampai tak ada jarak antara dia dan neraka kecuali satu jengkal saja, kemudian keberuntungan mengenainya dan dia menjadi salah seorang penghuni surga.”

Pengetahuan Allah tentang dirimu hanya akan tampak kepadamu manakala engkau berpaling lagi kepada-Nya dengan segenap hati dan aspirasimu, manakala engkau tidak pernah menjauhi pintu rahmat-Nya, manakala engkau memasang penghalang dari besi antara hatimu dan nafsu badaniahmu, dan manakala engkau menjadikan maut dan kuburan sebagai titik pusat perhatian bagi mata kepala dan mata hatimu.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1231468786903053:0

Saturday, February 11, 2017

Golongan Ruwaibidhoh

Adakah kita termasuk golongan Ruwaibidhoh?

Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunannya :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan.

يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ
Ketika itu pendusta dianggap orang yang benar sedangkan orang yang jujur pula didustakan,

وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ
pengkhianat dianggan orang yang amanah sedangkan orang yang amanah pula dianggap sebagai pengkhianat.

وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ
Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.”

قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ
Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”.

قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
Beliau menjawab, “Orang lekeh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.”

(HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Sahihah [1887] as-Syamilah).

~~~~~~~~~~

Pada saat ini, betapa ramai orang yang berbicara mengenai agama tanpa ilmu yang sahih. Lihat sahaja di Facebook, betapa ramai juga yang memberi komentar-komentar berkenaan agama sesuka hati tanpa mengetahui dan mengenal pasti apa yang benar dan apa yang salah.

Sewajarnya pada era fitnah ini, kita berbalik kepada para alim ulama' untuk menuntut ilmu untuk diamalkan dalam hidup. Bukan menyibukkan diri dengan isu-isu yang kurang membawa faedah kepada diri dan ummah. Semoga kita semua dilindungi daripada menjadi golongan Ruwaibidhoh.

Channel Telegram K-Fiqh

https://www.facebook.com/BalaiIslamKK8/posts/934423306625820

Thursday, February 2, 2017

Belajar Makrifatullah Dari Imam Al Qusyairi



Imam Al-Qusyairi menjelaskan:

Abu Bakar al-Syibli pernah berkata demikian, “Allah adalah Dzat Yang Esa yang telah dikenal sebelum ada batasan dan huruf. Maha Suci Allah yang tidak ada batasan bagi-Nya dan tidak ada huruf bagi kalam-Nya.”

Imam Ruwaim bin Ahmad pernah ditanya tentang kewajiban pertama yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya. Beliau menjawab, “Ma’rifat.” Hal itu didasarkan pada firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات: 56)
"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku” (QS. Al-Dzariyat: 56)

Ibnu Abbas menafsirkan frasa “illa Liya’ buduun” (kecuali untuk menyembah-Ku) dengan “Illa Liya’rifun” (artinya, kecuali untuk berma’rifat).

Imam al-Junaid berkata, “Sesungguhnya, kalam hikmah pertama yang dibutuhkan seorang hamba adalah, ciptaan mengetahui siapa Penciptanya dan makhluk yang tercipta bagaimana proses penciptaannya. Kemudian mengetahui sifat Pencipta dan sifat ciptaan-Nya. Sifat yang membedakan Dzat Yang Tak Bermula dari sifat makhluk yang memiliki permulaan. Menurut pada seruan-Nya dan mengakui kewajiban taat kepada-Nya. Orang yang tidak mengenal rajanya, tidak akan mengakui kerajaan itu harusnya dimiliki siapa.”

Abu Thayib al-Maraghi berkata, “Akal memiliki petunjuk, hikmah memiliki kekuatan isyarat, dan ma’rifat memiliki kesaksian. Akal menunjukkan (dengan kekuatan logika), hikmah memberikan isyarat (halus), sedangkan ma’rifat memberikan kesaksian bahwa kemurnian ibadah tidak dapat diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid.

Imam al-Junaid ditanya tentang tauhid. Beliau mengatakan, tauhid berarti meyakini keesaan Dzat Yang Diesakan dengan berusaha mewujudkan keyakinan tauhid yang benar dengan kesempurnaan keesaan-Nya. Bahwa sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Pengesaan-Nya juga dengan cara meniadakan segala sesuatu yang berlawanan, menyamai dan menyerupai. Tanpa tasybih (penyerupaan), tanpa bertanya bagaimana, tanpa penggambaran, tanpa permisalan. Tak satu pun di semesta alam ini yang menyamai-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar dan Melihat.

Pendapat itu tak beda jauh dengan hasil renungan Abu Bakar al-Zahir Ubadi. Menurutnya, ma’rifat adalah nama. Artinya adalah adanya rasa pengagungan terhadap Tuhan dalam hati yang dapat mencegahmu bersikap ta’thil (mengingkari sifat-sifat Tuhan) dan tasybih (menggambarkan Tuhan sama dengan makhluk).

—Risalah Al-Qusyariyah, Imam Al-Qusyairi An-Naisaburi