Friday, March 31, 2017

Ibadah Harus Disertai Ilmu



Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:
“Berbahagialah orang yang mengakui nikmat Allah SWT di hadapan-Nya dan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada-Nya. Lalu, dia juga melepaskan dirinya dari segala sebab dan kekuatan dirinya. Orang yang berakal adalah orang yang tak pernah menghitung-hitung amalnya kepada Allah SWT dan tidak mengharap balasan dari-Nya dalam segala hal.

Sungguh celaka, jika engkau beribadah kepada Allah SWT tanpa disertai ilmu, engkau bersikap zuhud tanpa ilmu, dan engkau mengambil dunia tanpa ilmu.. Itulah sesungguhnya hijab dalam hijab, murka dalam murka. Engkau tak mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Engkau tak mampu memisahkan apa yang bermanfaat bagimu dan apa yang membahayakan dirimu.


Ingatlah bahwa semua itu adalah akibat dari kebodohan dirimu terhadap hukum Allah. Sebab engkau telah meninggalkan sikap berbakti kepada para guru, guru amal dan guru ilmu, yang menunjukkan jalan kepada Allah. Engkau telah menjadikan berbicara sebagai nomer satu, sedangkan beramal sebagai nomer dua. Padahal, dengan amal kalian sampai (wushul) kepada Allah SWT.

Tidaklah akan sampai orang yang ingin mencapai sesuatu kecuali dengan ilmu, dengan sikap zuhud dalam perkara dunia, serta berpaling dari dunia, baik hati dan badannya. Orang yang bersikap zuhud akan mengeluarkan dunia dari tangannya. Orang yang zuhud yang kuat dalam kezuhudannya akan mengeluarkan dunia dari hatinya. Mereka zuhud dalam perkara dunia dengan hatinya sehingga sikap zuhud menjadi watak mereka, lahir dan batin. Pada saat itu, padamlah api tabiatnya, pecahlah hawa nafsunya, tenahlah jiwanya, dan dia terhalang dari keburukan.”

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani

https://www.facebook.com/tasawufunderground/photos/a.302931509756790.65694.302548766461731/1275190819197516/?type=3

Al Riya` - Siri 3

Siri 1

Siri 2


Siri: 3 : TINGKATAN KEJAHATAN RIYAK

Pada siri lepas, Atok dah senaraikan ENAM JENIS perkara yang diriyakkan oleh seseorang hamba, ringkasnya;

1. Tubuh-badan
2. Kelakuan
3. Pakaian
4. Tutur-kata
5. Amal ibadat
6. Murid, Guru, Taulan, Pengikut

Maka inilah perhimpunan perkara yang diriyakkan oleh orang-orang yang riyak! Kesemua mereka yang riyak, MEMPERGUNAKAN perkara tersebut, untuk MENCARI KEMEGAHAN & KEDUDUKAN DI HATI MANUSIA!

Namun, kemegahan dan kedudukan yang dicari itu, berbeza-beza hujung matlamatnya. Perbezaan ini menatijahkan beberapa TINGKATAN RIYAK YANG KEJI. Antaranya;

1. Hanya hendak DISANGKA BAIK. Maka jika dia mengetahui bahawa dirinya disangka baik di sisi masyarakat, dia gembira. Tetapi jikalau dia dicela, dituduh melakukan kesalahan dosa, dia berasa tidak tenang! Dia akan berusaha sedaya upaya membersihkan nama baiknya daripada tuduhan tersebut. Dia hanya MAHUKAN NAMA BAIK DI HATI ORANG, dia bukan mahukan harta! Inilah darjat riyak paling rendah.

2. Tidak cukup dengan hanya nama baik di hati orang, bahkan mahukan PUJIAN & SANJUNGAN DI LIDAH MANUSIA.

3. Tidak cukup dengan pujian, bahkan mahukan KEMASYHURAN serata dunia, supaya menjadi tumpuan ramai, serta dikunjungi manusia pelusuk benua. Ini dalam istilah Atok, GILO PUBLISITI & POPULARITI!

4. Tak cukup dengan #3, bahkan mahukan KEMASYHURAN DI SISI RAJA, PEMERINTAH, KERAJAAN, supaya pendapat jua rekomendasinya diterima, hajat-hajat manusia diperkenankan melaluinya, maka dia memperolehi KEMEGAHAN di khalayak umum.

5. MEMANIPULASIKAN #1, #2, #3, #4, sebagai batu loncatan bagi menghasilkan dan menghimpunkan HARTA BENDA & KEMEWAHAN DUNIA, walau apa cara sekalipun, hatta dari sumber harta wakaf, harta anak-anak yatim dan lain-lain lagi sumber yang haram!

Nah! inilah TINGKATAN KEJAHATAN PE'RIYAK'. Mereka mempergunakan Agama, untuk mendapatkan dunia! Merekalah yang menjual Agama, pada kadar harga Dunia!

Mungkinkah 'mereka' itu 'KITA' ?

Na'uzubiLlāh!

Wednesday, March 29, 2017

Meraih Rahmat Dengan Selawat Nabi

Al-Qadhi Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Husaini r.a berkata,”Ibnu ‘Atha’ berkata : ‘Doa memiliki rukun-rukun tertentu, sayap-sayap, sebab-sebab, dan waktu-waktu khusus. Jika memenuhi rukun-rukunnya doa itu akan menjadi kuat, jika ia memiliki sayap-sayap ia akan terbang ke langit, jika tepat waktunya ia berjalan terus. Dan jika memenuhi sebab-sebab, doa itu akan terkabulkan.

Rukun-rukun doa adalah hati yang khusyuk, konsentrasi, lembut, pasrah diri, bergantung sepenuhnya kepada Allah, dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada faktor apapun. Sayap-sayap doa adalah ketulusan dan kejujuran. Waktu berdoa adalah di malam hari. Sebab-sebabnya adalah membacakan shalawat atas Nabi Saw.”

Dalam kitab Al-Ausath, Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda,”Semua doa tertolak, kecuali dia membaca shalawat untuk Muhammad dan keluarganya.” Dan Ali bin Abu Thalib r.a berkata,”Setiap doa pasti terhalangi oleh sebuah tabir antara pemohon doa dan Allah. Kecuali orang itu membaca shalawat, maka tabir itu akan terbakar, dan doa itu pun bisa menembusnya. Jika orang itu tidak membaca shalawat, maka doanya akan terpental.”

Dalam Asy-Syifa, Ibnu Mas’ud r.a berkata,”Jika di antara kalian ada yang mengharapkan sesuatu dari Allah, maka hendaklah memulai doanya dengan puja dan puji kepada-Nya, disusul dengan membaca shalawat atas Nabi-Nya, baru kemudian menyampaikan hajatnya. Yang demikian ini lebih berpeluang besar untuk terkabulkan.”

Kesimpulannya, shalawat dapat mendatangkan pencerahan, rahasia, membersihkan batin dari segala jenis kotoran; yang mesti dibaca oleh para pemula, orang-orang yang memiliki banyak hajat, dan orang-orang yang sudah mencapai puncak perjuangan. Salik thalib, murid muqarrib, dan arif washil, mereka semua sama-sama membutuhkan shalawat.

Seorang seorang penuntut ilmu kita membutuhkan shalawat untuk peningkatan diri; seorang murid untuk bimbingan diri; dan seorang arif membutuhkan shalawat untuk membuatnya fana‘.
Dalam hal ini, shalawat dibutuhkan seorang salik untuk membantunya dalam menempuh perjalanan atau suluk, shalawat dibutuhkan oleh murid untuk menghilangkan keraguan dalam dirinya, dan dibutuhkan oleh ‘arif untuk berkata begini : “Inilah Engkau, Raja-Diraja.” Shalawat membuat seorang salik mencintai amal perbuatan, membuat seorang murid meraih ahwal, dan membuat seorang ‘arif semakin kokoh berpijak pada maqam al-Inzal.

Selain itu, shalawat menjadikan seorang salik mendapatkan cahaya, shalawat membuat seorang murid memperoleh ‘ibarah, dan shalawat membuat penyaksian seorang ‘arif semakin bertambah; atau shalawat membuat seorang salik mampu berjalan, membuat seorang murid dipancari sinar-sinar, dan membuat seorang ‘arif semakin mesra dalam perjumpaan (bersama Allah); atau boleh jadi, shalawat membuat seorang salik memperoleh cahaya yang berlipat-lipat, membuat seorang murid dicurahi rahasia-rahasia gaib, dan membuat seorang ‘arif merasa tak ada bedanya antara siang dan malam; atau boleh dikatakan bahwa shalawat membuat seorang salik semakin bersemangat, menjaga seorang murid dari kemunduran dalam beramal, dan menjadikan seorang ‘arif semakin sederhana dalam berakhlak; atau, shalawat membuat seorang salik semakin mantap, membuat seorang murid sampai pada dunia gaib Al-Malakut.

Dapat pula dikatakan bahwa shalawat membuat seorang salik ingin merasakan nikmatnya perjumpaan, menjanjikan seorang murid dengan perjumpaan itu sendiri, dan membuat seorang ‘arif semakin yakin dan nyata dalam perjumpaannya.”

---Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam As-Safinah Al-Qadiriyyah

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1273671032682828:0

Tuesday, March 28, 2017

Kisah Ulama Berhaji Tanpa ke Tanah Suci



Perjalanan haji Abdullah bin Mubarak ke Tanah Suci terhenti kala ia sampai di kota Kufah. Dia melihat seorang perempuan sedang mencabuti bulu itik dan Abdullah seperti tahu, itik itu adalah bangkai.

"Ini bangkai atau hasil sembelihan yang halal?" tanya Abdullah memastikan.

"Bangkai, dan aku akan memakannya bersama keluargaku."

Ulama hadits yang zuhud ini heran, di negeri Kufah bangkai ternyata menjadi santapan keluarga. Ia pun mengingatkan perempuan tersebut bahwa tindakannya adalah haram. Si perempuan menjawab dengan pengusiran.

Abdullah pun pergi tapi selalu datang lagi dengan nasihat serupa. Berkali-kali. Hingga suatu hari perempuan itu menjelaskan perihal keadaannya.

"Aku memiliki beberapa anak. Selama tiga hari ini aku tak mendapatkan makanan untuk menghidupi mereka."

Hati Abdullah bergetar. Segera ia pergi dan kembali lagi bersama keledainya dengan membawa makanan, pakaian, dan sejumlah bekal.

"Ambilah keledai ini berikut barang-barang bawaannya. Semua untukmu."

Tak terasa, musim haji berlalu dan Abdullah bin Mubarak masih berada di Kufah. Artinya, ia gagal menunaikan ibadah haji tahun itu. Dia pun memutuskan bermukim sementara di sana sampai para jamaah haji pulang ke negeri asal dan ikut bersama rombongan.

Begitu tiba di kampung halaman, Abdullah disambut antusias masyarakat. Mereka beramai-ramai memberi ucapan selamat atas ibadah hajinya. Abdullah malu. Keadaan tak seperti yang disangkakan oran-orang. "Sungguh aku tidak menunaikan haji tahun ini," katanya meyakinkan para penyambutnya.

Sementara itu, kawan-kawannya yang berhaji menyuguhkan cerita lain. "Subhanallah, bukankah kami menitipkan bekal kepadamu saat kami pergi kemudian mengambilnya lagi saat kau di Arafah?"

Yang lain ikut menanggapi, "Bukankah kau yang memberi minum kami di suatu tempat sana?"

"Bukankah kau yang membelikan sejumlah barang untukku," kata satunya lagi.

Abdullah bin Mubarak semakin bingung. "Aku tak paham dengan apa yang kalian katakan. Aku tak melaksanakan haji tahun ini."

Hingga malam harinya, dalam mimpi Abdullah mendengar suara, "Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji." Demikian diceritakan kitab An-Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qulyubi. (Mahbib)

http://www.nu.or.id/post/read/67749/kisah-ulama-berhaji-tanpa-ke-tanah-suci

Knowledge Retreat Day 3, RIS Malaysia 2017



NOWLEDGE RETREAT DAY 3, RIS MALAYSIA 2017
MASJID WILAYAH PERSEKUTUAN, KUALA LUMPUR, MALAYSIA
8 MARCH 2017

A Limited Transcription

Shaykh Hamza Yusuf (may Allah protect him), answered on matters of:

[ ] Ahlul Halli Wal-'Aqdi, Text & Context
[ ] Islamic Education & Indigenous Scholars for Local Conditions
[ ] Civilizational Renewal
[ ] Restoration of Traditional Humanities
[ ] Brutal Honesty, but not Throwing Away The Tradition
[ ] Creativity in Studying Humanities

*

[QUESTION]
Assalamu'alaikum Shaykh.

Could you describe, in more detail, of what ahlul halli wal 'aqdi, you mentioned, what that mean.. .. the group of solution makers?

***

[ANSWER by SHAYKH HAMZA YUSUF]

Solution makers? Like, ok. So, in terms of creative thinking, one of the most important areas is fiqh, that Shaykh Abdullah Bin Bayyah has written several books now. I believe that he has put a tajdid, a renovation of working with usul al-fiqh, to address the problems of today.

One example of it was the Marrakesh Declaration, where he address the problem, of the citizenship. This idea, that non-Muslims has second-class citizenship, he made a very creative solution from the Sunnah and the Sirah, to show that a multicultural, a multireligious society was possible, honoring the people. And I think Malaysia as a case study for that. So that's an example of a creative solution, to a problem that was emerging in Iraq; where these poor people being discriminated against, with the belief by these people, that this is somehow 'Islamic'.

Slavery, have been abolished, and then Muslim signed on to all these agreements (treaties against slavery). So slavery cannot be brought back, by the flag of our Ummah. None of the ulama` went against that, so the Prophet says, '(Inna ummati) la tajtami`u `ala dalalatin... (fa idha ra'aytum al-ikhtilaf)'.. The Ummah doesn't agree on an error. And so, these idea, of taking people as concubines, as slaves (ISIS and the Iraqi Yazidis), it's just completely unacceptable. So, we need 'tahqiq al-manat', you know, when in usul al-fiqh, 'tahqiq al-manat' (and) 'takhrij al-manat'. Tahqiq al-manat, which is, realizing the suitability of ruling in a given circumstances, because you have text, and context. You have to be able to navigate both. So we have certain text, but we always have to take into consideration, the context.

So, we need to upgrade our Islamic education. All of our Islamic universities are problematic. Malaysia, I'll give you one example for Malaysia. Malaysia send students to, for instance, to Al-Azhar. Al-Azhar has been in crisis for a very long time. Al-Azhar is not going to provide creative Islamic solution, with all due respect to Al-Azhar, for the Malay conditions. You need to develop your own Islamic institutes here. ISTAC was an attempt to do that, you need to develop your own Islamic institutions here, and you need to have indigenous scholars that emerge from within your own society. You have all the tools that you need to do that, you don't need to go to other places to learn these. Arabic will always be a sine qua non (absolutely necessary) in Islamic education. Arabic can be taught in Malaysia.

There's always be a benefit that, the Arabs will always be relying on Arabs, and I believe that. Arabs, I mean, with the exception of Persians, the Arabs have always been at the forefront of transmitting the Arabic language. The Persians, developing credible grammatical studies and the great grammarians were all Persians. So, but, I really believe that, all... Turkey, has an independent Islamic tradition, they're not dependent on other places. And even though they need to be more creative, I think, in their Islamic education, they have some people like Dr Recep Şentürk, and others, that are really trying to create civilizational renewal, and so that's one area.

Another area, is restoration of traditional humanities, and liberal arts... philosophy. You have to study philosophy. Not everybody, but you have to have a segment of the society that is studying traditional metaphysics. Syed Naquib al-Attas, I mean, that was his entire desire for the ISTAC to be a place where real metaphysics could be pursued and developed. Because it doesn't stop, like in our tradition, Biology has to continue to operate. Archeology now, is deal..

If you go to Al-Azhar, and study theology, and I studied these, the same texts that they studied at Al-Azhar. They're dealing with stuffs that was done with a thousand years ago, and it's been long gone. And much of it, is, I'm being totally, brutally honest; much of it is simply a waste of time. Because we have new problems that have to be addressed, but you can't address those if you're using texts that were written, a thousand years ago, for problems that they had at their time.

And this is not, to throw away the tradition. The tradition is very important, and I do believe in the tradition. I am, somebody who is very committed to the Turath of this Ummah. But I also recognize that there are real problems with the Turath, because it hasn't continue to develop, with the problems that we have today. So, we need a much higher level of student to go into Islamic studies. We can't take the village people, that can't get into any other colleges, with no offense to village people. You need to have people that really have 1st-grade intellect that would do well in Math, Physics, and any other endeavour. You have to have them to go into Islamic studies. If you don't, you'll continue to get the results that we've been getting.

And this isn't to say that, all of the scholars are... no, we still have some brilliant scholars in our community, undeniably, and Shaykh Abdullah Bin Bayyah is a good example of that. Some of the Azharis are, they are amazing, what they know; their knowledge and their database, and things like that.

But, the creativity which comes out of studying humanities. The Arabs have not studied philosophy for a very long time, they don't study mantiq anymore, they don't, and the mantiq that they study in some of the madrasas is very simplistic, it's not the deep type of logical studies that our great scholars had at the past. By Qutbuddin Tahtani, these were giants of logic. Nasiruddin at-Tusi, Sa'aduddin at-Taftazani, these were... .

Fakhruddin ar-Razi, these were.. if you read the, Mafatih al-Ghayb, Fakhruddin says in the introduction to that book, that he knows, that a human cannot acquire the knowledge that he had in their lifetime. He was aware what he was given. These are the openings that Allah gives in certain people. But his mastery of so many subjects was just amazing. And he was a master of medicine, he argued that the heart had such a fire that God has put the lungs as a fanning system, to keep the fire. That's why when people get angry, or they get excited, they breathe quicker, to fan the heart, to cool the heart. 'Cause he said the fire of the heart was so intense, that if it didn't have the cooling system, we would explode. (Smiling) We burst into 'spontaneous combustion'. ... Tafaddhal (next question).

***

Please feel free to inform me on the corrections needed.
And thank you Sidi Abdullah Siddiq Mohd Nasir for the knowledge that you taught me today. :)

https://www.facebook.com/muhammad.ibn.abas/posts/10154644022474527

Matahari Keliling Bumi

https://www.facebook.com/bumibukansfera/posts/1871480306465064:0

Ada pengunjung BBS mencabar admin bagi hujah naqli. Dia bosan cara admin mencabar minda GE.

Baik. Ini bukti bumi tidak bergerak dan tenang. Yg bergeraknya, bulan dan matahari.

MATAHARI MENGELILINGI BUMI
SEBUAH KEPASTIAN AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH SERTA KESEPAKATAN PARA ULAMA

1. BUMI DIAM TIDAK BERGERAK
Banyak sekali dalil yang menunjukan bahwa bumi itu diam dan tidak bergerak, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan bergerak, dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”[QS. Fathir:41]
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berhentinya langit dan bumi dengan iradah-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).”[QS. Ar Ruum:25]
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap…”[QS. Al Mu’min:64]
“Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan) nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.”[QS. An Naml:61]
Ayat ini menunjukkan bumi tidak bergerak, karena seandainya bumi ini bergerak mengelilingi matahari, berarti ada pergeseran, maka bertentangan dengan ayat ini.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah : maksudnya adalah diam, tenang, tetap tidak bergerak serta tidak membuat goncangan penghuninya, karena tidak mungkin bisa dibuat hidup dengan baik…”
Berkata Imam Baghawi rahimahullah: tidak bergerak bersama penghuni
Berkata Imam Qurthubi rahimahullah: gunung-gunung bisa menahan dan mencegah bumi dari bergerak.”

Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak guncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk,”[QS. An-Nahl:15]
“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.”[QS. Al-Anbiya’:31]
“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu…”[QS. Luqman:10]
Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah rahimahullah berkata:”Maksudnya Allah menancapkan di bumi gunung-gunung yang tangguh agar bumi itu tidak bergerak.”
“Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya…”[QS. Fushshilat:10]
“Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh…”[QS. Qof:7]
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?,”[QS. An-Naba’:6-7]
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:”bumi itu ditundukan untuk makhluk-makhluk dalam keadaan tenang, tetap dan tidak bergerak.
“Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap…”[QS. Az-Zukhruf:10]
“…Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia.[QS. Al-Hajj:65]

Dari SUNNAH
Berdasarkan dalil:
Dari Sofyan bin ‘Assal al-Murodi Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya Allah menjadikan sebuah pintu taubat di sebelah barat…pintu itu akan ditutup sehingga matahari akan terbit dari arahnya”[HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Thabrani]
Seandainya bumi berputar maka berarti arah pintu itu akan berubah-ubah. Dan ini jelas bertentangan dengan nash hadits.

2. MATAHARI MENGELILINGI BUMI
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“…Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur…”[QS. Al Baqarah:258]
“Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”[QS. Al An’am:78]
“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri…”[QS. Al-Kahfi:17]
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” [QS. Al-Anbiya’:33]
“…Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat…”[QS. Al A’raf:54]
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”[QS. Az-Zumar:5]
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya,”[QS. Asy-Syams:1-2]
Dari ayat-ayat ini sudah jelas menunjuk bahwa matahari lah yang bergerak mengelilingi bumi. Seandainya bumi yang berotasi, niscaya Allah ta’ala tidak mengatakan bahwa matahari yang terbit. Allah menjadikan gerakan terbit dan terbenam itu oleh matahari. Allah Ta’ala menjadikan bahwa yang terbit, condong, tenggelam dan menjauhi itu semuanya dilakukan oleh matahari, seandainya bukan matahari yang bergerak niscaya tidak akan disandarkan semua perbuatan tersebut kepada matahari.
Berkata Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah:” Di ayat Allah menjadikan malam mengikuti siang, sedangkan yang mencari dan mengikuti itu pasti menyusul di belakangnya, dan diketahui bersama bahwa malam dan siang itu mengikuti peredaran matahari.’

DALIL AS-SUNNAH:
Rasulullah shallallaahu’ alaihi wasallam pun banyak mengisyaratkan bahwa mataharilah yang beredar mengelilingi bumi. Di antaranya:
“Dari Abu Dzar b radiallahu ‘anhu ahwa pada suatu hari Rasulullah shallallaahu’ alaihi wasallam pernah bersabda:”Tahukah kalian ke manakah matahari itu pergi? Mereka berkata:”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”Beliau bersabda:”Sesungguhnya matahari itu berjalan sehingga sampai ke tempat peredarannya di bawah Arsy, lalu dia bersujud. Dia tetap selalu seperti itu sehingga dikatakan kepadanya:”Bangunlah!Kembalilah seperti semula engkau dating.’Maka dia pun kembali dan terbit dari tempat terbitnya, kemudian dia berjalan sehingga sampai ke tempat peredarannya di bawah Arsy, lalu dia bersujud…”[HR. Bukhari, Muslim, ath-Thoyalisi, Ahmad, Abu Dawud,Tirmidzi, Nasa’I, dll]
Segi pengambilan hadits ini sangat jelas, bahwa Rasulullah shallallaahu’ alaihi wasallam menyandarkan pergi, terbit, beredar kepada matahari, bukan kepada bumi, sedangkan kita semua mengetahui bahwa Allah Pencipta langit dan bumi lebih mengetahui tentang makhluk-Nya, daripada makhluknya, siapapun dia.
Dar Abu Huraihah radiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallaahu’ alaihi wasallam bersabda: ”Setiap persendian manusia itu harus disedekahi setiap hari setiap kali terbit matahari…”[HR. Bukhari, Muslim]
Dari hadits ini juga Rasulullah shallallaahu’ alaihi wasallam menyandarkan terbit pada matahari, seandainya munculnya matahari itu bukan karena gerakan matahari niscaya Rasulullah shallallaahu’ alaihi wasallam akan menyandarkan munculnya matahari itu dengan gerakan rotasi bumi.

KESEPAKATAN PARA ULAMA
1. Berkata Imam Abdul Qohir al-Baghdadi al-Isfiroyini rahimahullah:
“Ahlu sunnah sepakat atas tetap dan tenangnya bumi, dan bahwasanya bumi itu hanya bergerak kalau terjadi sesuatu misalnya gempa atau lainnya.”
2. Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah:
“Terdapat sebuah dalil yang paten dan bisa langsung disaksikan dengan panca indera bahwa matahari mengelilingi bumi dari timur ke barat kemudia dari barat ke timur.”
3. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Siapapun yang berada di bumi lalu melihat keadaan matahari saat terbit, saat berada di tengah-tengah, juga saat tenggelam. Di tiga waktu ini matahari berada pada kejauhan yang sama dan juga dalam satu bentuk, maka dia akan mengetahui bahwa matahari itu beredar dalam sebuah garis edar yang berbentuk bulat.”
Beliau juga berkata:”Siang dan malam itu terjadi dengan adanya matahari.”
4. Berkata Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah rahimahullah:”Kemudian perhatikan hikmah dari terbitnya matahari pada alam semesta, bagaimana Allah menentukannya, seandainya matahari itu hanya terbit di satu tempat di langit lalu berhenti dan tidak bergerak, maka sinarnya tidak akan sampai ke banyak arah, karena bayangan salah satu bagian bumi yang bulat akan menghalangi bagian lainnya, maka bagian yang tidak terbit matahari di situ akan menjadi malam selamanya, dan bagian yang matahari terbit akan siang selamanya, maka keduanya akan binasa. Dari sinilah maka hikmah Allah menuntut agar matahari itu terbit saat pagi hari dari timur kemudian terbit bagi daerah yang sebelah barat dan begitu seterusnya matahari selalu bersinar dan akan menyinari setiap bagian bumi sehingga dia menuju ke arah barat, dan akan menyinari bagian yang tadinya masih gelap saat pagi hari, dengan ini maka terjadilah pergantian malam dan siang yang dengannya maka bisa teraturlah kemaslahatan hidup manusia.”
5. Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah: “Maksud dari keterangan (hadits Shahih Bukhari) ini adalah menjelaskan bahwa matahari beredar setiap hari dan setiap malam. Hal ini berbeda dengan apa yang diklaim oleh para astronom bahwa matahari itu menempel di garis orbit dan hal ini berkonsekuensi bahwa yang beredar adalah garis orbitnya, sedangkan zhohir hadits ini bahwa mataharilah yang beredar dan bergerak. Dan semisal dengan ini adalah firman Allah subhanahu wata’ala: “Semuanya beredar pada garis orbitnya.”
6. Berkata Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah:”Telah tersebar pada zaman ini di kalangan para penulis dan pengajar bahwasanya bumi itu berputar sedangkan matahari itu tetap, dan pendapat ini diikuti oleh banyak orang, maka banyak sekali pertanyaan. Seputar masalah ini…
Maka saya katakan: Al-Quran dan as-Sunnah serta kesepakatan para ulama dan realita yang ada menunjukan bahwa matahari itu beredar di garis edarnya sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala sedangkan bumi tetap tidak bergerak, yang mana Allah menyiapkan sebagai tempat tinggal dan Allah memantapkan dengan gunung-gunung agar tidak bergerak bersama mereka.”
7. Berkata Syaikh al-Utsaimin rahimahullah:”Adapun pendapat kami tentang peredaran matahari mengelilingi bumi yang dengannya akan terjadi perubahan siang dan malam, maka kami berpegang dengan zhohir dari nash al-Kitab dan as-Sunnah bahwasanya matahari yang bergerak mengelilingi bumi yang dengannya terjadi pergeseran waktu siang dengan malam. Sehingga ada dalil yang qoth’I yang bisa dijadikan hujjah untuk bisa memalingkan dhohir nash al-Kitab dan as-Sunnah, dan manakah dalil itu?
8. Syaikh Hamud at-Tuwaijiri rahimahullah menulis risalah ‘Petir Yang Menyambar Atas Pengikut Pendapat Tatasurya Model Baru’, yang berisi pembelaan terhadap Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah sekaligus bantahan terhadap Syaikh Muhammad Mahmud ash-Showwaf yang menyatakan bumi mengelilingi matahari.
9. Syaikh Abdullah ad-Duwaisy rahimahullah:”Asal pendapat bumi mengelilingi matahari diambil dari Phytagoras seorang filsuf Yunani, dan ini adalah pendapat yang bathil yang sangat diketahui kebathilannya bagi orang yang hatinya diberi nur (cahaya) oleh Allah subhanahu wata’ala.
Inilah yang ditetapkan oleh para ulama, dan saya tidak mengetahui ada seorang imam dari kalangan salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) yang menyelisihinya.”
10. Syaikh Abdul Karim bin Shalih al-Humaid rahimahullah menulis kitab ‘Petunjuk Bagi Orang yang Bingung Tentang Masalah Peredaran Matahari dan Bumi’. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang sangat kuat yang disampaikan secara gamblang.

SUMBER:MATAHARI MENGELILINGI BUMI, SEBUAH KEPASTIAN AL-QURAN DAN AS-SUNNAH SERTA BANTAHAN TERHADAP TEORI BUMI MENGELILINGI MATAHARI (Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf)

GE hanya berhujahkan sains barat yg popular. Tidak ada ulama' tafsir yg berkata bumi yg bergerak kecuali penceramah yg tidak belajar ilmu tafsir.

Al Riya` - Siri 2


Siri:2 : PERKARA-PERKARA YANG DIRIYAKKAN

Setelah mengetahui tentang hakikat riyak itu adalah 'MENGKEHENDAKI KEDUDUKAN (yakni kemuliaan & ketinggian, kepujian & kemasyhuran, pangkat & pengikut, harta-benda & kemewahan, dsb) DENGAN KETAATAN DAN IBADAH TERHADAP ALLAH 'AZZA WA JALLA, ketahuilah pula, bahawa perkara-perkara yang diriyakkan itu banyak, namun terhimpun di dalam ENAM JENIS;

1. TUBUH BADAN
Menzahirkan KURUS & PUCAT supaya disangka sedikit makan dan banyak berlapar, NAMPAK SEDIH supaya disangka sangat membimbangkan perkara agama, RAMBUT KUSUT MASAI supaya menunjukkan dia banyak menghabiskan masanya sibuk dengan urusan agama hingga tak sempat menguruskan diri, BIBIR KERING supaya diketahui orang tentang puasanya, SUARA PERLAHAN, supaya menunjukkan lemah badannya kerana sangat kuat bermujahadah.

2. KELAKUAN
Seperti mencukur @ menipiskan misai, menundukkan kepala ke bumi ketika berjalan, tenang dalam setiap pergerakan tidak gopoh-gapah, membiarkan kesan sujud di muka tanpa dibuang, seperti debu tanah dan seumpamanya, memejamkan mata, SUPAYA DISANGKA bahawa dia sedang kasyaf, atau sedang menyelam ke dasar fikiran.

3. PAKAIAN
Seperti memakai baju yg diperbuat daripada bulu binatang, dan baju kain kasar, memendekkan kain, kaki seluar @ jubah hingga hampir pertengahan betis (bagi lelaki), lengan baju senteng, membiarkan pakaian yg koyak dan berdaki, SUPAYA MENUNJUKKAN habis waktu lapangnya hingga tak sempat untuk menjahit & membasuh. Memakai pakaian resam para sufi dan solat atas sejadah, SUPAYA DISANGKAKAN dia sebahagian daripada ahli tasawwuf, sedangkan dirinya MUFLIS daripada hakikat tasawwuf! Pakai jubah, selendang, meluaskan lengan baju, SUPAYA DISANGKA dia orang 'alim. Pakai serban, kain kelubung, sarung kaki, SUPAYA DISANGKA dia zuhud, kerana sangat memelihara kebersihan diri daripada debu-debu jalan.

4. KATA-KATA
Seperti riyak para pemidato, penceramah, pengkhutbah, pemberi nasihat dan peringatan, dengan sengaja mengelokkan sebutan lafaz-lafaz dan mengindahkan lenggok bahasa, berbicara kata-kata hikmah, perkhabaran dan cerita daripada salafus solihin, beserta melembutkan suara, menzahirkan kesedihan, sedangkan hakikat dirinya KOSONG! Tiada keikhlasan dan kejujuran di hatinya, bahkan semata-mata HENDAK DISANGKA dia IKHLAS & BENAR BERBICARA. Maka dia menzahirkan kesedihan di khalayak ramai, tetapi memaksiatkan Allah ketika bersendirian. Juga seperti yang mengaku dirinya sebagai penghafaz hadith, banyak bertemu ulama, bersegera menentukan status hadith, ini sohih.. ini dhoif.. ini palsu, SUPAYA DISANGKA luas ilmunya. Juga seperti mengkumat-kamitkan bibir dengan berzikir, amar makruf nahi mungkar depan orang, sedangkan KOSONG HATINYA tanpa sebarang rasa sakit hati bila tengok maksiat.

5. AMAL IBADAT
Memanjangkan tempoh berdiri solat, mengelokkan rukuk dan sujud, menundukkan kepala, tidak berpaling, bersedekah, berpuasa, tunai haji umrah, berjalan dengan khusyuk dan tawadhuk, meredupkan mata, sedangkan Allah Maha Mengetahui batinnya yg sebenar, kalau dia sendirian, dia tak buat pun! Bahkan solat ala kadar acuh tak acuh! Tapi bila sedar ada orang lain tengok atau tahu, dia pun buatlah elok-elok, SUPAYA DISANGKA dia sedang khusyuk!

6. RAMAI MURID, GURU, TAULAN & PENGIKUT
Seperti banyak menyebut nama-nama alim-ulama SUPAYA DISANGKA dia banyak bertemu ulama, begitu juga seperti orang yang suka dia diziarahi ulama dan pemimpin, SUPAYA DISANGKA dia orang yang berkat, ulama dan pemimpin pun hendak menumpang keberkatannya.

Maka inilah PERHIMPUNAN PERKARA YANG DIRIYAKKAN PADA AGAMA. Kesemuanya itu HARAM, bahkan tergolong dalam kategori DOSA BESAR!

AWAS !!!

Bekas Sujud

Pertanyaan :

Bapak ustadz yang saya muliakan, kita sering melihat adanya orang yang jidadnya hitam, yang hal ini katanya dikarenakan ia kuat beribadah. Tetapi saya sering melihat para ulama (juga termasuk bapak pengasuh) tidak memiliki tanda hitam di dahi ? saya jadi bingung, apa ia sih ibadah shalat para ulama ‘kalah’ banyak dengan mereka sehingga tidak berbekas di keningnya. Pernah sih saya iseng-iseng bertanya kepada pemilik jidat hitam katanya itu adalah atsar sujud (bekas sujud ?) yang dilukiskan oleh al Qur’an sebagai ciri orang beriman. Benarkah demikian ustadz ? Mohon pencerahannya. Hendi – Bontang.

Jawaban :
Ayat yang terkait masalah atsar sujud adalah firman Allah ta’ala : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari atsarussujud (bekas sujud).” (QS. al Fath:29).

Penjelasan mufassirin (ulama tafsir ) tentang makna bekas sujud.

Bagaimanakah penafsiran para ulama mengenai makna atsarussujud (bekas sujud) dalam ayat diatas ?

Jawabanya : Dalam kitab-kitab tafsir mu’tabarah (yang terkenal) tidak ada satupun yang mengkaitkan makna atsarussujud dengan hitamnya dahi. Berikut ini diantaranya :

- Tafsir Al-Qurthubi (16/291) : Disebutkan dalam tafsir tersebut bahwa Ibnu Abbas dan Mujahid menafsirkan kata atsarussujud (bekas sujud) sebagai : khusyu’ dan tawadlu’.

–Tafsir Fathul Qadir (5/ 55) : juga memaknai dengan arti yang sama.

- Jami’ al-Bayan (26/ 141) : sang penulis kitab ini -Ibn Jarir al-Thabari - mengutip perkataan Muqatil bin Hayyan dan Ali bin Mubarak dari al-Hasan bahwa yang dimaksud “min atsari sujud” disana adalah cahaya yang tampak pada wajah orang-orang beriman pada Hari Kiamat kelak sebagai bekas shalat dan wudlu’nya. Bahkan di dalam Tafsirnya tersebut, Ibn Jarir juga mengutip perkataan sahabat Ibn Abbas yang menolak penafsiran ayat secara literal dengan kata-kata : “Hal itu bukanlah seperti yang kalian kira, karena maksudnya (dari kalimat min atsari sujud) adalah tanda-tanda ke-islaman (ketundukan dan kepasarahan) serta kekhusyu’an.”

- Thabari juga meriwayatkan dengan sanad hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).

- Tafsir Zâdul Mâsir (7/ 172) : Ibn Jauzi mengatakan, “Apakah tanda-tanda itu (bekas sujud) itu merupakan tanda-tanda di dunia atau di akhirat?” Dari banyak mufassir yang mengatakan bahwa tanda-tanda itu tampak di dunia ini hanya sedikit saja penafsir yang mengatakan bahwa tanda sujud itu tampak karena adanya bekas turbah (tanah) yang melekat di kening mereka. Itu pun penfasiran alternatif bukan satu-satunya penafsiran yang mereka yakini. Lagi pula jika penafsiran seperti itu menjadi argumen mereka, maka hal itu justru akan menjadi muskilah, karena kaum yang sujud di atas tanah pada masa ini hanyalah kalangan Syi’ah saja, sementara kaum Muslim Sunni tidak lagi sujud di atas tanah, tetapi di atas kain sajadah atau yang semacamnya. Dan penafsiran ini pun tidak bisa menjadi dalil bagi kaum Khawarij, karena bekas sujud yang ada dikening mereka bukanlah bekas tanah, tetapi karena kulit yang baal (tebal) karena ditekan secara paksa. Kita sudah banyak mengetahui bahwa banyak ulama yang rajin melakukan shalat malam tetapi kening mereka tidak hitam seperti yang ada pada kening kaum Khawarij dan pengikutnya.

- Demikian juga Allamah Thabathaba’i di dalam Tafsir al-Mizan-nya, Juz 18, halaman 326, menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran maknawi bukan zhahiri.

- Dan terakhir, Tafsir Al-Nur al-Tsaqalayn, menafsirkan kalimat min atsari sujud pada ayat tersebut dengan mengutip perkataan al-Shadiq : “huwa al-sahr fi al-shalah” : itu (bekas sujud) adalah banyaknya shalat malam pada waktu sebelum fajar/subuh.

Hadits yang menyebutkan bekas sujud
Selain ayat diatas, adapula hadits Rasulullah n yang terkait tentang masalah ini, berikut haditsnya : Rasulullah n bersabda : “Tak satu orangpun di antara umatku yang tidak kukenali pada Hari Kiamat. Mereka (para sahabat) bertanya, “Bagaimana engkau dapat mengetahuinya wahai Rasulullah, sedangkan engkau berada di tengah-tengah banyaknya makhluk? Beliau bersabda: “Apakah kalian dapat mengetahui sekiranya kalian memasuki tumpukan makanan yang di dalamnya terdapat sekumpulan kuda berwarna hitam pekat yang tidak dapat tertutup oleh warna lain, dan di dalamnya terdapat pula kuda putih bersih, dapatkah kalian dapat melihatnya? Mereka berkata: “Tentu!” Beliau bersabda : “Sesungguhnya umatku pada hari itu berwajah putih bersih karena (bekas) sujud dan karena (bekas) wudlu’.”[1]

Lantas bagaimanakah penjelasan para muhaditsin mengenai maknanya ? Justru Hadis ini dijadikan dalil bahwa tanda (sima) dari bekas sujud, bukanlah apa yang Nampak di dunia ini, tetapi hanya tampak pada hari Kiamat.

Namun adapula sebagian yang memaknai bekas sujud pada ayat dan hadits diatas dengan makna dhahir yakni bekas tanah di dahi, seperti yang dikatakan Malik bin Dinar dari shahabat Ikrimah a.[2]

Sikap para ulama terhadap bekas hitam di dahi
Meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa bekas sujud tidak ada kaitannya dengan tanda hitam di dahi. Namun, mereka berbeda pendapat tentang kondisi seseorang yang ada bekas hitam di dahi, sebahagiannya tidak mempermasalahkan sedangkan yang lainnya membenci hal tersebut.[3]

Ulama yang membencinya
Para ulama yang tidak menyukai adanya bekas hitam di dahi diantaranya bahkan dari kalangan shahabat nabi, diantaranya adalah Ibnu Umar, Abu Darda, Saib bin Yazid dll.

1. Ibnu Umar beliau adalah Abdullah bin Umar bin Khattab h, salah seorang shahabat terkemuka. Diriwayatkan beberapa riwayat dari Ibnu Umar, beliau membenci adanya bekas hitam di dahi seorang muslim. Berikut diantara riwayat-riwayatnya :

- Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umarh . Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut.
Ibnu Umar melihat ada bekas berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (HR. Baihaqi : 3698)

- Beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (HR. Baihaqi : 3699).

- Ibnu ‘Umar berkata : “Sesungguhnya rupa seorang itu ada di wajahnya. Maka, janganlah salah seorang di antara kalian memburukkan rupanya” (HR. Abi Syaibah 1/308).

2. Abu Darda a, diriwayatkan bahwa beliau melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (HR. Bahaqi : 3700).


3. As Saib bin Yazid, a,, ,,,,,,,Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah, aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku.” (HR. Baihaqi : 3701).


4. Mujahid t,,, ,,dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah ? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an.” (HR. Baihaqi: 3702).


5. Ahmad ash Showi t ia mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (ahli bid’ah).” (Hasyiah ash Shawi, 4/134).

Ulama yang membolehkannnya
Sebagian ulama memandang bahwa ada bekas sujud di dahi bukanlah hal yang di benci, selama bukan untuk maksud kesombongan atau riya. Bahkan beberapa riwayat telah menyebutkan bahwa sebagian ulama salaf memiliki bekas sujud di dahi mereka. Berikut diantara riwayatnya :

- Shafwaan bin ‘Amru, ia berkata : “Aku pernah melihat dahi ‘Abdullah bin Busr[4] ada tanda/bekas sujud. ” ( At-Taariikh : 178; shahih).

- Al-‘Alaa’ bin ‘Abdil-Kariim Al-Ayaamiy, ia berkata : “Kami pernah mendatangi Murrah Al-Hamdaaniy[5], lalu ia pun keluar menemui kami. Kami melihat bekas sujud di dahinya, kedua telapak tangannya, kedua lututnya, dan kedua kakinya….”( Al-Hilyah, 4/162; shahih).

- Bilaal bin Muslim, ia berkata : “Aku melihat Abaan ‘Utsmaan, di antara kedua matanya terdapat sedikit bekas sujud.”[6]

- Shafwaan bin ‘Amru ia berkata : “Aku melihat di dahi Hakiim bin ‘Umair[7] ada bekas/tanda sujud” ( Al-Kubraa, 7/212; shahih). Kesimpulan :

Penutup :
Sesuatu yang sangat keliru bila seseorang mengkaitkan hitamnya dahi dengan tingkat keshalihan seseorang. Lebih keliru lagi bila sengaja seseorang menekan dahinya untuk mendapatkan ‘ bekas sujud’ pada dahinya. Karena nyatanya, mayoritas ulama tidak memaknai bekas sujud dengan hitamnya dahi.

Bahkan lebih selamatnya munculnya hitam di dahi karena efek sujud hendaknya dihindari karena sangat mungkin bisa memunculkan sikap riya diri kita dihadapan manusia. Hal ini bisa dilakukan dengan menghindari sebab-sebab yang bisa memberikan bekas pada sujud, seperti melazimi sujud ditempat yang keras. Rasulullah n mengingatkan : “Tidak akan masuk sorga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun seberat biji atom.” (HR. Muslim).

Namun sebaliknya, juga adalah sikap yang salah jika seseorang mengedepankan su’udhdhan, bahkan sampai terlontar kata-kata, bahwa orang yang mempunyai bekas/tanda hitam di dahinya merupakan orang yang tidak ikhlash dalam beramal, ingin dipuji dll. Apakah ada nash dari Allah dan Rasul-Nya bahwasannya tanda hitam di dahi merupakan tanda kemunafikan lagi ketidak -ikhlashan ? Karena boleh jadi adanya bekas sujud dikening tersebut memang faktor tipisnya kulit atau sebab-sebab lainnya. Ingatlah wahai saudaraku firman Allah ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujuraat : 12).

“Ya, Allah! Sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami tidak mengetahuinya.”

Wallahu a’lam.


[1] Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan sanad yang sahih; Tirmidzi juga meriwayatkan hadis ini, dengan komentar : shahih).

[2] Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Musykilul-Aatsaar no. 305; shahih.

[3] Ibnu Abi Syaibah bahkan membuat dua bab dalam kitab Al-Mushannaf yang memuat ulama-ulama yang membenci dan membolehkan tanda hitam di wajah.


[4] ‘Abdullah bin Busr adalah salah seorang shahabat kecil (shighaarush-shahaabah).

[5] Murrah bin Syaraahiil Al-Hamdaaniy, seorang ulama dari kalangan kibaarut-taabi’iin.

[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Al-Kubraa, 5/78; namun sanadnya dha’if karena Bilaal bin Abi Muslim, seorang yang majhuul].

[7] Al-Hakiim bin ‘Umair Al-Ahwash Al-‘Ansiy adalah seorang ulama generasi taabi’iin pertengahan.

http://www.konsultasislam.com/2011/09/bekas-sujud.html

Monday, March 27, 2017

Issues Atheist Are Unable to Answer - Hamza Yusuf


Tanda Kenal

tanda_kenal_12742068_836932619766190_3798580621924162190_n

"Tanda pengenalan hamba-hambaKu di hatinya terhadap ZatKu ialah dengan menyangka baik terhadap keputusanKu, tiadalah dikeluh-kesahkan terhadap hukum-hukumKu, tiadalah dirasakan lambat terhadap kurniaKu, dan sentiasa merasakan malu untuk melakukan maksiat" (Riwayat Dailami)

Habits Of Tongue


The Messenger of Allah (سيدنا محمد ﺻﻠﯽ الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ ﻋﻠﯿﮧ ﻭﺍٓﻟﮧ ﻭﺳﻠﻢ) said: “Nothing will be heavier on the Day of Resurrection in the scale of the believer than good manners. Allah hates one who utters foul or coarse language.” [Tirmidhi]

Imam Malik narrated that once Eesa (alaihis salam) passed by a pig and addressed it saying, “Pass on peacefully.” He was asked in astonishment, “Do you talk to a pig in this manner?” He replied, “I am afraid that my tongue may get in the habit of rude talk.”

What kind of language is it our habit to use?

Cara Membezakan Antara Nafsu Atau Bukan



“Jika ada dua perkara yang tidak jelas (meragukan) bagimu, maka lihatlah mana di antara keduanya yang paling berat bagi nafsu, lalu ikutilah ia karena tidaklah terasa berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yang benar.”

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam

Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan: “Wahai Murid, jika ada dua perkara yang tidak jelas dalam pandanganmu, seperti dua kewajiban atau dua hal yang sunnah, dan engkau tidak mengetahui mana yang paling utama dilakukan, maka lihatlah mana di antara dua kewajiban itu yang paling berat dilakukan oleh nafsu dan dirimu. Lalu, ikutilah ia dan laksanakan.

Contohnya, mencari ilmu yang wajib atau mencari rezeki untuk keluarga. Mencari ilmu yang melebihi kewajiban atau melakukan ibadah-ibadah sunnah. Lihat mana di antara kedua perkara ini yang lebih berat bagi nafsumu, karena tak ada yang berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yang benar.

Nafsu selalu terdorong untuk berbuat kebodohan. Keinginannya selalu mencari keuntungan dan lari dari kewajiban. Jika seorang murid merasa ringan dalam sebuah amal dan merasa berat dalam amal lainnya, lalu ia mengerjakan yang lebih ringan, namun hatinya tidak tenang, itu termasuk ke dalam kemunafikan hati,

Tetapi, jika hatinya tenang, ia boleh mengerjakan yang ringan bagi nafsunya dan menyukainya. Namun, ketika itu, ia harus melihat, mana yang lebih besar faedahnya dan lebih banyak memperbaiki ahwal-nya. Itulah yang harus diutamakannya dari yang lainnya.

Amal yang membuatmu bahagia saat kau kerjakan, berarti ia benar dan selaiannya bathil karena menjelang ajal, seorang hamba biasanya tidak akan mengerjakan kecuali amal shaleh yang bebas dari sifat-sifat riya’dan dorongan hawa nafsu.

Apabila engkau bingung antara harus menuntut ilmu atau mengikuti jalan ahli tarekat, maka lihatlah mana di antara keduanya yang kau sukai saat ruhmu keluar dari jasadmu, kemudian lakukanlah hal itu. Jika kau ingin saat ruhmu dicabut malaikat dan di tanganmu ada buku tulis karena kau ikhlas dalam menuntut ilmu dan hanya mengharap ridha Allah, maka tuntutlah ilmu.

Tetapi, jika kau tidak menyekuai hal itu dan hanya ingin sibuk berdzikir kepada Allah, maka jangan menuntut ilmu, tetapi sibukkanlah dirimu dengan berdzikir dan beribadah lainnya. Jika engkau terpaksa melakukan hal-hal yang tidak kau sukai, tentu engkau tidak akan ikhlas mengerjakannya.”

--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah Syekh Abdullah Asy-Syarqawi.

Saturday, March 25, 2017

Salahguna Konsep "Loss of Adab"

Berapa ramai pihak yang selalu menyalahgunakan konsep "loss of ādāb" oleh Prof Al-Attas dan menjenamakan nya kepada sesiapa sahaja sesuka hati. Kebiasaannya digunakan oleh ahli ilmu ke atas orang² awam atau pemula dalam bidang ilmu. Pengamalan ini adalah salah dan bertentangan dengan maksud asal oleh Prof Al-Attas sendiri. Ini dapat dijelaskan dengan beberapa sebab:

Pertama, antara sebab yang menjadikan seorang pemikir itu sebuah sosok yang besar adalah kemahirannya mengenalpasti dan menyelesaikan masalah yang besar. Jadi, tidak mungkin konsep "loss of ādāb" yang diutarakan oleh Prof Al-Attas itu sekadar merujuk kepada kerancuan yang kecil-kecilan. Dan kekeliruan dalam kalangan ilmuwan adalah lebih besar berbanding kekeliruan dalam kalangan orang awam.

Kedua, keadaan "loss of ādāb" ini diakibatkan oleh "confusion in knowledge". Kekeliruan ilmu tidak berlaku kepada orang² jahil. Kerana orang jahil memang tidak berilmu. Kekeliruan ini hanya berlaku kepada ahli² ilmu. Justeru, mengukuhkan lagi hakikat bahawa bahana "loss of ādāb" ini perlu diberikan perhatian lebih ke atas ahli² ilmu.

Ketiga, Al-Attas mengembalikan semua simptom kekeliruan tersebut kepada punca yang paling utama (First Cause) iaitu punca yang bersifat metafizikal. Dan tidak ada seorang insān pun yang mampu melakukan kekeliruan di peringkat metafizikal melainkan orang² yang mempunyai reputasi yang tinggi dalam bidang ilmu.

Akhir sekali, masalah yang besar bukanlah muncul akibat kekeliruan yang ditimbulkan oleh orang biasa. Orang² biasa tidak mampu menghasilkan kerosakan pada skala besar. Contohnya, modernism ialah natijah daripada gagasan Descartes, Kant, Voltaire, dan lain². Mereka ini semua bukan orang² yang mempunyai tahap intelektualism yang biasa².

Lalu, apakah salah satu contoh kekeliruan yang ditujukan oleh Prof Al-Attas apabila beliau merujuk kepada "loss of ādāb" dalam dunia Islām? Scientism; dan pendemokrasian ilmu serta autoriti ilmu.

https://www.facebook.com/AbuRadhiah94/posts/1467732989925500

Friday, March 24, 2017

Al Riya` - Siri 1

Siri 1: HAKIKAT RIYAK

Sesungguhnya 'riyak' adalah bahasa Arab yang telah di'Melayu'kan ejaannya. Ejaannya yang sebenar ialah الرِّيٰاءُ (Ar-Riyā), bererti 'memperlihatkan', di ambil daripada kata ُالرُّؤْيَة (Ar-Ru-yah), yang bermakna 'penglihatan dengan pancaindera mata'.

Asal penggunaan kata nama 'riyak' di sisi bahasa Arab, adalah dengan pengertian 'menuntut tempat di hati manusia, dengan memperlihatkan perkara-perkara kebaikan, supaya disangka baik dan mulia'. Kebaikan yang diperlihatkan itu tidak kiralah samada IBADAH mahupun BUKAN IBADAH.

Namun, 'riyak' secara beradat telah dikhususkan dengan makna 'menuntut tempat di hati manusia DENGAN IBADAH yang dikerjakan serta menzahirkan ibadah tersebut'. Manakala definisi 'riyak' di sisi syarak pula ialah, 'MENGKEHENDAKI KEDUDUKAN DENGAN KETAATAN TERHADAP ALLAH'. Inilah HAKIKAT RIYAK!

Justeru itu, perspektif ini melibatkan; Pe'riyak', Yang di'riyak' kepadanya, Yang di'riyak'kan dengannya, dan 'Riyak';

1. Pe'riyak' - insan

2. Yang di'riyak' kepadanya - insan lain yang diharapkan memberi ruang dihati untuknya

3. Yang di'riyak'kan dengannya - perkara kebaikan @ ibadah yang diniatkan penzohirannya oleh si pe'riyak'

4. 'Riyak' - Niat di hati menzohirkan perkara kebaikan & ibadah tersebut

Secara ghalibnya, tiadalah seseorang hamba itu terjerumus ke lembah 'riyak' kecuali disebabkan oleh KELALAIAN DAN KESESATAN HAMBA DARIPADA PENCIPTANYA! 'Riyak' adalah HARAM dengan ketetapan AL-QURAN, AS-SUNNAH dan AL-IJMAK, manakala pe'riyak' dihukum BERDOSA BESAR, WAJIB BERTAUBAT..on the dot!!!

Arakian perkara-perkara yang di'riyak'kan itu sebenarnya amat banyak. Tetapi semuanya terjumlah dan terpusar dalam LIMA BAHAGIAN (ENAM JENIS). Panjang umur, Atok sambung siri ke-2, bicara PERKARA-PERKARA YANG DIRIYAKKAN.

In sya Allah.

https://www.facebook.com/hanirahanif/posts/1347930468597225

Thursday, March 23, 2017

Seven Years Ago

7 years ago, as an undergrad student i handed in this essay for a 200 level paper for the philosophy of religion. Now, having studied at CASIS and sitting with scholars from the Baalawi and Malay intellectual tradition I come to realize even as a student pursuant of a P.P.E degree in a Western university how impoverished I was in terms of my own spiritual- intellectual tradition, which inhabited the soul in terms of its potential to arrive at knowledge of ultimate reality.

In the essay I distinguished between two different versions of the design argument to prove the existence of God, and instead of the ahl tasawwuf, mutakallim dan the hukama, i drew from modern western-christian theologians and philosophers of religion, without knowing the history and identity of western culture and its own experiences with philosophy and religion, assuming therefore its universality.

The result was, where analogy(tamthil) is concerned I found that the atheist philosophers(pace Hume) also had their own analogies to show that the universe was a product of chance, of things coming out of some latency in matter, and attacking the tamthil of design( the clock maker argument) by using qiyas ma'al fariq( to attack the analogies, the world is neither like a clock or other human designs, or they accept deism as a compromise), that while the probabilistic argument suffers from the fact that probabilism is still conjecture(zann) at best, for not being able to cross the threshold of certainty(yaqin).

Later as I come to read Allamah Iqbal, the great philosopher-poet himself deny the potency of all 5 ways outlined to rationaly demonstrate the existence of God.

That being said I thought as an undergraduate if I could not rationally demonstrate the existence of God, I must be a fideist( taking the existence of God upon the leap of faith), since I know Pascal's wager couldnt take me there either.

But then again, in one of the Saturday night lectures, Prof Al-Attas said,' If we were asked to rationally prove(demonstrate) the existence of God, then we say, what do you mean by rational? And what does it mean to prove?'.

This was how I came to realise, the problem of the existence of God was never part of the intellectual tradition of Islam(although this is not denying that proofs and arguments were set forth by our philosophers), since we did not suffer from the self originated problem of parmenidean conception of existence, or the epistemological problems of descartes and kant, neither did we suffer from the amalgamation of different conceptions of God due to the fusion of the hellenistic-judeo christian-patristic and other traditions of the Europeans.

Therefore the existence of God was a given, the fitri worldview of our forefathers were nourished by the Quran and the Islamic languages which all serve to project its vision of God, the world, the after life and the position regarding the nature of man.

Furthermore, where knowledge is concern we affirm that just as rationality is an aspect of man's intellect, which systematises the information obtained through observation and cognition, it is also part of dynamic soul with multiple modes, some of which may operate in higher regions of reality.

The world of sensible experience is treated as the seen world without denying the reality of the unseen world, which does not leave its traces upon our physical faculties, but is affirmed nonetheless since we affirm just as the rational intellect gradually realises its potential so too does its spiritual counterpart, the heart.

It was so assuring for me to read that our scholars of the past were not just man of the highest scientific and mathematical achievemnts, but they were also men(and women) of spiritual vision and reality.

Let us not suffer the fate of aladdin's wife who traded the old Heirloom for the sake of shiny-new ones which does not posess its barakah!

https://www.facebook.com/syed.m.alattas/posts/10154969815281221

Tuesday, March 21, 2017

Doa Pencerah Jiwa



"Ya Allah, anugerahilah kami rasa takut kepada-Mu yang menjadi penghalang antara kami dan maksiat-maksiat kami, dan anugerahilah kami ketaatan kepada-Mu yang dapat mengantarkan kami kepada surga-Mu, dan anugerahilah kami keyakinan yang dapat meringankan berbagai musibah dunia.

Ya Allah, berilah kebahagiaan kepada kami, melalui pendengaran kami, penglihatan kami, kekuatan kami, selama Engkau menghidupkan kami. Dan jadikanlah kebahagiaan itu selamanya bersama kami. Jadikanlah rasa marah kami untuk melawan orang-orang yang menzhalimi kami dan tolonglah kami melawan orang-orang yang memusuhi kami.

Jangan Engkau jadikan musibah kami pada agama kami, jangan Engkau jadikan dunia sebagai tujuan tertinggi kami dan puncak pengetahuan kami dan janganlah Engkau jadikan orang-orang yang tidak menyayangi kami menjadi pemimpin kami.” (HR al-Tirmidzi).

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيْكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ ، وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا ، اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِيْ دِيْنِنَا ، وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا .
`allâhummaqsim lanâ min khasyyatika mâ tahûlu bihî bainanâ wabaina ma'âshîka, wamin thâ'atika mâ tuballighunâ bihî jannataka, waminal yaqîni mâ tuhawwinu bihî 'alainâ mashâ`ibad-dunyâ, `allâhumma matti'nâ bi`asmâ'inâ, wa`abshârinâ, waquwwatinâ mâ `ahyaitanâ, waj'alhul wâritsa minnâ, waj'al tsa`ranâ 'alâ man zhalamanâ, wanshurnâ 'alâ man 'âdânâ, walâ taj'al mushîbatanâ fî dîninâ, walâ taj'alid-dunyâ ``akbara hamminâ, walâ mablagha 'ilminâ, walâ tusallith 'alainâ man lâ yarhamunâ

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1238158872900711:0

Wednesday, March 8, 2017

Tiga Resep Dasar Seorang Hamba

‘Abdullah bin Mas’ud r.a. mengatakan:

أَدِّ مَا افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَاجْتَنِبْ مَحَارِمَ اللهِ تَكُنْ أَزْهَدَ النَّاسِ وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ

1) Laksanakanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling sering beribadah.

2) Jauhilah larangan-larangan Allah, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling zuhud.

3) Terimalah dengan ridha rezeki yang Allah berikan kepadamu, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling kaya.”

Kitab Nashaihul Ibad, Imam Nawawi Al-Bantani

Nasihat Ruhani Syaikh Abdul Qadir Al Jilani

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:

"Wahai saudaraku, jika engkau berada dalam kejayaan, maka manfaatkanlah kejayaanmu itu untuk bekal amal taat kepada-Nya. Gunakanlah kejayaan itu untuk mencari jalan menuju kepada jalan-Nya.
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa harta yang engkau miliki itu dapat membakar dan menghanguskan kulitmu di akhirat nanti. Maka belanjakanlah hartamu sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan sunah Rasulmu. Agar engkau menjadi sejahtera, dunia dan akhirat.

Wahai saudaraku, cepat-cepatlah engkau menuju kepada Allah. Berlarilah kepada Allah. Gunakanlah harta yang ada di tanganmu untuk alat menuju kepada-Nya, untuk menegakkan syariat-Nya, untuk taat kepada-Nya dan untuk mencari ridha-Nya. Seorang mukmin itu harus tahu bahwa Al-Qur’an adalah roh hidayah yang ada di alam ini, oleh karena itu, antara orang muslim dan Al-Qur’an harus ada hubungan yang erat.

Sebab Al-Qur’an adalah tali Allah yang kuat dan jalan yang lurus. Al-Qur’an sebagai rahmat untuk alam semesta dan sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Dalam Al-Qur’an telah terhimpun dasar-dasar kebaikan dan petunjuk untuk membangun kehidupan dan meletakkan landasan ketenteraman di muka bumi ini.

Allah Swt. berfirman:“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS Al-Isrâ' [17] :9)”

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani

Cara Bertemu Allah dan RasulNya

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan:

"Wahai anak muda! Engkau mengaku sebagai Sufi, tetapi engkau merasa terganggu dan bingung. Sufi adalah orang yang lahir dan batinnya telah dimurnikan (shafâ) dengan mengikuti Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya SAW semakin meningkat kemurniannya, dia semakin muncul dari lautan eksistensinya dan meninggalkan kehendak, pilihan serta kemauannnya sendiri dikarenakan kemurnian kalbunya.

Ketika kalbu seseorang telah murni, maka Nabi SAW akan menjadi duta antara dia dan Rabbnya, sebagaimana halnya Jibril.

Dasar kebaikan adalah mengikuti Nabi SAW dalam perkataan dan perbuatannya. Semakin murni kalbu si hamba, akan semakin sering dia melihat Nabi SAW dalam mimpinya, dimana beliau akan menyuruhnya melakukan sesuatu dan melarangnya mengerjakan sesuatu yang lain. Keseluruhan dirinya akan menajdi satu kalbu dan bentuk fisiknya akan terpisah. Dia menjadi sebuah rahasia (sirr) tanpa publikasi (jahr) kejelasan murni tanpa kekacauan yang keruh.

Mencabut segala sesuatu dari kalbu berarti membongkar gunung-gunung yang kokoh dan tak tergoyahkan. Ia memerlukan upaya yang keras dan kesabaran dalam menahan penderitaan dan bencana. Janganlah engkau pergi mencari apa yang tidak jatuh ke tanganmu. Adalah baik bagimu jika engkau mempraktikan apa yang tertulis ini, dan menjadi Muslim! Adalah baik bagimu pada Hari Kebangkitan jika engkau berada dalam kumpulan orang-orang Muslim dan bukan dalam kumpulan orang-orang kafir!

Selamat atas ditempatkannya engkau di surga atau di pintunya, dan tidak di tengah-tengah mereka yang ditetapkan untuk masuk ke kedalaman neraka! Engkau harus rendah hati dan tidak sombong. Kerendahan hati akan mengangkat derajat, sedangkan kesombongan akan mencampakkan. Seperti dikatakan oleh Nabi SAW: “Jika seseorang rendah hati terhadap Allah, maka Allah akan mengangkatnya.”

Allah mempunyai sejumlah hamba khusus yang mengerjakan perbuatan-perbuatan baik sedemikian rupa sehingga amal-amal mereka sebesar gunung, seperti amal-amal baik para pendahulu mereka. Namun demikian, mereka merendahkan diri di hadapan Allah Yang Mahakuasa dan Mahaagung, dan mengatakan: “Kami belum mengerjakan sesuatu pun yang cukup baik untuk memastikan bahwa kami akan masuk surga.

Kalaupun kami akan diterima di sana, itu adalah karena rahmat Allah, dan jika kami tidak diizinkan masuk, maka itu adalah karena keadilan-Nya.” Mereka akan selalu siap melaksanakan perintah-perintah-Nya, selagi mereka berdiri di hadirat-Nya dalam keadaan kebangkrutan pribadi (iflâs).

Kalian harus bertobat dan mengakui kekurangan-kekurangan kalian. Tobat adalah kekuatan hidup dari Tuhan Yang Mahabenar. Dia menghidupkan kembali bumi dengan hujan yang menyegarkan setelah ia mati, dan Dia menghidupkan kembali kalbu-kalbu kita setelah mereka mati, melalui tobat dan kesadaran (yaqzhah). Wahai pendosa-pendosa yang membangkang, bertobatlah! Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sungguh Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS 39:53)

Ingatlah Allah Mahakuasa dan Mahaagung! Kalian tidak boleh sekali-kali berputus asa dari rahmat dan kasih-Nya!”

Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitab Jala Al-Khawathir

Kerja, Ibadah dan Jihad

Suatu ketika, seseorang berjalan melintasi tempat Rasulullah Saw., orang itu terlihat sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat lalu berkomentar, “Ya Rasulullah, andai kata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan fî sabîlillâh, alangkah baiknya.” Lalu, Rasulullah menjawab, “Kalau dia itu bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu adalah fî sabîlillâh; kalau ia bekerja untuk membela kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, maka itu pun fî sabîlillâh; bahkan kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya agar tidak meminta-minta, maka itu adalah fî sabîlillâh,” (HR At-Tabrani).

Salahlah orang yang mengira bahwa agama hanya melulu mengurusi halal-haram, surga-neraka, tahlil dan zikir di masjid tanpa konsep wirausaha dan kerja keras. Agama tak hanya mengurusi jenazah, masjid, kenduri atau kegiatan formalitas simbolik lainnya.

Agama justru mengajarkan tentang etos kerja dan daya juang menghadapi hidup. Maka, salahlah orang yang hanya berdoa di masjid setiap hari, tanpa berbuat banyak untuk mencari nafkah bagi anak, istri dan keluarganya. Islam tidak mengajarkan orang untuk menjadi petapa yang tinggal di gua gelap selama berhari-hari dan mengandalkan orang untuk bersimpati kepadanya.

Rasulullah mengatakan, sungguh, Allah sangat senang jika salah seorang di antara kamu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dilakukan dengan terus menerus dan sangat bersungguh-sungguh, (HR Muslim).

Tanpa konsistensi, kerja yang berkesinambungan, disiplin dan kesungguhan, amat sukar bagi seseorang untuk mendapatkan keinginan yang mau dicapai. Jauh-jauh hari Rasul telah memberi dasar-dasar etos kerja bagi setiap Muslim.

Rasul mengatakan, apabila engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi, dan jika engkau berada di waktu pagi maka janganlah menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Pergunakan waktu hidupmu sebelum datang kematianmu, (HR Bukhari).

Kebahagian hidup di dunia tak akan bisa dicapai hanya dengan berdiam diri di rumah, tanpa usaha. Tuhan dan rasul-rasul-Nya tak pernah melarang kita menjadi kaya raya, karena bukan kekayaan yang dilarang, tapi ketamakan dan kerakusan manusianya yang dilarang. Bahkan, kemiskinanlah yang sangat dikhawatirkan oleh Sang Rasul, karena akan mendekatkan seseorang pada kekufuran. Makanya, Nabi selalu mengingatkan, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

Rasulullah membuat ilustrasi, seandainya seseorang mencari kayu bakar dan dipikulkan di atas punggungnya, hal itu lebih baik daripada kalau ia meminta-minta kepada seorang yang kadang-kadang diberi, kadang-kadang pula ditolak,” (HR Bukhari dan Muslim).

Allah Swt. juga pernah mengingatkan Nabi, katakan kepada kaummu: “Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui,’” (QS A-Zumar [39]: 39).

Seluruh nabi dan rasul yang diutus ke muka bumi ini adalah pekerja keras. Tak ada yang mendapatkan harta dengan lamunan atau kemalasan. Rasulullah sendiri adalah penggembala kambing, sudagar kaya, bahkan bisa disebut pengekspor-impor, karena pernah berdagang hingga Yaman dan Syria.

Nabi Musa a.s., Sulaiman a.s., Dawud a.s., Ibrahim a.s. dan nabi-nabi yang lain pun dikisahkan dalam Al-Qur’an dan Hadis sebagai pekerja keras, penggembala (peternak) dan saudagar sukses.

Dalam Islam, kerja adalah ibadah. Kerja merupakan jihad yang sangat dihormati Tuhan. Orangtua yang bekerja, banting tulang mencari nafkah untuk anak, istri dan keluarganya merupakan syuhada-syuhada yang dimuliakan Tuhan. Mereka layak dikatakan sebagai pahlawan, minimal pahlawan bagi anak dan istrinya.

Setiap tetes keringat yang mengucur dari jerih payahnya akan bernilai ibadah dan dicatat sebagai pahala, yang kelak di akhirat akan mendapatkan imbalannya.

Orientasi kerja seorang Muslim tidak hanya untuk tujuan duniawi, tetapi juga sebagai bekal ukhrawi.
Karena itu, agama melarang seseorang menghalalkan segala cara dalam mendapatkan sesuatu. Islam telah mengatur hubungan muamalat manusia, baik dalam kegiatan ekonomi, perbankan, asuransi, jasa, pertanian, perdagangan dan kegiatan lainnya. Kesungguhan dan kerja keras seseorang tak hanya bertujuan untuk investasi duniawi, tetapi juga ukhrawi sekaligus.

Salam Perjuangan!

Monday, March 6, 2017

Jawapan Cinta Sang Maha Cinta

Diriwayatkan bahwa setelah Nabi Dawud a.s. menyaksikan sendiri betapa hebat dan dahsyat balasan cinta Allah SWT kepada para wali-wali-Nya—para pecinta Allah merindukan perjumpaan dengan-Nya—beliau pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dengan apa mereka memperoleh anugerah ini dari-Mu?

Allah SWT menjawab, “Dengan berbaik sangka, mencegah diri dari dunia dan penghuninya, mengasingkan diri bersama-Ku dan munajat mereka kepada-Ku. Ini adalah peringkat yang tidak mudah dicapai oleh siapa pun kecuali orang yang bersungguh-sungguh menutup mata terhadap dunia dan penghuninya, juga sedikit pun tidak disibukkan olehnya, bahkan tidak terlintas dalam ingatannya.
Ia mengosongkan dirinya hanya untuk-Ku dan hanya memilih-Ku di antara seluruh makhluk-Ku.

Ketika itulah Aku bersimpati kepadanya. Aku kosongkan jiwanya dan Aku singkapkan tirai antara Aku dengannya hingga ia melihat-Ku sebagaimana mata melihat sesuatu.

Aku perlihatkan kepadanya kemuliaan-Ku setiap waktu. Aku dekatkan dia pada cahaya ‘wajah’-Ku. Jika ia jatuh sakit, maka Akulah yang merawat dan mengobatinya, persis seperti seorang ibu yang penuh kasih merawat anaknya. Jika ia haus, maka Aku memberikan minum dan Aku cicikan padanya kelezatan mengingat-Ku.

Aku berbuat begitu kepadanya, maka ia buta akan dunia dan seluruh penghuninya. Aku jadikan ia tidak berselera kepadanya. Ia pun tidak susah-payah sibuk dengan-Ku. Lalu, ia pun ingin cepat-cepat mendatangi-Ku.

Aku tak ingin cepat-cepat mencabut nyawanya, sebab ia tidak melihat apa pun selain Aku. Hal yang sama pun terjadi pada-Ku. Aku tak melihat selain darinya. Jika Aku melihatnya, maka melelehlah dirinya, kuruslah badanya, dan berhamburlah organ-organ tubuhnya.
Ketika ia mendengar Aku menyebutnya, kalbunya langsung tercerabut.

Aku banggakan ia pada malaikat-malaikat-Ku dan para penghuni langit-Ku. Lalu, rasa takut dan ibadahnya pada-Ku pun semakin bertambah. Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, sungguh Aku akan dudukkan dia di Surga Firdaus, Aku akan menyembuhkan dadanya dengan melihat-Ku sampai ia rela dan benar-benar rela!”

--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa asy-Syawq wa al-Uns wa ar-Ridha

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1250516478331617:0

Thursday, March 2, 2017

Belajar Ilmu Diam

Rasulullah SAW bersabda:

الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّيْنِ وَالصُّمْتُ أَفْضَلُ وَ الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ غَضْبَ الرَّبِّ وَالصَّمْتُ أَفْضَلُ وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ وَ الصَّمْتُ أَفْضَلُ وَالْجِهَادُ سَنَامُ الدِّيْنِ وَ الصَّمْتُ أَفْضَلُ
“Shalat adalah tiang agama, tetapi diam itu lebih utama.
Shadaqah dapat memadamkan murka Rabb, tetapi diam itu lebih utama.
Puasa adalah perisai dari siksa neraka, tetapi diam itu lebih utama.
Jihad itu puncaknya agama, tetapi diam itu lebih utama.”

Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda:
الصَّمْتُ أَرْفَعُ الْعِبَادَاتِ
“Diam adalah bentuk ibadah yang paling tinggi.” (HR. Ad-Dailami)

Maksud diam di sini adalah diam dari sesuatu yang tidak bermanfaat, baik dalam urusan agama maupun dunia, dan diam dari membalas omongan orang yang mencemooh kita.

Nah, diam yang seperti ini termasuk ibadah yang paling tinggi, sebab kebanyakan kesalahan itu timbul dari lisan. Adapun jika seseorang diam karena dia sendirian tanpa adanya orang lain yang memotivasinya untuk diam, maka diamnya bukan ibadah.

Rasulullah SAW juga bersabda :
الصَّمْتُ زَيْنٌ لِلْعَالِمِ وَ سِتْرٌ لِلْجَاهِلِ
“Diam itu adalah perasaan bagi orang ‘Alim dan selimut bagi orang bodoh.” (HR. Abu Syaikh, dari Muharriz)

الصَّمْتُ سَيِّدُ الْأَخْلَاقِ
“Diam itu adalah akhlak yang paling utama.”
الصَّمْتُ حِكَمٌ وَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ
“Diam itu mengandung hikmah yang banyak, tetapi sedikit orang yang melakukannya.” (HR. Qadha’I, dari Anas dan Dailami, dari Ibnu ‘Umar)

Oleh karena itu, ada syair yang mengatakan:
Wahai orang yang banyak bicara tanpa guna, kekanglah mulutmu
Sungguh kamu terlalu banyak bicara ke sana dan ke mari.
Sungguh kamu telah banyak berperan dalam keburukan
Mulai sekarang diamlah jika kamu ingin menjadi baik.

Rasulullah SAW bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ اَنْ تُجَاهِدَ نَفْسَكَ وَهَوَاكَ فِيْ ذَاتِ اللهِ
“Jihad yang paling utama adalah memerangi hawa nafsu karena Allah.” (HR. Ad-Dailami)

---Dikutip dari kitab Nashaihul 'Ibad karya Imam Nawawi Al-Bantani.

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1246770225372909:0