Sunday, May 29, 2016

Enam Kegagalan Mengenal Allah



https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1011989032184364:0

Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah menjelaskan tentang 6 aspek kegagalan manusia dalam mengenal Allah. Bahkan, menurutnya, meski pernyataan Al-Quran telah sangat jelas, namun masih banyak orang yang karena kebodohannya akan Allah, melanggar batas-batas tersebut.Diantara beberapa penyebab kebodohan dan kegagalan mereka adalah:

Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan dan pemikiran, lantas menyimpulkan bahwa Allah tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada yang menyebutnya dari keabadian. Mereka bagaikan orang yang melihat tulisan indah kemudian menyatakan bahwa tulisan itu ada dengan sendirinya tanpa ditulis siapa pun, atau memang sudah ada begitu saja. Mereka yang berpola pikir seperti ini telah jauh tersesat sehingga penjelasan dan perdebatan dengan mereka takkan bermanfaat sedikit pun.

Kedua, sejumlah orang yang, karena tidak mengetahui sifat jiwa yang sebenarnya, menolak adanya akhirat, tempat manusia akan dimintai pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau disiksa. Mereka anggap diri mereka sendiri tak lebih baik dari hewan atau sayuran, yang akan musnah begitu saja dan tidak akan dibangkitkan lagi.

Ketiga, ada orang yang percaya kepada Allah dan kehidupan akhirat, tetapi kepercayaannya itu lemah. Mereka berkata, “Allah itu Mahabesar dan tidak bergantung kepada kita; tak penting bagi-Nya apakah kita beribadah atau tidak.” Pikiran mereka itu seperti orang sakit yang, saat dokter memberinya nasihat penyembuhan, berkata, "Yah, kuikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu."

Memang tindakannya itu tidak berdampak apa-apa pada diri si dokter, tetapi pasti akan merusak dirinya sendiri. Sebagaimana penyakit jasad yang tak terobati akan membunuh jasad, penyakit jiwa yang tak tersembuhkan pun akan menyebabkan penderitaan di masa mendatang. Allah berfirman, “Orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.”

Keempat, kelompok orang kafir yang berkata, “Syariat mengajari kita untuk menahan amarah, syahwat, dan kemunafikan. Ini perintah yang musykil dilaksanakan, karena manusia diciptakan dengan sifat-sifat seperti itu. Itu sama saja dengan menuntut yang hitam agar menjadi putih.”

Orang bodoh seperti mereka sepenuhnya tidak melihat kenyataan bahwa syariat tidak mengajari kita untuk memusnahkan nafsu-nafsu ini, tetapi untuk meletakkan mereka dalam batas-batasnya.
Sehingga, dengan menghindari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw. bersabda, “Aku manusia sepertimu juga, dan aku marah seperti yang lain.” Dan dalam Alquran tertulis: “Allah mencintai orang yang menahan amarahnya.” (Q. 3: 134), bukan orang yang tidak punya amarah sama sekali.

Kelima, kelompok orang yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata, “Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf.” Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah maha mengampuni, jutaan manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Sebenarnya mereka tahu bahwa siapa saja yang ingin umur panjang, kemakmuran, atau kepintaran tak boleh sekadar berkata, “Tuhan Maha Pemaaf,” tetapi mesti berusaha dengan keras.
Meski Alquran mengatakan: “Rezeki semua makhluk hidup datang dari Allah,” di sana tertulis pula: “Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha.” (Q. 53: 39).

Keenam, kelompok orang yang mengaku telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga mereka tak lagi dipengaruhi dosa. Namun kenyataannya, saat orang lain memperlakukan salah seorang di antara mereka secara tidak hormat, ia akan mendendam selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak mendapat sebutir makanan yang menurutnya telah menjadi haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya.

Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsunya, mereka tak punya hak untuk membuat pengakuan semacam itu, mengingat para nabi – manusia paling mulia – pun selalu meratap mengakui dosa-dosa mereka. Sebagian kelompok ini bahkan begitu sombong sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal.

---Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya As-Sa'adah.

Wednesday, May 25, 2016

Pesan Imam Al Maturidi Tentang Percakapan

https://www.facebook.com/lutfi.ishak/posts/1192542510756401

Bicara dapat diertikan sebagai penjelasan yang mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam hati dan menyampaikan berbagai-bagai rahsia yang terpendam, di mana hal yang disampaikan tidak mungkin ditarik balik dan kesalahan yang terjadi (salah ucap) tidak mungkin untuk dibantah. Untuk itu, orang berakal harus menjaga diri dari kesalahan dalam berbicara dengan cara menahan diri dari berbicara atau mengurangkannya.

Nabi SAW bersabda, "Allah SWT memberi rahmat kepada orang yang berbicara tentang kebaikan, lalu ia mendapatkan keberuntungan; atau diam, lalu mendapatkan keselamatan. Baginda bersabda kepada Mu'adz, "Wahai Mu'adz, engkau akan selamat jika diam. Sedangkan bila engkau berbicara, boleh saja engkau beruntung dan boleh juga sebaliknya."

Ali bi Abi Thalib RA berkata, "Dari lidah dapat diketahui kebodohan dan kecerdasan seseorang." Ahli hikmah berkata, "Diamlah, maka engkau akan dianggap orang yang bijak, sama ada engkau pandai ataupun bodoh." Seseorang sasterawan berkata, "Berbahagialah orang yang lisannya menjadi benteng yang kuat (tidak berbicara) dan jika berbicara, perkataannya bermanfaat."

Seorang ulama berkata, "Yang dapat menyelamatkan orang berakal ialah ia tidak berbicara kecuali kerana suatu keperluan atau untuk menyampaikan alasan, dan tidak bertindak kecuali memikirkan akibatnya atau memikirkan akhiratnya."

Ahli balaghah berkata, "Diamlah, kerana ia akan memberikanmu cinta yang murni, melindungimu dari cercaan, menganugerahimu pakaian kewibawaan, dan memberimu waktu yang cukup untuk menghimpun banyak alasan."

Ahli bahasa berkata, "Ikatlah lidahmu kecuali untuk menyuarakan kebenaran, mematahkan kebatilan, menebar hikmah, atau untuk mengingat nikmat yang diterima."

Imam al-Mawardi
Adab al-Dunya wal-Din
Disalin dari terjemahan Indonesia oleh Ahmad Farid Nazori dengan beberapa penyesuain ke bahasa Melayu.


Monday, May 23, 2016

Para ahli Tasawuf dan Tareqat perlu memiliki ilmu

https://www.facebook.com/alkhalidisufiorder/posts/10154014987812247

ILMU (Bab2).

Hukum mempelajari ilmu pengetahuan

Dari segi hukum syariatnya, ilmu dapat dibahagi kepada tiga kategori, yakni ilmu yang diperintahkan untuk dipelajari, ilmu yang dilarang untuk dipelajari dan ilmu yang disunnahkan untuk dipelajari.

a. Ilmu-ilmu yang diperintahkan untuk dipelajari.
Ilmu-ilmu yang diperintahkan untuk dipelajari dibahagi kepada dua kategori, yakni yang Fardhu ‘ain dan yang Fardhu kifayah. Ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori Fardhu ‘ain adalah semua ilmu yang setiap mukalaf harus mempelajarinya.

Sebelum menghuraikan kategori ilmu-ilmu yang tergolong dalam fardhu ‘ain ini, terlebih dahulu kita harus memahami kaedah-kaedah dasar yang berkaitan dengannya. Diantaranya adalah kaedah, “sesuatu yang menjadi bahagian terpenting bagi sempurnanya kewajiban, maka ia menjadi wajib.”

Kaedah yang lain lagi adalah, “ilmu itu mengikuti isinya.” Ilmu yang menghantarkan sesuatu kepada yang wajib, hukumnya menjadi wajib. Dan ilmu yang menghantarkan kepada yang sunnah menjadi sunnah.
Berpegang kepada kaedah-kaedah ini, berikut penulis menghuraikan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap mukalaf:

1- Mempelajari akidah Ahli Sunnah beserta dalil-dalinya secara global (keseluruhan) dalam setiap masalah keimanan, agar dia dapat keluar dari jerat taklid dan menjaga imannya dari pengaruh orang-orang kafir dan orang-orang sesat yang senantiasa menghembuskan keraguan terhadap imannya.

2- Mempelajari ilmu-ilmu yang menjadikan seorang mukalaf dapat menunaikan ibadah-ibadah yang diwajibkan kepadanya, seperti solat, zakat, haji, puasa dan lainnya.

3- Orang yang melakukan pelbagai muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, pernikahan, penceraian dan lainnya, wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, agar dapat menghindari yang haram dan patuh kepada syariat.

4- Mempelajari keadaan-keadaan hati, seperti tawakal, takut dan redha. Sebab seorang muslim akan berhadapan dengan keadaan-keadaan hati itu sepanjang umurnya.

5- Mempelajari semua akhlak yang baik dan akhlak yang tercela, agar dia dapat melaksanakan akhlak yang baik, seperti tawakal kepada Allah, redha kepadaNya, pasrah kepadaNya, rendah hati, penyantun dan lainnya, serta menghindari akhlak tercela, seperti sombong, dendam, kikir (kedekut), dengki, riak dan lainnya. Dengan demikian, dia dapat berjuang melawan hawa nafsunya dan meninggalkannya. Hukum berjuang melawan hawa nafsu adalah wajib bagi setiap mukalaf.

Dan itu tidak mungkin dapat tercapai kecuali dengan adanya pengetahuan tentang akhlak-akhlak yang terpuji dan yang tercela, serta pengetahuan tentang teknik-teknik berjuang melawan hawa nafsunya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sufi yang terkenal.

Oleh kerana itu, Abu Hasan asy-syadzili berkata, “Barangsiapa tidak menyelam dalam ilmu kami ini (Tasawuf), maka dia akan mati dalam keadaan melakukan dosa besar, sedang dia tidak menyedarinya.”

Kita tahu bahawa dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji ada yang bersifat lahiriah, seperti zina dan meminum minuman keras, dan ada yang bersifat batin, seperti sombong dan kemunafikan. Oleh kerana itu, Allah melarang kita dari keduanya, sebagaimana terakam dalam, “Dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi.” (Al-An’am:151)

Orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji yang nampak akan bertaubat, kerana dia mengetahui bahayanya. sedangkan orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji yang tidak nampak, kadang hidup dalam waktu yang lama tanpa berfikir untuk bertaubat, kerana dia tidak mengetahui hukumnya atau tidak merasakannya.

Sedangkan ilmu-ilmu yang tergolong dalam Fardhu kifayah adalah semua ilmu yang apabila telah dipelajari oleh sebahagian orang, maka kewajiban bagi yang lainnya gugur. Dan apabila tidak seorang pun mempelajarinya, semua berdosa.

Ilmu-ilmu yang tergolong dalam Fardhu kifayah adalah ilmu-ilmu yang kebaikan umat bergantung padanya, seperti mendalami ilmu fiqh diatas kadar keperluan. Demikian juga ilmu tafsir, hadis, usulfiqh, akidah, ilmu hisab, ilmu kedoktoran/perubatan, ilmu ekonomi, ilmu persenjataan dan lainnya.

(Haqaiq Anil Tasawuf)


Saturday, May 21, 2016

Wushul (Sampai) Kepada Allah Menurut Syaikh Ibnu Atha'illah

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1007518289298105:0

“Wushul (sampai) kepada Allah adalah sampaimu kepada pengetahuan tentang-Nya, karena mustahil Allah disentuh atau menyentuh sesuatu.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.

Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa sampainya kita kepada Allah, seperti diisyaratkan oleh ahli tarekat, adalah sampainya kita kepada penyaksian-Nya dengan mata batin kita. Inilah yang disebut dengan penyaksian langsung atau ‘ilmul-yaqiin terhadap tajalli (penampakan) Allah dan limpahan kasih sayang-Nya.

Penyaksian ini juga disebut sebagai perkenalan langsung dengan mata batin dan perasaan fitrah. Para ahli syuhud berbeda-beda dalam mendapatkannya. Ada yang mendapatkan tajalli perbuatan Allah. Disini, perbuatan mereka dan perbuatan selain mereka sirna melebur dalam perbuatan Allah. Mereka tidak melihat sosok pelaku sebuah perbuatan, kecuali Allah. Pada kondisi ini, mereka akan keluar dari ikhtiar dan usaha. Ini adalah tingkatan pertama sampainya seseorang kepada Allah (wushul).

Ada pula yang mendapatkan tajalli sifat-sifat Allah. Disini mereka akan berdiri penuh pengagungan dan kerinduan terhadap apa yang dilihat oleh mata batin mereka, berupa keagungan dan keindahan Allah. Ini adalah tingkatan kedua sampainya seseorang kepada Allah.

Di antara mereka ada yang sampai kepada maqam kefanaan. Batinnya berisi cahaya keyakinan dan musyahadah. Ketika syuhud, ia tidak lagi merasakan wujud dirinya. Ini adalah tajalli dzat yang berlaku pada kaum khusus dan orang-orang muqarrabin. Ini adalah tingkatan ketiga dalam wushul.

Di atasnya lagi ada tingkatan haqqul yaqiin. Di dunia, tingkatan ini terjadi dalam bentuk lamh (pandangan sekilas), yaitu mengalirnya cahaya musyahadah di sekujur tubuh seorang hamba sampai ruhnya pun turut mendapatkannya, demikian pula kalbu dan jiwa-nya. Ini adalah tingkatan tertinggi wushul.

Dalam kitab ‘Awarif al-Ma’arif disebutkan, “Jika segala hakikat telah diraih, seorang hamba dengan ahwalnya yang mulia ini akan mengetahui bahwa dirinya masih berada di tingkat pertama. Lalu, bagaimana dengan wushul haqiqi (wushul secara fisik)? Mustahil, karena jalan wushul tidak akan pernah terputus selamanya, sepanjang usia akhirat yang abadi. Lantas, bagaimana mungkin wushul haqiqi itu terjadi di umur dunia yang pendek ini?

Jadi, yang dimaksud dengan wushul adalah sampainya kita kepada pengetahuan tentang Allah dengan media perasaan dan fitrah. Jika pengertiannya tidak demikian, berarti wushul kita tidak benar, karena Allah tidak mungkin menyentuh atau disentuh sesuatu secara lahir dan batin. Bagaimana mungkin Dzat yang tidak ada bandingnya akan bersentuhan dengan sesuatu yang memiliki bandingan. Padahal, syarat terjadinya persentuhan adalah adanya kesamaan sifat di antara keduanya. Sedangkan, secara mutlak tak ada kesamaan antara Dzat Yang Maha Sempurna dengan sesuatu yang tidak sempurna atau kurang sempurna.

Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam juga mengatakan: “Kedekatanmu dengan-Nya adalah ketka engkau menyaksikan-Nya mendekatimu, karena bagaimana mungkin engkau bisa mendekati-Nya?”

Menurut Syekh Syarqawi, kedekatan kita kepada-Nya adalah ketika kita menyaksikan-Nya secara maknawi sehingga engkau merasa sangat diawasi oleh-Nya. Buahnya adalah, engkau akan terdorong untuk selalu bersikap sopan saat ada di hadirat-Nya. Jadi, hal yang penting di sini adalah bagaimana engkau menyaksikan kedekatan-Nya. Dengan penyaksian ini, kau merasa diawasi dan dikuasai oleh rasa takut yang akan mendorongmu untuk bersikap sopan saat bertamu kepada-Nya. Inilah pengertian kedekatan seorang hamba dengan Allah; dan tidak mungkin makhluk dapat mendekati-Nya secara nyata.”

--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

Friday, May 20, 2016

Syariat Sebagai Dasar Tasawuf





Imam Al Ghazali mengatakan: "Ketahuilah bahwa banyak orang yang mengaku, dia adalah menempuh jalan (tarikat) kepada Allah, tapi yang sesungguhnya, yang bersungguh-sungguh menempuh jalan itu adalah sedikit. Adapun tanda orang yang menempuh jalan yang sungguh-sungguh dan benar, diukur dari kesungguhannya melaksanakan syariat.

Kalaupun ada orang yang mengaku bertasawuf dan bertarikat dan telah menampakkan semacam kekeramatan-kekeramatan, melalaikan atau tidak mengamalkan syariat, ketahuilah bahwa itu adalah tipu muslihat, sebab orang yang bijaksana (orang tasawuf) mengatakan, "Jika engkau melihat seseorang mampu terbang di angkasa dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwa sebenarnya ia itu adalah setan."

Abu Yazid Al Bustami juga mengatakan, "Jika kau melihat seseorang yang diberi kekeramatan hingga dapat naik ke udara, maka janganlah kamu tertipu dengannya sehingga kamu dapat melihat dan meneliti bagaimana dia melaksanakan perintah dan larangan agama serta memelihara ketentuan-ketentuan hukum agama dan bagaimana dia melaksanakan syariat agama."

Demikian pula Sahl at Tasturi, beliau mengungkapkan tentang pokok-pokok tasawuf yang terdiri dari tujuh pokok jalan (tarikat), yaitu berpegang kepada Al Kitab (Al Qur'an), mengikuti Sunnah Rasul, makan dari hasil yang halal, mencegah gangguan yang menyakiti, menjauhkan diri dari maksiat, selalu melazimkan tobat dan menunaikan hak-hak orang lain.

Imam Al-Junaidi pernah mengomentari orang yang mengaku ahli makrifat tetapi dalam gerak geriknya meninggalkan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan mendekatkan diri kepada Allah, maka beliau mengatakan "Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan".

Selanjutnya beliau juga mengatakan, "Ucapan itu adalah ucapan suatu kaum yang mengatakan adanya pengguguran amalan-amalan. Bagiku hal itu merupakan suatu kejahatan yang besar, dan orang yang mencuri atau orang yang berzina adalah lebih baik daripada orang yang berpaham seperti itu."

Syekh Abu Hasan As-Syazili mengatakan, "Jika pengungkapanmu bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul, maka hendaklah engkau berpegang kepada Al Qur'an dan Sunnah Rasul itu, sambil engkau mengatakan kepada dirimu sendiri "sesungguhnya Allah SWT telah menjamin diriku dari kekeliruan dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul". Allah tidak menjamin dalam segi pengungkapan, ilham, maupun musyahadah (penyaksian), kecuali setelah menyesuaikan perbandingannya dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasul."

Sebagai kesimpulan, semua pengamalan kaum sufi harus mengikuti semua Nash Al Qur'an dan Sunnah dan meneladani amaliah-amaliah Rasulullah, sebagai panutan tertinggi para sufi.

Nabi SAW pernah ditanya tentang suatu kaum yang meninggalkan amalan-amalan agama, sedangkan mereka adalah orang-orang yang berbaik sangka kepada Allah SWT. Maka, Nabi SAW menjawab, "Mereka telah berdusta. Karena jika mereka berbaik sangka, tentu amal perbuatan mereka juga adalah baik."

--Al-Munqidz min Ad-Dhalal, karya Dr. Abdul Halim Mahmud.

Allah Yang Menentukan Bila Kau Wushul KepadaNya

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1007490082634259:0

“Jika engkau yakin bahwa kau hanya akan sampai kepada Allah setelah lenyapnya semua keburukanmu dan sirnanya semua hasratmu, maka engkau selamanya tak akan sampai kepada-Nya. Tetapi, jika Dia menghendakimu sampai kepada-Nya, Dia akan menutupi sifatmu dengan sifat-sifat-Nya dan watakmu dengan watak-Nya, Dia membuatmu sampai kepada-Nya dengan kebaikan yang diberikan-Nya kepadamu, bukan dengan kebaikan yang kaupersembahkan kepada-Nya.”
—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.

Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa engkau tak akan sampai kepada-Nya sekalipun kau melakukan riyadhah (olah batin) dan mujahadah berusaha menghilangkan aib dan semua keinginan yang tak layak bagimu, seperti keinginan untuk meraih kekuatan, kehormatan, kekayaan,dan kekuasaan. Itu adalah sifat-sifat inti dan watak yang sudah melekat pada seorang hamba dan tak dapat terlepas darinya. Wushul (sampai) kepada Allah adalah anugerah-Nya yang diberikan kepadamu, bukan karena usahamu sendiri.

Hal ini pernah diisyaratkan Allah dalam sebuah hadis Qudsi: “Hamba-hamba-Ku terus mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sampai Aku mencintainya. Dan, jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang digunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang digunakan untuk memukul, dan menjadi kakinya yang digunakan untuk berjalan.”

Syekh Asy-Syadzili mengatakan: “Seorang wali tidak pernah sampai (wushul) kepada Allah selama dia memiliki syahwat, keinginan, dan pilihan. Walaupun Allah sudah memberi jalan baginya, dia tetap tidak akan sampai kepada-Nya. Namun, jika Allah menginginkan untuk mendekatkan hamba itu kepada-Nya, Dialah yang akan mengaturnya, yaitu dengan menampakkan sifat-sifat-Nya yang tinggi dan suci sehingga akan menghilangkan sifat-sifat hamba-Nya yang buruk. Saat itu, hamba tersebut tidak lagi memiliki keinginan dan pilihan, kecuali yang dipilihkan dan diinginkan Al-Haqq.”

--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

Dialog Nabi Isya Dengan Iblis

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1006990706017530

Nabi Isa a.s. pernah bertanya kepada Iblis,”Siapakah makhluk yang paling kamu sukai?”
Iblis menjawab,“Mukmin yang bakhil.”
Nabi Isa a.s. bertanya,“Siapa yang paling kamu benci?”
Iblis menjawab,“Orang fasik yang dermawan.”
Nabi Isa a.s. bertanya lagi,”Mengapa begitu?”
Iblis menjawab,” Karena aku berharap mukmin yang bakhil itu terjerumus ke dalam kemaksiatan karena sifat bakhilnya. Sebaliknya, aku takut seandainya orang fasik yang dermawan itu terhapus dosa-dosanya karena kedermawanannya.
Sibukkanlah dirimu dengan urusan dunia hanya untuk dunia. Sesungguhnya usaha dan pekerjaan disyariatkan agar manusia dapat menolong dirinya untuk taat kepada Allah SWT.

Sementara itu, apabila engkau bekerja, dan pekerjaanmu malah mendorongmu untuk berlaku maksiat (misalnya, meninggalkan shalat dan tidak tidak berbuat baik serta tidak mengeluarkan zakat), berarti engkau berada dalam kemaksiatan, bukan dalam ketaatan. Usaha yang engkau lakukan tak ubahnya seperti rampok. Tidak lama lagi kematian akan datang. Dengan kematian itu berbahagialah orang mukmin, dan bingunglah orang kafir dan munafik. Nabi Saw bersabda, “Apabila seorang mukmin meninggal, dia berangan seakan dirinya berada di dunia dan tidak pernah sesaat pun dia melihat pada dunia karena telah melihat kemuliaan yang Allah berikan untuk dirinya.”

-- Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahman

Doa Agar Terbebas Dari Hutang

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1006884052694862

Suatu ketika sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyaallahu ‘anhu terlambat shalat Jumat. Ketika ditanya oleh Rasulullah atas keterlambatannya dia menuturkan bahwa dirinya memiliki utang kepada Yohana, seorang Yahudi. Orang Yahudi tersebut berdiri di depan rumah menunggunya keluar untuk menagih, sementara dia sama sekali tidak mempunyai uang untuk membayar utang tersebut.

Akhirnya, dia pun tidak bisa segera keluar untuk pergi shalat Jumat. Maka Rasulullah bersabda, “Wahai Mu'adz maukah Allah melunasi utangmu?”
Mu’adz langsung menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah ayat ini: [Nabi lalu membaca Al-Quran Surah Ali Imran: 26-27].

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ
وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ
تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير
ٌ تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ
وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ
مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Qulillahumma mâlikal-mulki, tu`til-mulka man tasyâ`u watanzi'ul-mulka mim man tasyâ`u, watu'izzu man tasyâ`u watudzillu man tasyâ`u, biyadikal-khairu `innaka 'alâ kulli syai`in qadîr, tûlijul-laila fin-nahâri, watûlijun-nahâra fillail, watukhrijul-hayya minalmayyiti, wa tukhrijul mayyita minal-hayyi, watarzuqu man tasyâ`u bighairi hisâb.

"Katakanlah, ‘Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau memulyakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau menghinakan orang yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkau-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau memasukkan malam ke dalam siang dan Engkau memasukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau memberi rezeki kepada orang yang Engkau kehendaki tanpa batas.’” (QS Ali Imran: 26-27).

Lalu beliau juga bersabda, “Bacalah doa ini:
رَحْمَانَ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَرَحِيْمَهُمَا ، تُعْطِيْ مَا تَشَآءُ وَتَمْنَعُ مِنْهُمَا مَا تَشَآءُ ، إِقْضِ عَنِّيْ دَيْنِيْ .
rahmânad-dunyâ wal`âkhirati warahîmahumâ, tu'thî min humâ mâ tasyâ`u watamna'u minhumâ mâ tasyâ`u, `iqdhi 'annî dainî.

“Wahai yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang di dunia dan akhirat, Engkau berikan dari dunia dan akhirat itu apa saja sekehendak-Mu dan Engkau pun tidak memberikan dari keduanya apa saja yang Engkau kehendaki. Lunasilah utangku.’

Maka, meskipun utangmu sebesar bumi, niscaya Allah melunasinya.” (HR At-Thabrani).

Thursday, May 19, 2016

Kisah Tauladan

https://www.facebook.com/haslinda.sarip/posts/10207797576050620

Hassan Al Basri merupakan seorang ulama dan ahli perniagaan. Beliau ada 2 orang anak lelaki. Sebelum beliau meninggal, beliau telah memanggil kedua anak lelaki nya, lalu berpesan,..

Bila ayah telah tiada lagi di dunia ini, kamu berdua hendaklah meneruskan perniagaan ayah. Cuma ada 2 perkara ayah nak pesan;

1. Bila kamu berniaga, jangan kutip hutang.
2. Bila kamu berniaga, jangan kena matahari.

Lalu Hassan Al Basri pun meninggal dunia. Masa berlalu dan selang beberapa tahun, perniagaan si adik semakin merosot dan terus merosot. Manakala perniagaan si abang semakin maju dan maju.

Satu hari si Ibu (balu Hassan Al Basri) memanggil anak nya si adik. Lalu bertanya,

Si ibu : Wahai adik, kenapa perniagaan mu semakin hari semakin merosot ?

Jawab si adik: Saya ikut pesan ayah.

Si ibu : Apa ayah mu pesan ?

Jawab si adik :
Ayah berpesan, kalau berniaga jangan kutip hutang. Jadi, semua yang berhutang dengan saya, saya tak pernah minta bayaran. Kalau mereka nak bayar, mereka bayar. Kalau mereka tak bayar, saya tak kan kutip bayaran.
Ayah pesan lagi, kalau berniaga, jangan kena matahari. Jadi saya kalau kemana mana mesti bawa payung. Jadi saya tak kena matahari sebagaimana pesan ayah.

Kemudian, si ibu pergi berjumpa dengan si abang pula, lalu bertanya.

Si ibu : Wahai abang, ibu lihat perniagaan mu semakin hari semakin maju, apa yang kamu lakukan ?

Jawab si abang : Saya ikut pesan ayah.

Si ibu : Apa ayah mu pesan ?

Jawab si abang:
Ayah pesan, kalau berniaga jangan kutip hutang. Jadi, semua saya jual tunai. Maka, tak ada orang berhutang dengan saya. Saya ikut pesan ayah, saya tak perlu kutip hutang. Semua bayar tunai.
Kedua , ayah pesan. Jangan kena matahari. Jadi saya keluar ke kedai waktu subuh. Lepas solat subuh, saya tak tidur, terus ke kedai. Malam baru saya pulang ke rumah. Jadi, saya tak kena matahari.

💞 Moral of the story
``````````````````````````````````````````
Perbezaan mentafsir sesuatu perkara menjadikan arah hidup yang berbeza. Kalau kita kata ibadah itu hanya lah di tikar sembahyang semata-mata, nanti kita akan meninggalkan kewajipan mencari nafkah terhadap keluarga, kewajipan terhadap negara dan ummah keseluruhan nya.

Jadi, belajar lah dari ramai guru, banyak membaca untuk tambahkan ilmu, minta Allah swt beri petunjuk, mohon Allah swt bimbing kehidupan kita, semoga Allah swt memberikan taufik dan hidayah.

Mudah mudahan, dengan kefahaman yang betul, kita di muliakan oleh Allah swt di dunia dan di akhirat. Nabi Muhammad sa, pernah bersabda;

"Siapa yang Allah swt mahu kan kebaikan bagi diri nya, akan di fahamkan pada agamanya dengan sebenar benar kefahaman".

Ustaz Muhammad Abdullah Al Amin
Pesona D'Zahrah
IKIMfm.

Wasiat Syaikh Ibn Atha'illah Tentang Umur dan Rezeki

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1006710069378927

"Jika engkau telah berusia empat puluh tahun, maka segeralah untuk memperbanyak amal shaleh siang maupun malam. Sebab, waktu pertemuanmu dengan Allah 'Azza wa Jalla semakin dekat. Ibadah yang kau kerjakan saat ini tidak mampu menyamai ibadah seorang pemuda yang tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Bukankah selama ini kau sia-siakan masa muda dan kekuatanmu. Andaikata saat ini kau ingin beramal sekuat-kuatnya, tenagamu sudah tidak mendukung lagi.

Maka, beramallah sesuai kekuatanmu. Perbaikilah masa lalumu dengan banyak berdzikir, sebab tidak ada amal yang lebih mudah dari dzikir. Dzikir dapat kamu lakukan ketika berdiri, duduk, berbaring maupun sakit. Dzikir adalah ibadah yang paling mudah.
Rasulullah saw bersabda :
وليكن لسانك رطبا بذكر اللّه
Dan hendaklah lisanmu basah dengan berdzikir kepada Allah swt.
Bacalah secara berkesinambungan doa' dan dzikir papa pun yang mudah bagimu. Pada hakikatnya engkau dapat berdzikir kepada Allah swt adalah karena kebaikannya. Ia akan mengaruniamu…..

"Ketahuilah, sebuah umur yang awalnya disia-siakan, seyogyanya sisanya dimanfaatkan. Jika seorang ibu memiliki sepuluh anak dan sembilan diantaranya meninggal dunia. Tentu dia akan lebih mencintai satu-satunya anak yang masih hidup itu. Engkau telah menyia-nyiakan sebagian besar umurmu, oleh karena itu jagalah sisa umurmu yang sangat sedikit itu.

Demi Allah, sesungguhnya umurmu bukanlah umur yang dihitung sejak engkau lahir, tetapi umurmu adalah umur yang dihitung sejak hari pertama engkau mengenal Allah swt.

"Seseorang yang telah mendekati ajalnya ( berusia lanjut ) dan ingin memperbaiki segala kekurangannya di masa lalu, hendaknya dia banyak membaca dzikir yang ringkas tetapi berpahala besar. Dzikir semacam itu akan membuat sisa umur yang pendek menjadi panjang, seperti dzikir yang berbunyi :
سبحان اللّه العظيم وبحمده عدد خلقه ورضانفسه وزنة عرشه ومداد كلماته
Maha suci Allah yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya, ( kalimat ini kuucapkan ) sebanyak jumlah ciptaan-Nya, sesuai dengan yang ia sukai, seberat timbangan Arsy-Nya dan setara dengan jumlah kata-kata-Nya.

Jika sebelumnya kau sedikit melakukan shalat dan puasa sunah, maka perbaikilah kekuranganmu dengan banyak bershalawat kepada Rasulullah saw. Andaikata sepanjang hidupmu engkau melakukan segala jenis ketaatan dan kemudian Allah swt bershalawat kepadamu sekali saja, maka satu shalawat Allah ini akan mengalahkan semua amalmu itu.

Sebab, engkau bershalawat kepada Rasulullah sesuai dengan kekuatanmu, sedangkan Allah swt bershalawat kepadamu sesuai dengan kebesaran-Nya. Ini jika Allah swt bershalawat kepadamu sekali, lalu bagaimana jika Allah swt membalas setiap shalawatmu dengan sepuluh shalawat sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah Hadits Shahih, "Betapa indah hidup ini jika kau isi dengan ketaatan kepada Allah swt, dengan berdzikir kepada-Nya dan bershalawat kepada Rasulullah saw."

Semoga bermanfaat!
Selamat berdzikir.

Wednesday, May 18, 2016

Hadith Qudsi Untuk Hari Yang Diberhahi



https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1006053046111296:0

Abu Dzar al-Ghifari ra. meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah SWT berfirman :
يَا عِبَادِيْ إِنِيْ حَرَّمَتْ الظُلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَاتَظَالَمُوْا
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharmkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan Aku jadikan kezhaliman diantara kalian sebagai sesuati yang diharamkan, maka janganlah kalian saling berbuat zhalim.”

يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ ضَالٌ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُوْنِيْ أَهْدِكُمْ

“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua dalam keadaan tersesat kecuali orang yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku, niscaya Aku akan beri kalian hidayah.”

يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِيْ أُطْعِمْكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua lapar, kecuali orang yang telah aku beri mareka makan, maka mintalah makan kepada-Ku, Niscaya Aku akan beri kalian makan.”

يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِيْ أُكْسِكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua telanjang, kecuali orang yang telah aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya aku akan beri kamu pakaian.”

يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُنُوْبَ جَمِيْعًا فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْ لَكُمْ

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian melakukan kesalahan pada siang dan malam hari, sedangkan saya lah yang mengampuni semua dosa, maka minta ampunlah kepada-Ku, Saya akan ampuni kalian.”

يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضَرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِيْ

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan mampu melakukan kemudharatan yang bisa memberikan kemudharat kepada-Ku, dan sekali-kali kalian tidak akan mampu melakukan manfaat yang bisa memberikan manfaat kepada-Ku.”

يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ اَوَّلَكُمْ و آخِرَكُمْ وَ إِنْسَكُمْ وَ جِنَّكُمْ كاَنُوْا عَلَى اْتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا

“Wahai hamba-hamba-Ku, jikalau kalian yang terdahulu dan yang terakhir dari manusia dan jin semuanya memiliki (hati sebagaimana) hati orang yang paling taqwa, maka hal itu tidak akan menambah (keagungan) sedikitpun di dalam kerajaan-Ku.”

يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَ إِنْسَكُمْ وَ جِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَفْجَر قَلْب رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مُكْلِيْ شَيْئَا

“Wahai hamba-hamba-Ku, jikalau kalian yang terdahulu dan yang terakhir dari manusia dan jin semuanya memiliki (hati sebagaimana) hati orang yang paling durhaka, maka hal itu tidak akan mengurangi (kemuliaan) sedikitpun di dalam kerajaan-Ku.”

يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَ إِنْسَكُمْ وَ جِنَّكُمْ قَامُوْا فِيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسْأَلُوْنِيْ فَأَعْطَيْتُهُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِيْ إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ المَخِيْطُ إذَا أُدْخلَ البَحْرَ

"Wahai hamba-hamba-Ku, jikalau kalian yang terdahulu dan yang terakhir dari manusia dan jin semuanya berada di suatu lapangan, kemudian mereka meminta kepada-Ku, lalu Aku memberi kepada setiap orang sesuai dengan permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi (sedikit pun) kekayaan yang ada pada-Ku, kecuali seperti halnya air yang menempel pada sebuah jarum ketika jarum tersebut dimasukkan ke dalam lautan.”

يَا عِبَادِيْ إنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمِدْ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya amal kalian itulah yang akan Aku hisab, kemudian Aku memberi balasannya secara sempurna. Maka barang siapa menemukan balasan yang baik, hendaknya dia memuji Allah; dan barang siapa menemukan balasan yang buruk, maka janganlah sekali-kali mencela, kecuali terhadap dirinya sendiri.”

---Imam Nawawi Al-Bantani, kitab Nasha'ihul Ibad

Tuesday, May 17, 2016

Saat Rasulullah Mengajarkan Doa Kepada Sahabat



https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1005558439494090:0

Suatu hari Rasulullah SAW memanggil sahabat bernama Buraidah dan mengajarkan doa berikut ini:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ ضَعِيْفٌ فَقَوِّ فِيْ رِضَاكَ ضَعْفِيْ وَخُذْ إِلَيَّ الْخَيْرَ بِنَاصِيَتِيْ وَاجْعَلِ الْإِسْلَامَ مُنْتَهَى رِضَائِيْ اَللَّهُمَّ إِنِّيْ ضَعِيْفٌ فَقَوِّنِيْ وَإِنِّيْ ذَلِيْلٌ فَأَعِزَّنِيْ وَإِنِّيْ فَقِيْرٌ فَارْزُقْنِيْ

Allâhumma inî dha’îfun faqawwinî fî ridhâka dha’fî, wa khudz ilayyal khaira binâshiyatî waj’alil islâma muntaha ridhâ’î. Allâhuma innî dha’îfun faqawwinî wa innî dzalîlun fa-a’izzanî wa innî faqîrun farzuqnî

“Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba yang lemah, maka dengan ridhamu berilah aku kekuatan dan giringlah pikiranku pada kebaikan, jadikanlah Islam sesuatu yang paling kuridhai. Ya Allah, sesungguhnya aku ini hamba yang lemah maka berilah aku kekuatan, aku juga hamba yang hina maka jadikanlah aku mulia dan aku adalah hamba yang fakir maka berilah aku rezeki.” (HR. Al-Hakim)

Rasulullah SAW berkata pada Buraidah bahwa siapa saja yang mengamalkannya, Allah SWT akan menjadikannya orang yang selalu dalam kebaikan dan pandai dalam memahami agama. Doa itu pun diamalkan Buraidah dan sejarah mencatat (dalam kitab Siyar A’lâmi An-Nubalâ’ karya Adz-Dzahabi) ia termasuk golongan sahabat yang ahli fikih dan cerdas dalam berijtihad.

Buraidah ibn Al-Hashib adalah salah satu sahabat yang sering mendapat nasihat langsung dari Rasulullah SAW. Ia termasuk salah satu sahabat yang secara pribadi mendapat perhatian khusus dari Rasulullah. Ia juga memiliki hubungan khusus dengan Rasulullah. Bahkan, tanpa basi-basi Rasulullah SAW pernah menegur langsung atas sikapnya yang kurang pas.

Tentu, tidak akan semua dialog Nabi dan sahabatnya dapat terekam dalam hadis, apalagi jika sahabat itu memiliki kedekatan dengan Rasulullah. Lalu, para ahli hadis beberapa abad berikutnya baru meneliti dan menelusuri rekam jejak peristiwa di zaman Nabi untuk memasukkannya dalam kitab hadis dengan standar dan kualifikasi hadis yang mereka anut. Maka, dari itu, dituntut sikap kehati-hatian untuk memahami hadis, tidak boleh sembarangan menolak hadis gara-gara sanad yang dianggap lemah, tidak boleh menganggap hadis dhaif sebagai sesuatu yang ditolak, sebab boleh jadi kualifikasi dan penilaian kita salah.

Dalam riwayat Al-Bukhari dikisahkan bahwa pernah Buraidah menunjukkan rasa marahnya pada Ali ibn Abi Thalib karena mengambil tawanan perang sebagai budaknya. Melihat sikap Buraidah seperti itu, Rasulullah saw. menegurnya. Jika kita menganggap Buraidah salah atau Sayyidina Ali yang salah, tentu kita bisa terjebak pada hal yang salah. Karena itu, dituntut pemahaman menyeluruh tentang hadis dan asbabul-wurudnya.

Di kesempatan lain, Rasulullah saw. pernah mengajari Buraidah secara langsung tentang doa setelah bangun dari rukuk. Ini terekam dalam hadis. Namun, bukankah banyak nasihat Nabi kepada Buraidah yang tidak terekam oleh hadis dan baru terditeksi berabad-abad berikutnya.

Ada pula kisah menarik. Suatu ketika pernah Buraidah berjalan sendirian melintasi masjid Nabawi. Tapi, ia merasa dibuntuti seseorang, ia pun terhenyak setelah tahu bahwa orang itu ternyata Rasulullah SAW. Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba Rasulullah menarik lengan Buraidah dan mengajaknya mengendap-endap untuk melihat seseorang yang sedang shalat khusyuk di dalam masjid. Usai shalat orang itu berdoa (dan Rasulullah saw. maupun Buraidah mendengarnya),
أَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ أَنِّيْ أَشْهَدُ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ وَحْدَكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ اَلأَحَدُ الْفَرْدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ تَلِدْ وَلَمْ تُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَكَ كُفُوًا أَحَدٌ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu, aku bersaksi bahwa Engkaulah Allah, Dzat yang tidak ada Tuhan selain Engkau. Engaku Esa dan tiada suatu pun sekutu bagi-Mu. Engkau Maha Tunggal, tempat meminta segala sesuatu yang mana Engkau tidak beranak, tidak diperanakkan dan tiada suatu pun yang setara dengan-Mu.”

Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas genggaman tangan Buraidah dan berkata, “Wahai Buraidah, tahukah kamu apa yang kulihat dari orang itu?” Buraidah menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian beliau berkata, “Orang itu telah memohon pada Allah swt. dengan salah satu asma-Nya yang jika diucapkan dalam doa, apa pun permintaannya akan dikabulkan.”

Usai berdoa, orang itu keluar dari masjid. Betapa kagetnya, Buraidah setelah tahu orang itu ternyata adalah Abu Musa Al-‘Asy’ari.

Begitu banyak model pendidikan yang diperkenalkan Rasulullah kepada sahabat di zamannya. Hingga setiap sahabat di masa itu merasa dekat dengan Rasul karena kehebatan beliau sebagai pemimpin, pembimbing, atau sebagai kawan dekat. Dari kisah ini dapat kita tangkap bahwa sangat dimungkinkan Nabi mengajarkan doa khusus kepada sahabat dengan redaksi yang berbeda. Lalu, dari beberapa generasi sesudahnya baru terekam oleh ahli hadis, atau justru tak dianggap sebagai hadis karena kurangnya bukti filologis. Atau mungkin, ulama 4 abad berikutnya justru mendapat ilham melalui mimpi berupa doa, wirid atau dzikir dari Rasul yang mungkin isinya senada dengan doa yang pernah diajarkan Rasul kepada sahabat di zamannya.

Moga kisah ini bermanfaat dan menambah ilmu kita tentang hadis meski dari gambaran yang sederhana.
Salam

Halim Ambiya
Pendiri dan Admin Tasawuf Underground

Monday, May 16, 2016

Kisah Tauladan

https://www.facebook.com/140460102634891/photos/a.786131588067736.1073741827.140460102634891/1295598277121062/?type=3

jenazah_13178649_1295598277121062_1998247913869063563_n

Pada zaman Imam Malik, terdapat seorang wanita yg buruk akhlaknya. Dia selalu tidur bersama lelaki & tidak pernah menolak ajakan lelaki (pelacur).

Tiba pada hari kematiannya, ketika mayatnya dimandikan oleh seorang wanita yg kerjanya memandikan mayat, tiba2 tangan si pemandi mayat itu terlekat pada batang tubuh jenazah wanita itu. Semua penduduk & Ulama' gempar akan hal itu. Mana tidaknya, tangan si pemandi mayat terlekat sehingga semua orang di situ mati akal untuk melepaskan tangannya dari mayat wanita terbabit.

Terdapat berbagai cadangan & pandangan untuk menyelesaikan masalah itu. Akhirnya ada 2 pandangan yg dirasakan sesuai tetapi berat untuk dijalankan. Pertama, memotong tangan wanita pemandi mayat dan yg kedua pula tanam/kebumikan kedua-duanya iaitu pemandi mayat & jenazah itu sekaligus. Oleh kerana kedua2 cadangan tersebut masih lagi kurang sesuai, salah seorang dari mereka memutuskan untuk meminta pendapat daripada Imam Malik. Imam Malik bukan calang2 orang yg memberi fatwa.

Apabila Imam Malik sampai dan melihat apa yg berlaku, Imam Malik bertanya kepada wanita pemandi mayat itu: "Apakah kamu lakukan/berkata apa-apa kepada si mati semasa memandikannya?" Perempuan memandikan mayat tersebut bersungguh-sungguh menjawab bahawa dirinya tidak berbuat/tidak berkata apa-apa pun ketika menguruskan jenazah.

Selepas diasak dengan berbagai pertanyaan dan takut tangannya akan dipotong/ditanam sekali dengan mayat, akhirnya wanita pemandi mayat itu berkata bahawa dia ada berkata: "Berapa kalilah tubuh ini telah melakukan zina sambil menampar-menampar & memukul berkali2 pada batang tubuh si mati." Imam Malik berkata: "Kamu telah menjatuhkan Qazaf (tuduhan zina) pada wanita tersebut sedangkan kamu tidak mendatangkan 4 orang saksi. Dalam situasi begini, di mana kamu nak cari saksi? Maka kamu harus dijatuhkan hukuman hudud 80 kali sebatan kerana membuat pertuduhan zina tanpa mendatangkan 4 saksi." Semasa wanita pemandi mayat itu dikenakan hukuman, bila tiba sebatan yang ke 80, maka dengan kuasa Allah SWT, terlepaslah tangannya dari mayat tersebut.

PENGAJARAN:
Jaga lidah, jangan sebarkan fitnah. Jangan bersangka buruk dengan kuasa Allah. Kalau kita tahu dia itu seorang pelacur sekalipun, tapi kalau kita tak pernah lihat, maka kita dilarang menuduhnya berzina.







Diharap kisah Imam Malik dan Pemandi Mayat ini dijadikan sebagai tauladan & ikhtibar. Kerana itu ingatlah, apabila kita membantu menyebar sesuatu perkara buruk dalam masyarakat, negeri atau negara, yg mana kita tidak menyaksi & tiada saksi, maka tunggulah suatu hari, kita akan menerima balasannya, walaupun peristiwa berlaku. Berhati-hatilah semua dan jangan terjerat dengan jarum-jarum kejahatan.

Dalil Nur Muhammad

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1004736106242990:0

Istilah Nur Muhammad pada dasarnya sudah muncul dalam tafsir Ibnu Abbas “Tanwir Al-Miqbas”. Tepatnya pada surah An-Nur ayat 36 saat menjelaskan “Nur ‘ala nur”. [1] Sebagaimana kita ketahui Ibnu Abbas adalah sahabat Nabi SAW yang meninggal tahun 68 H dan “Tanwir Al-Miqbas” ini adalah karya monumentalnya karena menjadi satu-satunya karya Tafsir dari kalangan Sahabat.
Sebagai sahabat Nabi SAW, tentu saja beliau menjadi rujukan ulama yang hidup setelahnya, termasuk dalam peristilahan Nur Muhammad ini.

Tapi, sebenarnya tidak hanya Ibnu Abbas saja Sahabat yang berbicara tentang Nur Muhammad karena Abu Darda’—sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dari Musnad Asy-Syamiyin karya Imam Ath-Thabrani [2] dalam kitabnya “Ta’jil Al-Manfa’ah”—juga menjelaskan Nur Muhammad saat menjelaskan Sibrah ibn Fatik Al-Asadi.[3] Artinya secara istilah Nur Muhammad sudah beredar di masa Sahabat dan bukan sebagai istilah baru yang dimunculkan ulama tasawuf.

Bahkan, ada 8 kitab tafsir—yakni An-Nukat wa Al-‘Uyun, Marah Labid, Tafsir Al-Munir (Wahbah Az-Zuhaily), Latha’if Al-Isyarat, Tafsir Ibnu Abdi As-Salam, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Lubab li Ibni Adil, dan Tafsir As-Siraj Al-Munir—yang mengutip riwayat dari Ibnu Abbas terkait dengan istilah Nur Muhammad. Teks riwayat ini merupakan bagian dari sabab nuzul-nya ayat ke-8 surah Ash-Shaff, sebagai berikut:
حكاه عطاء عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم أبطأ عليه الوحي أربعين يوماً، فقال كعب بن الأشرف يا معشر اليهود ابشروا فقد أطفأ الله نور محمد فيما كان ينزل عليه، وما كان الله ليتم أمره
Atha’ menceritakan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya wahyu terlambat datang pada Nabi SAW selama 40 hari. Maka, Ka’b ibn Al-Asyraf berkata, ‘Wahai orang-orang Yahudi! Berikanlah kabar gembira bahwa Allah telah mematikan Nur Muhammad (Cahaya Muhammad) terkait wahyu yang Dia turunkan padanya. Dan, Allah tidak menyempurnakan perkaranya.’”[4] Mendengar itu, Rasulullah SAW bersedih lalu turunlah ayat ke-8 dari surah Ash-Shaff yang artinya berdasarkan sabab nuzul di atas, “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan Nur Muhammad meskipun orang-orang kafir membencinya.”

Memang di dalam hadis tidak disebutkan secara eksplisit tentang Nur Muhammad karena Nur Muhammad adalah penafsiran atau takwil yang dilakukan ulama tasawuf bersumber dari penafsiran para pendahulunya yang salah satunya adalah Ibnu Abbas di atas. Kenapa harus ditakwilkan? Sebab beberapa hadis sahih di bawah ini akan sulit dipahami bila tidak ditakwilkan dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad.

Apalagi, dalam menakwilkannya pun ulama tasawuf tidak asal-asalan karena terbukti secara istilah, kata Nur Muhammad sudah ada dalam tafsir Ibnu Abbas. Berikut ini hadis-hadis yang mau tidak mau melahirkan takwil Nur Muhammad atau Ruh Muhammad,
كُنْتُ أَوَّلُ النَّبِيِّيْنَ فِي الْخَلْقِ وَآخِرُهُمْ فِي الْبَعْثِ
“Aku adalah nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir dalam pengutusan.”
Hadis di atas adalah ucapan Rasulullah SAW. Pertanyaannya, bagaimana kita tidak menakwilkan bahwa maksud dari hadis di atas yang diciptakan pertama dari Nabi Muhammad SAW adalah Nur atau Ruh beliau? Sedang kenyataannya jasad beliau baru ada belakangan atau sekitar 14 abad yang lalu. Justru akan fatal kesalahannya jika kita tidak menakwilkan hadis di atas dengan memahami secara literlek bahwa memang Nabi Muhammad SAW jasadnya diciptakan sebelum Adam. Ini akan melahirkan pertanyaan, selama kenabian 24 nabi itu jasad Muhammad SAW di mana?

Lalu, siapa yang dilahirkan Aminah di Mekkah itu? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Hadis di atas diriwayatkan oleh sekian banyak mukharrij al-hadits seperti Tamam dalam “Al-Fawa’id”, Ath-Thabrani dalam “Musnad Asy-Syamiyin”, Abu Nu’aim dalam “Ad-Dala’il, Ad-Dailami dalam “Al-Firdaus”, dan Ats-Tsa’alabi dalam tafsirnya. Tapi kemudian didhaifkan oleh Al-Albani karena kedhaifan seorang rawi bernama Sa’id ibn Bisyr. Anehnya, di dalam hadis-hadis lain, Al-Albani justru menghukumi sahih sekian banyak hadis dalam kitab Sunan meskipun di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Sa’id ibn Bisyr. Itu artinya ada subyektivitas Al-Albani sebagai tokoh yang menyemboyankan, “Al-Mutashawwifah a’da’u as-sunnah (orang-orang tasawuf musuhnya sunah).”

Lupakan sejenak kesimpulan Al-Albani, yang jelas hadis di atas meskipun telah kuat dan diriwayatkan oleh banyak mukharrij al-hadits, tetapi masih memiliki syahid yang memperkuatnya lagi. Berikut ini adalah syahid terhadap hadis tersebut,
كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالْجَسَدِ
“Aku sudah menjadi nabi pada saat Adam masih antara ruh dan jasad.”
Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai redaksi oleh Al-Bukhari dalam kitab “At-Tarikh”, Ahmad, Al-Baghawi, Ibn As-Sakan, Abu Nu’aim dan Al-Hakim. Adapun riwayat lengkapnya dalam “Al-Mustadrak ‘ala Shahihain” adalah sebagai berikut,
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ الْفَقِيهُ، وَأَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ الْعَنَزِيُّ، قَالَا ثنا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ الْعَوَقِيُّ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ، عَنْ بُدَيْلِ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مَيْسَرَةَ الْفَخْرِ، قَالَ قُلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى كُنْتُ نَبِيًّا؟ قَالَ وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوحِ وَالْجَسَدِ.
Menurut Al-Hakim hadis ini diperkuat lagi dengan hadis berikut,
مَتَى وَجَبَتْ لَكَ النُّبُوَّةُ؟ قَالَ بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ وَنَفْخِ الرُّوحِ فِيهِ
“Kapan engkau mendapat mandat kenabian, (wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab, “Saat antara (jasad) Adam diciptakan dan peniupan ruh ke dalamnya.” (HR. Al-Hakim)
Satu lagi, dalam kitabnya, “Dala’il An-Nubuwwah” Al-Baihaqi meriwayatkan Hadis Qudsi yang panjang yang di dalamnya disebutkan bahwa Allah SWT berkata kepada Nabi SAW,
وَجَعَلْتُكَ أَوَّلَ النَّبِيِّيْنَ خَلْقًا وَآخِرُهُمْ مَبْعَثًا
“Dan telah Kuciptakan engkau sebagai nabi yang paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir di antara mereka dalam pengutusan.” (HR. Al-Baihaqi)

Atas dasar hadis-hadis tersebut dan masih ada beberapa hadis lain yang senada, ulama tasawuf tidak gegabah dengan menafsirkan secara literlek lalu hadis menjadi tidak dapat dipahami dan tidak memiliki makna. Ulama tasawuf, saya kira telah selangkah lebih maju dari ulama ahli hadis, khususnya dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang mengharuskan adanya penakwilan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad ini.

Ulama tasawuf bukanlah ulama yang tidak melek terhadap hadis. Sungguh tidak sopan, diluar nalar dan tidak masuk akal jika sebagian orang mengatakan ulama tasawuf “semuanya” adalah orang-orang yang tidak mengerti hadis. Mereka tidak melakukan amal melainkan sesuai dengan hadis. Mereka tidak bertauhid kecuali atas petunjuk Rasulullah SAW.

Lalu, apa alasan ulama tasawuf mengartikan “al-qalam” dalam hadis sahih ini, “Sesungguhnya yang paling pertama diciptakan Allah adalah Al-Qalam,” dengan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad? Jawabannya tersirat dalam Hadis Marfu’ riwayat Ibnu Abbas di bawah ini
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ الْحَافِظُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ خَلَقَهُ مِنْ هَجَا قَبْلَ الأَلْفِ وَاللاَّمِ فَتَصَوَّرَ قَلَمًا مِنْ نُورٍ فَقِيلَ لَهُ اجْرِ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ قَالَ يَا رَبِّ بِمَاذَا قَالَ بِمَا يَكُونُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ … هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ. (رواه الحاكم)
Atau dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut,
حدثنا أحمد بن علي بن العلاء وأبو بكر محمد بن محمود السراج قال حدثنا أبو الأشعث أحمد بن المقدام العجلي قال حدثنا المعتمر بن سليمان قال حدثنا عصمة أبو عاصم عن عطاء بن السائب عن مقسم عن ابن عباس قال إن أول ما خلق الله عز وجل القلم فخلقه عن هجاء فقال قلم فتصور قلما من نور ظله ما بين السماء والأرض فقال اجر في اللوح المحفوظ (رواه الآجري)
Para ulama tasawuf adalah Ahl Al-Basha’ir yang mampu menakwilkan hadis sesuai dengan tuntunan syariat sekaligus sesuai dengan ajaran hakikat. Wallahu A’lam.

Foot Note:
[1] Ibnu Abbas, Tanwir Al-Miqbas, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Hal. 296.
[2] Sulaiman ibn Ahmad Ath-Thabrani, Musnad Asy-Syamiyin, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1984) Jil. III, hal. 385.
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ta’jil Al-Manfa’ah Bizawa’id Rijal Al-‘imah Al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Basya’ir, 1996) Jil. I, hal. 568.
[4] Abu Al-Hasan Al-Mawardi Al-Bashri, An-Nukat wa Al-‘Uyun, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Jil. V, hal. 530.

Semoga bermanfaat!

--Yusni Amru Ghazali, Research Fellow Tasawuf Underground

Sebab Utama Perpecahan


Oleh: Dr. Khalif Muammar A. Harris* (Berita Harian)

Sebelum kita berbicara tentang perpaduan dan jalan ke arah perpaduan, amat penting kita memahami terlebih dahulu sebab-sebab berlakunya perpecahan. Walaupun terlampau banyak untuk dibahas satu persatu namun kita dapat batasi pada perkara asasi yang menjadi penyebab kepada yang lain.

Dalam al-Munqidh min al-Dalal, Imam al-Ghazali menegaskan bahawa di akhir zaman ini umat Islam menghadapi cabaran yang getir berhadapan dengan pelbagai penyelewengan dan kekeliruan sehingga diibaratkan seperti seseorang yang berenang di tengah lautan yang bergelora, dalam keadaan seperti ini hanya petunjuk dan pertolongan Allah sahaja yang dapat menyelamatkannya.

Beliau juga mengutip hadith Rasulullah saw yang menyatakan bahawa umat Islam akan berpecah kepada 73 golongan, di mana hanya satu golongan sahaja yang selamat. Oleh yang demikian tidak hairanlah apabila kita saksikan bahawa terdapat ramai manusia yang tenggelam dalam lautan kekeliruan, hilang arah, tiada pedoman hidup dan menuhankan hawa nafsunya.

Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tentunya tidak akan membiarkan manusia berada di dalam kegelapan, Allah SWT telah mengutus para nabi dan Rasul untuk membimbing umat manusia. Melalui petunjuk, hidayah, dan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada para nabi ini manusia mampu mencapai kebenaran yang pasti tentang hakikat kehidupan. Setelah ketiadaan Nabi Muhammad saw, utusan Allah yang terakhir, ilmu itu diwarisi oleh para ulama yang benar. Namun ilmu Nabawi ini semakin langka dan susah diperolehi kerana semakin sedikitnya mereka yang benar-benar menjadi ulama’ pewaris Nabi ini.

Sejak di zaman Nabi lagi terdapat manusia-manusia yang degil dan takbur tidak mempedulikan bahkan menentang kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Semakin lama semakin ramai orang yang mengikut jejak langkah Iblis yang enggan tunduk kepada kebenaran.. Golongan yang angkuh, merasa dirinya benar meskipun sebenarnya jahil dan keliru. Golongan yang sengaja memilih jalan lain dari yang diambil oleh orang-orang beriman. Golongan yang menyembunyikan kekufuran dan menzahirkan keimanan. Golongan inilah yang akhirnya membentuk kelompok Syi’ah, Khawarij, Qadariyyah, Mu’tazilah, Falasifah dan sebagainya.

Pada hari ini kekeliruan semakin banyak berlaku dengan kemunculan pelbagai fahaman yang pada intinya menolak autoriti ulama’. Atas nama kebebasan bersuara dan kebebasan individu untuk mengikuti apa sahaja pandangan yang dipilihnya. Mereka yakin bahawa setiap manusia mampu berfikir sendiri, menentukan mana yang benar dan mana yang salah tanpa perlu kepada panduan dan bimbingan para ulama’ dalam mencari kebenaran.

Di samping itu terdapat juga segolongan orang yang memperkecilkan sumbangan ulama’ besar terdahulu, imam-imam mazhab, para mujtahidin, dan menganggap dirinya setara dengan mereka, lalu menyalahkan pandangan ulama’ besar ini dan memberikan pandangan yang bertentangan dengan pandangan mereka. Walhal mereka bukanlah ulama’ yang benar-benar terlatih, tidak memiliki persediaan yang cukup untuk mampu berijtihad dan membimbing umat Islam. Akibatnya umat Islam keliru siapakah yang sebenarnya patut dirujuk dan diikuti.

Kedua sikap di atas, baik yang menolak autoriti ulama’ mahupun yang memperkecilkan sumbangan mereka, menunjukkan kepada kita bahawa permasalahan perpecahan ini adalah permasalahan yang dalam dan rumit. Ia bukan hanya berkaitan dengan sikap tetapi juga mempunyai akarnya pada persoalan akhlak dan hati manusia. Kerana itu menangani perpecahan bukanlah persoalan yang mudah, selagi mana perkara asasi tidak ditangani dan penyakit hati tidak diubati ia akan terus berkekalan.

Dalam hal ini penting untuk kita fahami idea besar yang dikemukakan oleh SMN al-Attas bahawa masalah utama umat Islam antara lain adalah masalah kehilangan adab. Adab menurut al-Attas adalah disiplin akli, jasadi, dan rohani, yang membolehkan seseorang itu mengakui dan mengiktiraf akan adanya tempat yang tepat bagi setiap sesuatu. Kefahaman umum bahawa adab hanyalah sopan santun dan budi bahasa adalah kefahaman yang dangkal oleh itu perlu diperbaiki. Adab memainkan peranan yang penting untuk melahirkan manusia-manusia yang bertamadun, berakhlak mulia, menjadi pemimpin-pemimpin yang adil dan baik yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakat.

Manifestasi kehilangan adab dapat dilihat pada semakin ramainya orang memperkatakan sesuatu yang bukan bidangnya, mengangkat atau meletakkan seseorang, termasuk diri sendiri, bukan pada tempatnya. Perkara asas ini memberi kesan yang besar, penceramah biasa dianggap sebagai ulama’ besar, dan ulama’ besar disamatarafkan dengan yang lain. Perkara kecil diperbesarkan dan perkara besar diperkecilkan. Institusi ulama’ dihina. Karya-karya besar para ulama’ silam yang mesti dimanfaatkan oleh umat Islam diganti dengan karya-karya baru yang cetek dan saduran yang kadang-kadang mengelirukan. Seruan agama bahawa umat Islam perlu menghormati dan memandang tinggi terhadap ilmu dan ilmuwan akhirnya tidak diendahkan.

Masalah yang sama berlaku dalam pergerakan Islam, sikap taassub dan fanatik kepada jamaah sendiri menyebabkan seseorang menganggap hanya kumpulannya sahaja yang benar sedangkan kumpulan lain dilihat menyeleweng dan tersasar. Sesuatu pandangan ditolak sepenuhnya hanya kerana ianya datang daripada pihak luar dan bukan dari kalangan orang yang mendokong kumpulannya. Perbezaan politik, jamaah, dan kumpulan menjadi sebab berlakunya perpecahan, walhal perbezaan dan kepelbagaian adalah sesuatu yang tabi’i dan perlu dilihat sebagai satu rahmat.

Memiliki pandangan dan pendekatan yang berbeza tidaklah salah. Yang salah adalah mempertahankan kepalsuan, kekeliruan, dan kesesatan atas nama apapun, hatta atas nama kebebasan dan kepelbagaian itu sendiri. Sesuatu pandangan mesti dinilai kekuatan hujahnya dan bukti-bukti yang dibawakannya. Kebenaran mestilah diterima meskipun ia datang dari orang yang tidak disenangi dan berada di luar kelompok kita.

Umat Islam adalah umpama satu jasad, demikian disebutkan dalam suatu hadith Nabi, dan jasad itu memiliki banyak anggota, setiap satunya memiliki peranan dan tanggungjawab masing-masing oleh kerananya tidak sewajarnya satu anggota memperkecilkan peranan dan tugas anggota lainnya. Sebagai satu jasad setiap anggota diatur dan dikawal oleh akal dan akal melapor kepada hati, dan hati pula akan bertanggungjawab kepada Allah SWT, Tuhan yang menciptakan segalanya. Malapetaka akan muncul jika mulut ingin mengambil peranan akal, atau kaki ingin mengambil peranan tangan. Keadaan di mana setiap sesuatu itu berada pada tempatnya adalah keadilan, dan pengakuan serta kepatuhan pada adanya tempat yang tepat bagi sesuatu adalah adab.

*Dr. Khalif Muammar A. Harris merupakan Professor Madya dan Penyelaras akademik di Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS), Universiti Teknologi Malaysia. Memiliki ijazah B.A. dalam bidang Shari’ah dan Pengajian Islam dari universiti Mu’tah, Jordan (1998); M.A. (Tamadun Islam) dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), IIUM pada tahun 2003; dan Ph.D (Tamadun Islam) juga dari ISTAC tahun 2008. Sebelum bertugas di CASIS, Dr Khalif telah bertugas sebagai Felo Penyelidik di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) pada tahun 2007 sehingga 2011. Dr Khalif juga merupakan Felo utama di IKSIM (Institut Kajian Strategik Islam Malaysia) dan ahli Majlis Perundingan Islam 2016-2018.

Friday, May 13, 2016

Solat Khusyuk Dari Syaikh Abdul Qadir Al Jailani

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1003587919691142:0

Dalam Tafsir Al-Jailani, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memberi penjelasan tentang makna Al-Fatihah dalam gerak dan batin shalat. Beliau seolah mengajarkan teknik-teknik shalat khusyuk dan tawajuh kepada Allah untuk kita.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Surah al-Fathihah menjadi bagian paling terpilih dari seluruh isi Al-Qur`an dengan bentuk yang paling gamblang dan pemaparan yang paling jelas.

Siapapun yang merenungi surah ini pasti akan mendapatkan apa yang dapat didapatkannya dari seluruh isi Al-Qur`an. Itulah sebabnya surah ini wajib dibaca ketika hamba bertawajuh kepada Zat Tunggal yang oleh syariat disebut dengan istilah "shalâh". Shalat merupakan mi'raj bagi mereka yang menuju kepada-Nya, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW.: "Shalat adalah mi'raj orang mukmin." (HR Fakhrur-Razi dalam Tafsir Al-Kabir). Rasulullah juga bersabda: "Tidak sah shalat kecuali dengan membaca Fâtihah al-Kitâb."(HR Bukhari-Muslim)

Oleh sebab itu, maka bagi engkau yang sedang melakukan shalat dengan menghadap ke arah ka'bah yang sejati atau kiblat yang asli, hendaklah kau melaksanakan shalat wajib dengan tekun yang dapat mendekatkan engkau kepada kiblat sejati, sehingga kau dapat meraih hikmah dan rahasia-rahasia yang terkandung di penetapan kewajiban shalat oleh syariat. Karena, jika kau ingin mendekatinya atau menghadap ke pintu kiblat sejati itu, kau harus terlebih dulu berwudhu dan menyucikan diri dari segala kotoran baik yang lahir maupun yang batin. Kemudian kau harus membersihkan dirimu dari segala bentuk syahwat, sehingga engkau akan dapat memulai takbiratul ihram tanpa waswas setan yang membaca hawa nafsu yang menyesatkan.
Ketika engkau mengucapkan takbiratul ihram, ingatlah bahwa kau telah mengharamkan terhadap dirimu segala kehidupan dunia yang kau miliki:

Bacaan "Allahu akbar" harus Anda perhatikan maknanya. Yaitu bahwa Dia adalah Zat Mahaagung Mahabesar di dalam Zat-Nya yang tidak dinisbahkan kepada yang selain Dia, karena mereka tidak ada yang selain Dia. Lakukan ini sebagai karakter Anda, bukan untuk mencari keutamaan. Jadikanlah ia sebagai pusat dari konsentrasimu dan inti dari semua tujuan yang kau inginkan.
Ketika engkau merapalkan "bismillâh" demi mencari anugerah dan berkah, maka gerakkanlah hasrat dan mahabahmu hanya kepada Allah.
Ketika kau merapalkan "ar-rahmân", engkau sedang menghirupnya dari napas kasih sayang Allah yang akan membantumu untuk naik ke sisi-Nya.
Ketika kau merapalkan "ar-rahîm", Anda merasa nyaman dengan embusan kelembutan dan semilir rahmat-Nya. Kau datang dengan maqam memohon kelembutan Allah s.w.t. sembari menghitung nikmat yang sudah Dia berikan kepadamu.

Ketika engkau bersyukur atas nikmat Allah dengan merapalkan "al-hamdulillâh", kau telah bertawasul kepada-Nya dengan bersyukur atas nikmat-Nya.
Ketika kau merapalkan "rabb al-'âlamîn", kau mengakui sepenuhnya atas kemencakupan, kemeliputan, dan pelantanan-Nya terhadap seluruh semesta.
Ketika engkau merapalkan "ar-rahmân", kau memohon keluasan rahmat Allah dan keumuman kasih sayang-Nya.
Ketika kau merapalkan "ar-rahîm", kau selamat dari azab yang pedih berupa sikap berpaling kepada yang selain Allah yang Mahabenar. Engkau telah sampai kepada-Nya setelah sebelumnya terpidah dari-Nya.

Bahkan kau telah berhubunganya dengan-Nya.
Ketika kau merapalkan "mâliki yaum ad-dîn", engkau telah memutuskan hubungan dengan asbâb (kausalitas) secara mutlak dan kau teguhkan maqam kasyf (penyingkapan) dan syuhûd (kesaksian). Ketika tampak kepadamu sesuatu yang tampak bagimu, maka di maqam itu kau boleh berkata dengan segenap jiwa-raga: "Iyyâka na'buku", hanya kepada-Mu kami menyembah; "wa iyyâka nasta'în", hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Ketika kau merapalkan "ihdina-sh-shirâth al-mustaqîm", kau telah meneguhkan maqam ubudiyyah (penghambaan).
Ketika kau merapalkan "shirath al-ladzîna an'amta 'alaihim", kau telah meneguhkan maqam al-jam' (penyatuan).

Ketika kau merapalkan "ghair al-maghdhûb 'alaihim", kau telah menyatakan takut dari kekuatan kekuasaan sifat-sifat Allah yang agung.
Ketika kau merapalkan "walâ adh-dhâllîn", kau menyatakan takut mundur lagi setelah sampai di tujuan.
Ketika kau merapalkan "âmîn", kau telah aman dari setan yang terkutuk.

Hendaklah engkau shalat dengan cara seperti yang disebutkan di atas, agar shalatm dapat menjadi mi'raj ke puncak Zat Tunggal dan tangga menuju Langit Keabadian; serta dapat menjadi kunci bagi khazanah azali yang abadi. Semua itu tentu tidaklah mudah kecuali setelah kau mampu mematikan keinginanmu dari berbagai bentuk tuntutan sifat-sifat kemanusiaan dan berakhlak dengan akhlak yang diridhai serta sifat terpuji. Kecenderungan hati seperti ini tidak akan pernah kau raih kecuali setelah kau melakukan uzlah melarikan diri dari orang-orang yang tenggelam dalam kealpaan serta memutuskan diri dari mereka dan dari gangguan berikut adat-kebiasaan mereka yang buruk.

Kalau itu tidak dapat kau lakukan, maka tabiat manusia selalu ingin mencuri, penyakit selalu menyerang, dan nafsu selalu mendorong ke arah keburukan serta jauh dari sang Maula. Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan nafsu serta menyelamatkan kita dari tipu-dayanya melalui anugerah-Nya.”

Semoga bermanfaat!

Pembahagian Rezeki dan Rahsia Tawakkal

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1002985346418066:0

Menurut Imam Al-Ghazali, tawakal itu digunakan dalam tiga tempat:
1) Tawakal kepada keputusan Allah. Maksudnya, engkau harus memiliki keyakinan penuh dan merasa puas dengan keputusan apa pun dari Allah. Hukum Allah tak akan berubah, seperti yang tercantum dalam Al-Quran dan hadis.

2) Tawakal kepada pertolongan Allah. Engkau harus bersandar dan percaya penuh pada pertolongan Allah Azza wa Jalla. Jika engkau menyandarkan diri pada pertolongan Allah dalam dakwah dan perjuangan bagi agama Allah, maka Allah pasti akan menolongmu.

3) Tawakal berkaitan dengan pembagian rezeki yang diberikan oleh Allah. Engkau harus yakin bahwa Allah Azza wa Jalla akan mencukup nafkah dan keperluan kita sehari-hari.

Rasulullah SAW bersabda, “JIka kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal kepada-Nya, niscaya Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung itu keluar dari sarangnya di pagi hari dalam keadaan perut yang kosong dan pulang di sore hari dalam keadaan perut terisi penuh.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS Ath-Thalaq: 3)
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Rezeki itu ada empat macam, yakni rezeki yang dijamin, rezeki yang dibagikan, rezeki yang dimiliki, dan rezeki yang dijanjikan oleh Allah SWT.

Rezeki yang dijamin merujuk kepada makanan dan segala apa yang menopang tubuh dan jiwamu. Jenis rezeki seperti itu tak terkait dengan sumber-sumber lainnya di dunia. Jaminan terhadap rezeki jenis ini datang dari Allah Ta’ala. Maka, bertawakal terhadap rezeki jenis ini wajib berdasarkan dalil aqli dan syar’i. Sebab, Allah telah membebankan kita untuk mengabdi kepada-Nya dan mentaati-Nya dengan tubuh kita. Dia pasti telah menjamin apa-apa yang menjadi sumber energi bagi sel-sel tubuh kita agar kita dapat melaksanakan apa yang telah diperintahkan-Nya.

Rezeki yang dibagi adalah apa yang telah dibagikan oleh Allah dan telah tertulis di Lauwhun Mahfuzh secara detail. Masing-masing dibagikan sesuai dengan kadar yang telah ditentukan dan waktu yang telah ditetapkan, tidak lebih dan tidak kurang, tidak maju dan tidak mundur dari apa yang tertulis itu.

Rasulullah SAW bersabda, “Rezeki itu telah dibagikan dan kemudian telah diberikan semuanya. Tidaklah ketakwaan seseorang dapat menambahkannya dan tidak pula kejahatan orang yang berlaku jahat dapat menguranginya.”

Sedangkan rezeki yang dimiliki adalah harta benda dunia yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dia miliki. Dan ini termasuk rezeki dari Allah. Allah berfirman, “Belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 254).
Adapun rezeki yang dijanjikan adalah segala apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa dengan syarat ketakwaan, sebagai rezeki yang halal, tanpa didahului oleh usaha yang bersusah payah.

Sebagaimana firman Allah SWT, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan bagianya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (QS Ath-Thalaq : 2-3)
Inilah beberapa jenis rezeki dari Allah, dan wajib bagi kita untuk bersikap tawakal dengan rezeki yang dijamin oleh-Nya. Maka, perhatikan hal ini dengan seksama.”

--Dikutip dari Kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghazali

Thursday, May 12, 2016

Istighfar Yang Membawa Imam Ahmad Ke Basrah



https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1002906896425911:0

Menjelang akhir hidup Imam Ahmad bin Hambal atau dikenal juga Imam Hambali, beliau bercerita tentang perjalanan yang luar biasa dan mencerahkan jiwanya. Murid utama Imam Syafi'i ini bertutur: "Satu ketika, (saat usiaku telah tua) aku tidak tahu mengapa aku ingin pergi ke Bashrah."

Beliau sendiri merasa heran, mengapa ada dorongan kuat sekali untuk pergi ke Bashrah. Beliau saat itu beliau sedang menetap di Baghdad.Padahal, tidak ada janji sama sekali dengan siapa pun. Dan, tidak ada hajat apa pun di kota itu. Akhirnya Imam Ahmad pergi sendiri menuju ke kota Bashrah.

"Ketika sampai Bashrah, malam telah masuk waktu Isya'. Saya ikut shalat berjamaah Isya di salah satu masjid. Hati saya merasa tenang, lalu saya ingin beristirahat," tutur beliau.
Setelah shalat Isya' ditunaikan dan jamaah telah pun berhambur keluar masjid, maka Imam Ahmad ingin sekadar beristirahat di masjid itu sambil tiduran.

Namun, tiba-tiba Takmir masjid datang menemui Imam Ahmad sambil bertanya, "Wahai Syaikh, apa yang kau lakukan disini?"
Pengurus masjid ini memanggilnya "Syekh" karena orang yang di depannya tampak tua, bukan karena dia orang kaya atau orang alim. Dia sama sekali tidak tahu bahwa orang yang ditemui itu adalah Imam Ahmad. Ulama sangat termashur di zamannya.

"Saya hanya ingin beristirahat. Saya musafir," jawab Sang Imam.
"Tidak boleh! Tidak boleh tidur di masjid ini!" bentak pengurus masjid.

Dengan sikap tawaduknya, Imam Ahmad pun tidak memperkenalkan siapa dirinya. Padahal di seluruh negeri, semua orang kenal siapa Imam Ahmad. Tetapi, tak semua orang pernah melihatnya langsung.
Terjadilah peristiwa yang menyedihkan, Imam Ahmad diusir dari masjid. Beliau didorong-dorong hingga hampir tersungkur. Setelah beliau di luar, masjid itu pun dikunci.

Setelah berada di luar masjid yang sudah terkunci pintunya, beliau ingin tidur di teras masjid itu karena kelelahan.
Namun, ketika sedang berbaring di teras masjid tersebut, tiba-tiba Marbot itu kembali datang dan memarahi Imam Ahmad.
"Apa lagi yang akan kau lakukan, Syekh?" bentaknya.
"Saya mau tidur, saya musafir," jawab Imam Ahmad.
"Jika di dalam masjid tidak boleh, maka di teras masjid pun tidak boleh," tegas marbot.
Imam Ahmad pun diusir dengan cara yang tak sopan. Bahkan, beliau didorong-dorong hingga ke jalanan.

Kesabaran Imam Ahmad telah teruji. Beliau sama sekali tak marah dan sama sekali tak mau menunjukkan siapa sesungguhnya beliau. Padahal, jika marbot itu tahu siapa sesungguhnya dia, pasti tak akan terjadi peristiwa ini.

Kebetulan, di samping masjid itu ada warung penjual roti. Sebuah rumah kecil sekaligus untuk membuat dan menjual roti. Tampak ada seorang penjual roti yang sedang membuat adonan, sambil melihat kejadian yang menimpa Sang Imam yang didorong-dorong oleh marbot tadi.

Ketika Imam Ahmad sampai di jalanan, penjual roti itu memanggil dari jauh, "Kemarilah,Syekh, kau boleh menginap di tempatku. Aku mempunyai tempat, meskipun kecil."
"Baiklah. Terima kasih," jawab Imam Ahmad sambil masuk ke rumahnya. Lalu, duduk di belakang penjual roti yang sedang membuat roti.
Lagi-lagi, Imam Ahmad sama sekali tidak memperkenalkan siapa dirinya. Beliau hanya mengaku sebagai musafir.

Penjual roti ini punya kebiasaan yang unik. Mungkin seperti orang yang pendiam dan tak banyak basa-basi. Jika Imam Ahmad ngajaknya bicara, baru dia mau menjawabnya. Tapi, jikalau tidak, dia terus membuat adonan roti sambil melafalkan istighfar.
Bacaan istighfarnya tak pernah berhenti. Saat menaruh garam pada adonan, dia menyebut "Astaghfirullah", saat mau memecahkan telur, dia pun menyebut "Astaghfirullah", saat mau mencampur gandum pun mengiringi dengan "Astaghfirullah." Praktis, dalam setiap keadaan dia mendawamkan istighfar.

Peristiwa menarik ini diperhatikan terus-menerus oleh Imam Ahmad.
Lalu beliau bertanya "Sudah berapa lama kau lakukan ini?"
Orang itu menjawab, "Sudah lama sekali syekh, saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya lakukan membaca istighfar."

Lalu, Imam Ahmad bertanya lagi, "Apa hasil dari perbuatanmu ini?" Penjual roti itu menjawab "(Melalui wasilah istighfar) tidak ada hajat yang aku minta , kecuali pasti dikabulkan Allah. semua yang aku minta Allah, langsung diterima".
Orang ini sangat percaya denga. hadis Nabi,"Siapa yang menjaga istighfar, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangkanya.

"Semua dikabulkan Allah, kecuali satu, masih satu yang belum Allah berikan kepadaku," ungkap penjual roti.
"Apa yang belum Allah kabulkan?" tanya Imam Ahmad penasaran.
Orang itu menjawab, "Aku minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan Imam Ahmad."

Saat itu juga Imam Ahmad kaget luar biasa hingga beliau bertakbir, "Allahu akbar! Allah telah mendatangkan saya jauh dari Baghdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu sampai ke jalanan itu ternyata karena istighfarmu."

Penjual roti pun terperanjat. Dia memuji Allah bekali-kali, karena ternyata yang di depannya adalah Imam Ahmad, orang yang sangat dirindukan dan diharapkannya berada di hadapannya, di dalam rumahnya sendiri. Sebuah tarikan dzikir "istighfar" yang dilantunkan oleh seorang secara terus-meneris mampu menarik kordinat seorang ulama hadis terkemuka dan imam mazhab. Sungguh, betapa indah ajaran istighfar yang pernah diajakan Rasulullah SAW.

---Dirujuk dari kitab Manakib Imam Ahmad

Sunday, May 8, 2016

Gantunglah Harapan Hanya Kepada Allah

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1000377240012210

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menuturkan:
"Jika engkau masih merasa takut dan berharap pada manusia, maka dia menjadi tuhanmu. Jika engkau masih menghadapkan hatimu pada harta dunia, maka engkau adalah budaknya, dan dia menjadi tuhanmu. Tak ada cinta yang paling abadi, kecuali cinta seorang hamba kepada Allah. Seorang pencinta tak akan meninggalkan kekasihnya, baik saat suka maupun saat derita.

Wahai orang yang mengadukan musibahnya kepada makhluk, tanyalah dirimu, apakah pengaduanmu kepada makhluk berguna bagimu? Sesungguhnya semua makhluk tidaklah ada gunanya bagimu; tidak juga membahayakanmu. Jika engkau bergantung kepada makhluk seraya menyekutukan Allah, niscaya mereka akan menjauhkan dirimu dari jalan al-Haq, yakni jalan menuju Allah. Karena sebaliknya, mereka akan menjurumuskanmu ke dalam murka Allah dan menghalangimu dari curahan rahmat Allah.

Wahai orang bodoh yang mengharapkan ilmu, hendaklah engkau menyadari bahwa termasuk kebodohan jika mencari dunia bukan dari Rabb sebegai Pemiliknya. Juga merupakan suatu kebodohan jika engkau mencari keselamatan dari bencana yang menimpamu dengan cara mengadukan harapan kepada makhluk."

--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahman.

Thursday, May 5, 2016

Kifayatul Muhtaj

https://www.facebook.com/khazanah.fathaniyah.1/posts/1795993653956793

Kitab Isra' Mikraj Yang Paling Berpengaruh di Dunia Melayu.
.

"Di antara sekian banyak kitab yang membicarakan perkara ini yang paling besar pengaruhnya di seluruh dunia Melayu ialah Kifayatul Muhtaj oleh Syeikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani. Kitab ini sampai sekarang masih ada dijual di kedai-kedai kitab di seluruh dunia Melayu. Berbeza dengan Isra' dan Mi‘raj karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri, juga Isra' dan Mi‘raj oleh Syeikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani sudah lama tidak terdapat dalam pasaran kitab.
.

Ramai orang mengetahui bahawa kedua-dua ulama itu ada menulis mengenai Isra' dan Mi‘raj hanyalah berdasarkan kenyataan Syeikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani dalam Kifayah al-Muhtaj, kerana sewaktu menyusun kitab tersebut Syeikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani berkali-kali menyebut nama Syeikh Nuruddin ar-Raniri dan hanya sekali menyebut nama Syeikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani pada bahagian nota.
.

Kifayah al-Muhtaj selesai ditulis oleh Syeikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani di Makkah al-Musyarrafah, pada hari Selasa, antara waktu Zhuhur dan ‘Ashar, 27 Muharram 1224 H. Kitab ini merupakan terjemahan Risalah Najmiddin al-Ghaithi dan syarahnya oleh Syeikh Ahmad Syihabuddin al-Qalyubi. Selain merupakan terjemah, Syeikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani juga menggunakan kitab-kitab lain sebagai rujukan.
.
Setiap tahun dari dulu hingga sekarang di beberapa tempat di dunia Melayu apabila memperingati Isra' dan Mi‘raj masih ramai para penceramah menggunakan Kifayatul Muhtaj. Ada orang menggunakannya sebagai rujukan, atau petikan sesuatu yang akan diceramahkan bahkan ada pula membacakannya kepada khalayak secara keseluruhan dari awal kitab hingga ke akhirnya. Ini adalah sebagai bukti begitu besar pengaruh kitab Kifayah al-Muhtaj atau pun pengaruh penyusunnya Syeikh Daud bin ‘Abdullah al-Fathani".
.

(Artikel ini dipetik dari makalah berjudul 'Israk Mikraj dan Kebangkitan Ummah', oleh TG Hj Wan Mohd Shaghir Abdullah, yang dibentangkan beliau dalam 'Munaqasyah Sufi Peringkat Kebangsaan 2004', pada 4 Rejab 1425 H/ 20 Ogos 2004, anjuran Jabatan Mufti Kerajaan Negeri, Negeri Sembilan Darul Khusus).

Cara Melayan Anak

Saidina Ali bin Abi Talib RA merumuskan cara-cara untuk melayan anak:-

1. Kelompok pertama 7 tahun (umur 0-7 tahun), melayan anak sebagai raja.

2. Kelompok kedua 7 tahun (umur 8-14 tahun), melayan anak sebagai tawanan.

3. Kelompok ketiga 7 tahun (umur 15-21 tahun), melayan anak sebagai sahabat.

.

► ANAK SEBAGAI RAJA (umur 0-7 tahun)

Melayan anak di bawah umur 7 tahun dengan sepenuh hati dan ikhlas adalah perkara yang terbaik yang boleh kita lakukan. Banyak perkara-perkara kecil yang kita lakukan setiap hari akan berubah mempunyai kesan positif kepada pembangunan tingkah laku anak tersebut, sebagai contoh:-

Jika kita segera menyahut dan mendekati dia ketika dia memanggil kita walaupun ketika kita sibuk, maka dia juga akan segera bertindak balas dan terus pergi kepada kita sewaktu kita memanggilnya.

Di saat kita tidak jemu menggosok belakang badannya sehingga dia tidur, dan tidak mustahil apabila dia mengurut atau mengusap punggung apabila kita letih atau sakit.

Di saat kita berusaha keras menahan emosi pada masa dia telah membuat kesilapan yang besar dalam apa jua bentuk, kita dapat lihat pada masa akan datang dia juga akan bersabar apabila adik-beradik atau rakan-rakannya membuat kesilapan kepadanya.

Oleh itu, apabila kita sentiasa berusaha sepenuh hati untuk menggembirakan anak-anak yang belum berusia tujuh tahun, Insya-Allah, dia akan membesar menjadi seorang yang menyeronokkan, penyayang dan bertanggungjawab kerana jika kita suka dan melayan mereka sebagai raja, maka dia akan suka dan melayan kita sebagai raja dan ratu.

► ANAK SEBAGAI TAWANAN (umur 8-14 tahun)

Kedudukan tawanan perang dalam Islam adalah sangatlah dihormati. Dia akan mendapat hak dengan kadar tertentu, tetapi juga dikenakan berbagai larangan dan tanggungjawab. Usia 8-14 tahun adalah umur yang sesuai untuk anak-anak diberikan hak, tanggungjawab dan kewajipan tertentu.

Rasulullah SAW mula mengajar anak untuk solat wajib pada usia 7 tahun dan membolehkan kita untuk memukul anak itu (atau mengukum dengan hukuman yang sepatutnya) apabila anak itu berusia 10 tahun jika anak itu tetap meninggalkan solat. Oleh kerana itu, umur 8-14 tahun adalah waktu yang sesuai dan tepat untuk anak-anak diperkenalkan dan diajar tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukum hakam agama, sama ada yang diwajibkan atau dilarang, seperti :-

1. Menunaikan solat wajib lima kali sehari.
2. Memakai pakaian yang bersih, kemas dan menutup aurat.
3. Menjaga pergaulan dengan berlawanan jenis.
4. Membaca Al-Quran.
5. Membantu kerja-kerja rumah yang mudah dilakukan praktikal dengan usia anak.
6. Menerapkan disiplin dalam aktiviti harian. Penghargaan dan Hukuman (hadiah/ganjaran/pujian dan hukuman/teguran) yang sesuai diberikan pada usia 7 tahun kedua ini kerana anak-anak sudah dapat dapat memahami erti tanggungjawab dan sesuatu perbuatan.

Walau bagaimanapun, layanan terhadap setiap anak mestilah berbeza kerana setiap kanak-kanak mempunyai ciri-ciri yang berbeza (kerana setiap anak mempunyai keunikan tersendiri).

► ANAK SEBAGAI SAHABAT (umur 15-21 tahun)

Umur 15 tahun adalah usia umum untuk anak-anak melangkah memasuki usia akil baligh. Sebagai ibu bapa kita harus meletakkan diri kita sebagai sahabat dan memberi contoh yang baik seperti yang diajar oleh Saidina Ali bin Abi Thalib.

Ini adalah masa yang baik untuk bercakap dari hati ke hati dengan dia, menjelaskan bahawa dia adalah seorang remaja yang sudah meningkat dewasa.

Perlu diberitahu tentang perubahan fizikal. Selain itu dia juga akan mengalami perubahan mental, rohani, sosial, budaya dan alam sekitar,sehingga mungkin akan ada banyak masalah yang akan dihadapi. Paling penting untuk kita para ibu bapa bahawa kita harus membina kesedaran dalam diri anak-anak kita bahawa umur selepas akil baligh baligh ini dia sudah mempunyai buku amalannyanya sendiri yang mana dia sendiri yang akan dihadapkan dan dipertanggungjawabkan oleh Allah SWT di hari akhirat kelak.

Anak-anak selepas akil baligh seharusnya diberi lebih ruang supaya mereka tidak merasa terkekang namun masih tetap di dalam pengawasan ibu bapa.

Pengawasan perlu dilakukan tanpa paksaan dan sudah tentu disertakan dengan doa untuk kebaikan dan keselamatan mereka. Oleh itu anak-anak akan berasa dihargai, dihormati, disayangi, dan sangat penting di dalam keluarga. Tambahan pula, mereka akan merasa yakin dan mempunyai personaliti yang kuat untuk sentiasa cenderung untuk melakukan kebaikan dan menjauhkan diri daripada tingkah laku yang tidak baik.

Memberikan kepercayaan kepada anak-anak dengan tanggungjawab yang lebih berat. Sewaktu usia 15- 21 tahun ini adalah sangat penting bagi kita ibu bapa untuk memberikan tanggungjawab yang lebih berat dan lebih besar supaya masa depan anak-anak boleh menjadi lincah, bebas, bertanggungjawab dan boleh dipercayai.

Contoh tanggungjawab yang harus diberikan pada usia ini adalah seperti meminta beliau untuk membimbing adik-beradik, memberikan kerja-kerja yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa atau menyediakan jadual aktiviti serta menguruskan kewangan sendiri.

Semoga Allah SWT memberikan kita anak-anak yang soleh dan berbakti kepada ibu bapa dan masyarakat.

.

"Ya Rabbku, beri­lah kepadaku dari sisi Engkau keturunan yang baik. Sesungguhnya engkau adalah Maha Mendengar Doa." (Al-Quran, Ali Imran: 38).

******

Sumber: FP Alhabib Quraisy Baharun
------
http://sharefaedah.blogspot.co.id/…/kenapa-harus-berlemah-l…

https://www.facebook.com/pondokhabib/photos/a.422328956998.217003.295419981998/10153971124741999/?type=3

Monday, May 2, 2016

Kenisbian Ruang Dan Waktu

https://www.facebook.com/NoorDeros/posts/10153550028862227

TULISAN DIBAWAH INI BERKENAAN DENGAN KETERKAITAN DAN KENISBIAN RUANG DAN WAKTU (TIME-SPACE CONTINUUM AND RELATIVITY OF TIME AND SPACE) BUKAN DARI ALBERT EINSTEIN (1879-1955) TETAPI DARI HUJJATUL ISLAM IMAM AL-GHAZALI (1058-1111)

"Sesungguhnya masa itu baharu (حادث/Pernah tiada kemudian diadakan) dan dicipta, tiada wujud "masa" sebelum masa itu...apa yang terbayang dalam minda kamu akan wujudnya masa (sebelum masa) hanyalah dikeranakan lemahnya kemampuan mengukur (Quwwah Wahmiyyah (قوة وهمية)/Estimative Faculty) kita. Sesungguhnya Quwwah Wahmiyyah manusia itu tidak mampu memahami wujudnya sebuah permulaan kecuali dengan merasakan adanya "sebelum" baginya, dan "sebelum" itu - yang tidak terpisah dari Quwwah Wahmiyyah - disangka bahawa ianya adalah sesuatu yang benar-benar wujud. Kelemahan Quwwah Wahmiyyah disini adalah sama dengan kelemahanya dalam mengukur pangkal sebuah jisim - sebagai contoh - kecuali ia akan menganggap bahawa pangkal itu juga ada "atas" baginya, maka Quwwah Wahmiyyah menyangka bahawa disebalik seluruh alam ini (pasti) ada ruang (lagi), sama ada kosong ataupun diduduki (oleh sesuatu). Dan apabila dikatakan padanya (Quwwah Wahmiyyah) bahawa tiadanya '"atas" bagi pangkal alam dan tiada wujud ruang yang melangkauinya maka ia (Quwwah Wahmiyyah) tidak mampu menerimanya, sama seperti jika dikatakan bahawa sebelum adanya alam ini tiada yang dikatakan "sebelum" yang benar-benar wujud, Quwwah Wahmiyyah kita tidak akan menerimanya."

"Sebagaimana dimensi ruang (space dimension/البعد المكاني) itu mengikut/terikat dengan jisim (Benda; yang ada ukuran panjang, lebar dan dalam), dimensi waktu (time dimension/البعد الزماني) pula mengikut/terikat dengan gerak (motion/حركة), ia (waktu) adalah perpanjangan (امتداد/extension) bagi gerak, ia (ruang pula) adalah perpanjangan bagi dataran jisim. Sebagaimana bukti keterhadan dataran jisim memustahilkan adanya dimensi ruang (lagi) disebaliknya, begitu juga bukti keterhadan gerak pada kedua-dua hujungnya memustahilkan adanya dimensi waktu disebaliknya, walaupun Quwwah Wahmiyah tidak mampu melepaskan khayalan dan anggapannya tentang ia (bahawa adanya ruang disebalik dimensi ruang dan adanya waktu disebalik dimensi waktu) dan tidak pernah berhenti darinya (khayalan dan anggapan itu).

Tiada perbezaan diantara dimensi waktu yang mana apabila dipertuturkan dan dinisbahkan kepada perspektif kita sebagai manusia terbahagi kepada "sebelum" dan "sesudah" dengan dimensi ruang yang mana apabila dipertuturkan dan dinisbahkan kepada perspektif kita sebagai manusia terbahagi kepada "atas" dan "bawah", jika boleh disabitkan adanya "atas" yang tiada atas baginya maka boleh juga disabitkan bahawa adanya "sebelum" yang mana tiada sebelum baginya yang benar-benar wujud, kecuali dalam bentuk khayalan sepertimana dalam hal "atas".

(Diambil dari hasil kajian Dr Basil At-Ta'i dalam kitabnya Daqiqul Kalam ms 121 dan makalahnya 'Time in Islamic Kalam'.)
_________

Nukilan-nukilan diatas oleh dr Basil beliau petik dari kitab 'Tahafut Al-Falasifah' dimana Imam Al-Ghazali mematahkan hujah ahli falsafah yang mendakwa bahawa alam ini tiada permulaan.

Aqal yang tajam dan dicahayai oleh wahyu telah dan akan terus menghasilkan ilmu-ilmu yang luar biasa.


Sunday, May 1, 2016

Sedikit Mengenai Hadith

https://www.facebook.com/ustazalamindaud/posts/561755037332326

1. Mereka yang hanya melihat kepada sahih atau tidak sesuatu hadith berdasarkan semata-mata riwayah adalah mereka yang hanya berada pada kulit pengajian hadith. (Mafhum perkataan Syah Waliullah al-Dihlawi).

2. Peringkat tertinggi dan paling sukar di dalam pengajian hadith ialah pada ilmu dirayah gharaaib al-Hadith dan asraar al-Hadith. Tidak ramai yang dikurniakan oleh Allah kelebihan ini melainkan mereka yang diberikan anugerah dan karunia oleh Allah SWT. Ulama' fuqaha' dan ulama sufi adalah mereka yang mendapat bahagian daripada keluasan dan kehebatan kalam Baginda Nabi صلى الله عليه و على آله وصحبه وسلم dan mereka adalah ahlul hadith pada zaman mereka.

3. Oleh yang demikian seseorang yang alim belum tentu faqih. Nabi صلى الله عليه و على آله وصحبه وسلم menggunakan kalimah فقه di dalam hadith ;

من يرد الله به خير يفققه في الدين

"Sesiapa yang Allah mengkehendaki dengannya kebaikan maka Allah akan faqihkannya (faham dengan mendalam) di dalam urusan agama". (riwayat al-Bukhari dan Muslim).

4. Mereka yang mengetahui sesuatu riwayah hadith belum tentu memahami makna hadith sesuai dengan murad (kehendak) Nabi صلى الله عليه وسلم. Tidakkah Nabi berpesan kepada para sahabat untuk menyampaikan hadith sekalipun mereka tidak memahaminya?

Daripada Zaid bin Thabit r.a., Nabi s.a.w. bersabda: "Allah menyerikan orang yang mendengar suatu hadis daripada kami lalu ia menghafalnya sehingga ia menyampaikan kepada orang lain. Kemungkinan seseorang itu membawa suatu kefahaman kepada orang yang lebih memahami. berkemungkinan juga orang yang membawa suatu kefahaman sebenarnya ia tidak memahaminya. (Riwayat Abu Daud dan Al-Tarmizi)

5. Teringat suatu ketika semasa pengajian kitab sirul asrar Sheikh Abdul Qadir al-Jailani قدس الله سره ونور ضريحه pada menghuraikan makna hadith ;

المؤمن مرأة المؤمن

"Orang mukmin adalah cerminan orang mukmin" (riwayat Abu Dawud daripada Abi Hurairah dan al-Hafidz al-'Iraqi mengatakan isnadnya hasan).

6. Apa yang menarik Syeikh Abdul Qadir al-Jailani memaknai al-mukmin yang pertama ialah orang mukmin dan al-Mukmin yang kedua ialah Allah kerana salah satu nama Allah ialah al-Mukmin. Maka jadilah maknanya orang mukmin menjadi cerminan kepada Allah. Jika kita ingin melihat pengasihnya Allah, lihatlah pada orang mukmin. Jika kita ingin melihat penyayangnya Allah lihatlah pada orang mukmin. Inilah makna syuhud yang dihuraikan di dalam pengajian ilmu tasawwuf.

7. Penghulu bagi orang mukmin ialah Nabi kita Muhammad صلى الله عليه و على آله وصحبه وسلم dan Allah telah menyifatkan Nabi kita dengan nama Allah iaitu رؤوف رحيم

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari golongan kamu sendiri (iaitu Nabi Muhammad s.a.w), yang menjadi sangat berat kepadanya sebarang kesusahan yang ditanggung oleh kamu, yang sangat tamak (inginkan) kebaikan bagi kamu, (dan) ia pula menumpahkan perasaan belas serta kasih sayangnya kepada orang-orang yang beriman. (at-Taubah : 128)

8. Riwayat yang sahih tetapi memahami dengan makna yang tidak sahih juga termasuk di dalam mendustakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم kerana kita mengatakan apa yang tidak dimaksudkan oleh Baginda صلى الله عليه وسلم

9. Kembalilah kepada huraian dan kefahaman para ulama. Kerana ijtihad mereka di atas disiplin ilmu yang luas. Tepat atau tidak keduanya mendatangkan pahala kepada mereka. Sebaliknya Ijtihad kita di atas kejahilan sekalipun benar ia tidak dikira betul tetapi hanyalah kebetulan.

Nukilan oleh ;
Ustaz Mohd Al-Amin Bin Daud Al-Azhari
Universiti Al-Azhar Mesir

Kurniakan Sezarah Cinta

https://www.facebook.com/syed.m.alattas/posts/10154035591766221

Kurniakanlah hambamu sezarah dari cintamu wahai Tuhanku,
Supaya tiadalah aku terus tenggelam dalam ghaflah dan lupa,
dan mengenang semula akan perjanjian yang asal.

Biarlah ia mensucikan qalbu supaya terhakis darinya akan cinta yang dasyat terhadap dunia
Dan takut yang tidak munasabah untuk bersua denganmu.

Kurniakanlah bagi diriku sezarah dari Rahmat mu, yang memperkuat Roh dan jasad untuk mendekat kepada sekalian yang rapat dengan mu,
Supaya mampu bersabar mendampingigolongan yg memanggilmu malam dan nahar,
yang hatinya bersinar,
Yang sinaran suria cahayamu
sentiasa menyinari wajahnya,kalamnya,af'alnya,sifatnya,zatnya,rahsianya.

Kurniakanlah sezarah dari cintamu yang mampu memalingkanku dari keindahan fani
Dunia sementara ini.
Biarlah ia memperkuatku untuk mendekat dengan ahli ilmu yang mampu membawaku terbang ke ufuq tertinggi mengenali alam ulya yang lebih hakiki.

Biar zarah cinta itu mencukupkan daku sehingga yang berat terasa mudah yang susah tidak mengundang resah, biar ia menjadi penggilap hatiku menjadikan ia cermin menangkap segala yang terindah.

Kurniakanlah sezarah dari cintamu yang mencabut dariku kejahilan yang basit mahupun yang murakkab,
Hampakanlah kalbuku dari segala perosak dan perangkap,
Biarlah tercabut darinya dengki,benci takabbur dan putus harap.

Tatkala semakin sempurna cintamu terpendam dalam diriku, tambahkanlah akannya ya rab!
Supaya nanti menang daku akan nafsu ammarah kerana kalau sendiri aku melawannya aku lelah,
kerana ia sudah mesra dengan qarinnya menghasut ia,
mahu menjadi raja,
mahu hidup kaya
mahu berkuasa!

Kirimkanlah diriku kepada guru yang sempurna supaya dapat aku ditempa,
Untuk kembali kepada hakikatku sebagai hamba,
Kerana itulah bahagia.